Luka, Luka, dan Luka

Dewanto Amin Sadono
Chapter #7

Nyonya Noto, Ponirah, dan Mbok Ginah

Awal November 1965

Becak itu berhenti di depan sebuah rumah yang berhalaman luas. Lelaki berusia lima puluh tahun itu turun dari sadel, lalu memegangi bagian belakang becaknya kuat-kuat, barangkali khawatir  becaknya terjungkal saat penumpang istimewa itu turun.

Seperti sopir pemula yang hendak memarkir mobilnya di sebuah gang yang sempit, Nyonya Noto menata pinggul dan tubuhnya yang sebesar kerbau itu, beringsut-ingsut pelan. Tiga menit adalah waktu yang dia butuhkan agar bisa turun dari becak itu dengan selamat. Perempuan ber-make up tebal itu tampak terengah-engah. Keringat mengembun pada ketiaknya, juga pada lehernya yang seolah-olah bengkak kena penyakit gondok.

Setelah membayar ongkos becak tanpa meminta kembalian, tangan kanan Nyonya Noto menjangkau tas plastik yang teronggok di pojokan becak, berisi barang belanjaan. Bocah perempuan yang terus berlinang air mata itu pasrah saat Nyonya Noto membantunya turun dari atas becak. Perempuan yang berwajah ceria itu menggandengnya melewati gerbang, melintasi halaman. Sesekali bocah itu tampak mengelap air matanya. Namun, lebih seringnya, matanya yang bening dan bulat itu mengedar ke mana-mana, menjelajahi rumah yang besar itu.

“Mbok Ginaaaah!” seru Nyonya Noto.

Teriakan yang bisa memecahkan gendang telinga itu membuahkan hasilnya. Seorang perempuan tanpa alas kaki datang tergopoh-gopoh. Buru-buru Mbok Ginah mengambil alih tas plastik itu dari tangan majikannya, berjalan di belakang Nyonya Noto, dan sibuk meneliti gerak-gerik si bocah perempuan itu.

Bocah perempuan yang bertampang seperti anak rusa yang sedang kena jerat pemburu itu berpakaian terusan, dan tampak kedodoran. Kondisinya kotor dan kumal seperti serbet di warung makan. Rambutnya merah terpanggang sinar matahari. Matanya sembab. Wajahnya pucat, sementara kulitnya sangat dekil. Daun pisang yang dijemur di bawah matahari terlalu lama pun lebih sedap dipandang mata daripada penampilannya saat ini.

“Siapa ini, Nyah?” tanya Mbok Ginah.

“Tahu. Nemu di Pasar Senen.”

“Lagi ngemis?”

“Tidak, lagi nangis. Tuh, sampai sekarang belum juga mau diam.”

Mereka memasuki rumah melalui pintu samping. Pintu utama di rumah itu jarang dibuka, kecuali dalam situasi yang sangat khusus. Pintu yang terletak di bagian depan itu berupa sepasang krepyak dari kayu jati yang sudah sangat tua. Awalnya, rangkaian jalusi pada pintu itu berguna sebagai lubang angin dan cahaya. Namun, seiring waktu, fungsinya telah berubah menjadi sarang debu.

Pagar tinggi mengelilingi rumah yang bernomor 243 itu, bergaya Eropa. Bagian depan rumah itu terlihat rata, tanpa beranda. Empat jendelanya berukuran besar, dinding batanya berplester, dan gentingnya merentang sejajar dengan jalan raya kecil di depannya. Rumah itu mempunyai sepuluh kamar. Delapan di antaranya terletak di bagian belakang rumah, berderet empat-empat dengan lorong di tengahnya. Dua kamar lainnya berada di bagian depan bangunan. Yang satu kamar utama, satunya lagi kamar tamu.

Ruangan terbuka di dekat dapur itu berfungsi sebagai tempat menjemur pakaian sekaligus sebagai taman. Bunga asoka pada pot keramik itu tampak nelangsa, kurus dan kering seperti gelandangan tua. Di dekatnya ada serumpun bunga mawar yang tak kurang menderita, pucat dan cokelat. Lalu, hampir menempel pada dinding kamar, ada pohon sawo kecik. Ayunan dari bekas ban truk tampak menggantung pada salah satu dahannya, dan bergoyang-goyang saat angin menerpanya. Sementara itu, berhimpitan dengan dapur, terdapat dua kamar mandi. Pada pagi hari, saat para penghuni rumah itu hendak berangkat ke sekolah, mereka harus antre, atau berebut cepat.

Nyonya Noto adalah pemilik rumah besar bergaya kolonial itu. Dulunya milik orang Belanda, Tuan Barend Van Eisinga, cicit Roorda Van Eisinga, otak di balik penangkapan Pangeran Diponegoro. Barangkali karena tahu diri, pada tahun 1947, seminggu sebelum Agresi Belanda II berlangsung, Tuan Barend dan seluruh keluarganya  memutuskan kembali ke negaranya.

Bagi Tuan Barend, apa pun alasan yang dikemukakan oleh kakek buyutnya, tetap saja tak akan bisa menghilangkan bau busuk yang menyertai peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro. Perbuatan licik itu sangat menjijikkan, tidak etis, dan tidak ksatria. Sama saja dengan kelakuan para perebut istri orang. Pelacur yang melacurkan dirinya demi uang pun masih lebih berharga. Setidak-tidaknya ada imbal balik antara si penjual tubuh itu dengan pembelinya, dan transaksinya pun berlangsung tanpa melalui cara-cara yang licik. Walaupun pada akhirnya hadiah dari hasil melacurkan pikiran kakek buyutnya itu telah dikembalikan ke orang Jawa dalam bentuk riset dan perpustakaan, tetap saja Tuan Barend tidak bisa menerimanya.

Tuan Barend tidak merasa bangga walaupun kakek buyutnya telah mengambil peranan yang sangat penting dalam menghentikan Perang Jawa yang mengerikan itu. Kabarnya, 27.749 serdadu Belanda dinyatakan hilang atau tewas, dan 8000 di antaranya bule totok, bukan blasteran. Sementara itu, jumlah orang Jawa yang tewas lipatannya hampir sepuluh kali. Perang yang hanya berlangsung selama lima tahun itu juga telah membuat negara Belanda hampir bangkrut, kehilangan lima juta gulden.

Kakek buyut Tuan Barend, Roorda Van Eisinga, adalah budayawan Jawa yang sangat memahami sifat-sifat orang Jawa, terutama para keluarga raja. Selama bertahun-tahun dia telah mengadakan riset terhadap Babad Jawa, Babad Sunda, Babad Bali, Serat Panji, dan buku-buku lain tentang Kerajaan Jawa yang terdapat di Perpustakaan Leiden. Bisa dikatakan, dia sangat memahami karakter orang Jawa seperti mengenal garis telapak tangannya sendiri.

Ketika Letnan Gubernur Jenderal Hendrik Merkus Baron De Kock memaksa Roorda Van Eisinga  mencari cara untuk menangkap Pangeran Diponegoro, budayakan itu tidak bisa menolaknya. Meskipun bisa berbahasa kromo, dan terbiasa memakai surjan, beskap, atau kanigaran, dia tak bisa memungkiri bahwa dirinya adalah orang Belanda sejati. Kulitnya bule, matanya biru, rambutnya pirang, dan di dalam dadanya berkibar bendera tri warna: merah, putih, biru.

Kepada petinggi Belanda itu, Roorda Van Eisinga  mengatakan bahwa para Raja Jawa telah mengangkat dirinya sebagai wakil Tuhan di tanah Jawa ini. Konsekuensinya, mulutnya harus dapat dipercaya, tidak boleh berbohong, apalagi menipu. Sabdo Pandhito Ratu. Jika ada yang berhasil membujuki Pangeran Diponegoro agar mau diajak berunding, maka anggap saja perang itu sudah selesai. Tentukan tempat dan waktunya, persiapkan segala sesuatunya, lalu tangkap.

Sang jendral sangat menyetujui ide sederhana yang kemungkinan besar berhasil guna itu. Dia segera mengirimkan dua utusan ke Metesih, tempat buronan kompeni itu sedang mengatur strategi perlawanan, dan dipilihnya pribumi yang mulutnya selicin minyak oli. Demi mendapatkan upah yang besar, dua orang yang kulitnya sewarna dengan kulit sawo busuk itu menyatakan kesanggupannya, dan kalau perlu menggunakan segala macam cara untuk membujuki.  

“Nanti saat lebaran,” kata sang pangeran.

Rakyat sudah sangat menderita. Pengorbanan mereka sudah terlalu banyak. Begitu barangkali pemikiran sang pangeran. Harapannya, hasil perundingan nanti akan memberi manfaat bagi semuanya, bagi orang Jawa khususnya, tentu saja. Pangeran Diponegoro juga mengiyakan ketika para utusan itu menyebutkan bahwa perundingan nanti akan dilaksanakan di kediaman Jendral De Kock, di Magelang.

“Saya akan datang,” katanya.

Pada akhirnya, seluruh dunia tahu bahwa perundingan itu tidak pernah terjadi. Pangeran Diponegoro dan para pengawal yang datang tanpa senjata itu justru ditangkap, lalu dibuang ke Makasar. Perang Jawa itu pun berakhir sudah. Kedua pihak yang berperang itu dinyatakan kalah; kehilangan harta, benda, dan nyawa.

Atas dosa-dosa kakek buyutnya dan kelicikan bangsanya itu, Tuan Barend pernah berziarah ke makam Pangeran Diponegoro di Makasar sana. Atas nama pribadi dan mewakili bangsanya yang sudah pasti tidak mau diwakili itu, Tuan Barend meminta maaf, juga mengirimkan puji-pujian kepada laki-laki yang cerdik itu. Penghormatan dan kehormatan harus diberikan kepada para pemberani, musuh sekali pun.

Sebelum meninggalkan Indonesia, Tuan Barend mewariskan tanah dan rumah itu kepada kedua pembantunya, Tukijo dan Dalinah. Kedua orang tua Nyonya Noto itu telah mengabdi kepada keluarganya selama dua puluh tahun, dan pantas mendapatkan hadiah atas kesetiaannya itu. Apalagi sejak lama Tuan Barend sudah merasa curiga, rumah besar itu didapat kakek buyutnya dari hasil melacurkan pikirannya dulu sekali.

“Jo, manfaatkan rumah ini untuk kegiatan sosial. Semoga dosa-dosa kakek buyutku diampuni Tuhan Yang Maha Pengampun.”

 Tukijo dan Dalinah kaget bukan kepalang mendapat hadiah yang tidak disangka-sangkanya itu. Rasanya seperti mendapat durian runtuh, sementara di dalamnya berisi emas dan permata. Serta merta mereka mengiyakan amanat itu.

Sendiko dawuh, Ndoro! Kami akan melaksanakan pesan itu sebaik-baiknya.”

Nyonya Noto tidak begitu paham bagaimana ceritanya sehingga kedua orang tuanya itu justru mabuk kecubung, lupa dengan janji mereka. Bukannya digunakan untuk kegiatan sosial, mereka malah menyewakan kamar-kamar itu kepada siapa saja yang mampu membayarnya. Barangkali akibat tidak amanah, bekas pembantu yang naik pangkat menjadi majikan itu tiba-tiba mengalami lumpuh total, dan waktunya hampir bersamaan.

Keduanya hanya bisa tergolek di tempat tidur, tak mampu melakukan apa-apa, kecuali menggerakkan bola mata saja. Para tetangga yang tahu benar sejarah rumah itu bisa menduga dari mana datangnya penyakit misterius itu. Menurut para tetangga yang bermulut usil itu, Tukijo dan Dalinah telah dikirimi sumpah serapah dari neraka, yakni setiap kali Malaikat Malik menyetrika lidah si Roorda yang selicin perosotan itu.

Nyonya Noto telah membawa kedua orang tuanya itu ke rumah sakit, tapi para dokter tidak bisa mengobatinya. Puluhan dukun juga telah dipanggil, puluhan tabib telah diundang, tetapi tetap saja tidak menunjukkan adanya perubahan. Setelah mengeluarkan banyak biaya, tetapi tidak ada hasilnya, Nyonya Noto pun menyerah. Dia membawa kedua orang tuanya itu kembali ke Kartasuro, ke kampung kelahiran mereka. Di sana ada adik perempuan Nyonya Noto yang menempati rumah induk. Si bungsu itulah yang kemudian merawatnya.

Saat menjelang meninggal dunia, Tukijo menyuruh Nyonya Noto pulang ke Kartasuro. Dengan disaksikan oleh Tuan Noto dan kerabat lainnya, si bapak itu berkisah tentang sejarah rumah yang sangat besar itu, selengkap-lengkapnya. Dia juga mengulangi pesan Tuan Barend beberapa tahun yang lalu:

“Gunakan rumah itu untuk beramal!” katanya.

Sehari kemudian Tukijo meninggal dunia. Dua hari kemudian Dalinah menyusulnya. Setelah masa berkabung itu usai, Nyonya Noto kembali ke Jakarta. Wasiat bapaknya itu dia laksanakan sebaik-baiknya. Diisinya rumah besar itu dengan gelandangan dan anak-anak terlantar. Sekarang, jumlahnya sembilan orang, termasuk bocah perempuan yang dipungutnya di Pasar Senen tadi.

 Nyonya Noto membawa bocah perempuan tadi ke kamar mandi yang terletak di samping kamar tidur utama. Dia melucuti pakaian si bocah, lalu melemparkannya ke pojokan. Diputarnya kran, dan suara gemericik air itu pun segera memenuhi udara di ruang yang berukuran tiga kali tiga meter itu. Perempuan yang masih memakai daster itu mengguyurkan air, dua gayung pada bagian punggung, tiga gayung pada kepala.

”Bisa mandi sendiri belum?”

Lihat selengkapnya