Ponirah baru sampai di ujung pematang sawah ketika bunyi rentetan senjata itu menyeruak lubang telinganya, keras sekali. Kedua kakinya berayun makin cepat. Lari! Hanya itu yang ingin dilakukannya. Ada satu tempat yang akan ditujunya. Di seberang Sungai Klewor terdapat tanah lapang, dan siapa tahu kakaknya sudah berada di sana. Ponirin pernah mengajaknya mencari rumput untuk si kampret, dan belalang kayu jati buat dibakar lalu dijadikan camilan, beberapa kali malah.
Setelah menuruni tebing yang cukup terjal itu, Ponirah menapaki aliran sungai yang setinggi pahanya itu dengan hati-hati. Di tempat yang lebih dangkal, airnya bergemericik dan bening saat ditimpa sinar matahari. Namun, cahaya senja yang telah tiba itu membuatnya tampak muram, suram, dan sedih. Dia baru tiba di seberang sungai ketika tiba-tiba terdengar olehnya beberapa seruan. Dia berhenti, menajamkan mata dan telinganya, ingin tahu arah datangnya. Tanpa ragu, ditapakinya tepian sungai yang dipenuhi oleh kerikil dan rerumputan itu. Sepuluh langkah kemudian, dia pun tiba di bawah pohon jati gosong, batangnya hitam seperti arang, terkena sambaran petir setahun yang lalu.
“Siapa itu?” teriak seseorang.
“Sepertinya anaknya Suro,” ucap yang lainnya.
“Benar, itu Ponirah, ragilnya Suro,” kata yang lainnya lagi.
Suara yang bersahut-sahutan itu berasal dari mulut orang-orang yang sudah lebih dulu tiba di tempat itu. Para ibu itu berlindung di balik gerumbul semak. Mereka mendekap anak-anaknya yang gemetaran. Sementara, sambil menahan tangis, bocah-bocah itu menyembunyikan kepala mereka di balik ketiak ibunya.
Di tempat itu ada juga para lelaki, tetapi Ponirah tidak mengenalnya. Mereka bukan teman-teman bapaknya yang biasa berkumpul di ruang depan, dan berbicara berapi-api sampai menjelang dini hari. Namun, Warto ada. Laki-laki berusia tiga puluh tahun itu tampak menyibakkan kerumunan, lalu menghampiri Ponirah.
“Mana bapakmu, Pon?”
Bocah lima tahun yang berbaju terusan itu bergeleng-geleng. Ia justru celangak-celinguk, memandangi orang-orang yang berpakaian seadanya itu. Ada yang hanya berkain sarung, ada juga yang bertelanjang dada, dan semuanya tampak ketakutan.
“Dasar keras kepala! Maunya cari mati!” Warto menumpahkan amarahnya, memukulkan kepalan tangan kanannya itu ke telapak tangan kiri. ”Pon, jangan ke mana-mana! Terus di dekat saya!”
“Mas Ponirin? Mana Mas Ponirin?” tanya Ponirah.
“Rin! Ponirin! Dicari adikmu! Mana Ponirin? Di situ ada Ponirin?”
Suara Warto menyusupi udara, menembus keremangan, lalu menghilang di antara semak-semak dan pohon-pohon jati. Yang dicari tidak ada, dan tak ada yang tahu keberadaannya, dan tak ada yang peduli. Orang-orang terus berdatangan, dan kebanyakan laki-laki. Darno juga ada. Dia ikut lari karena khawatir perbuatannya yang sering mencuri kayu jati milik Perhutani itu disangkut-pautkan dengan partai komunis. Dia memberi kabar bahwa rumah para anggota partai merah sudah dibakar masa.
“Rumahku juga?”