Luka, Luka, dan Luka

Dewanto Amin Sadono
Chapter #8

Petaka di Bulan Februari

Februari, 1975

Penghuni yayasan yang bersekolah di SMP Negeri satu-satunya yang berada di wilayah Kecamatan Senen itu hanya Ponirah. Anak-anak lainnya bersekolah di sekolah swasta milik yayasan Nasrani. Waktu itu pelajaran olah raga di kelas VIII A sudah berakhir. Pak Azwin tadi mengajarkan permainan kasti kepada para siswa. Begitu ketua kelas membubarkan barisan, para remaja itu segera berhamburan dari tengah lapangan, lalu menyerbu kantin. Meskipun begitu, ada juga menuju kamar mandi terlebih dahulu untuk berganti pakaian.

Ponirah tidak berganti pakaian juga tidak ke kantin, tapi kembali ke kelasnya. Uang sakunya tersimpan di saku bajunya, dan ditinggalnya di dalam kelas. Dilihatnya Maya sedang menangis di kursinya, dan menelungkupkan wajahnya ke atas meja. Kelas sedang sepi, hanya ada mereka berdua. Herman kribo telah meremas susuku, katanya. Ponirah menatap teman sebangkunya itu.

“Lu suka, enggak?” tanyanya.

“Ih, jijik!” sahut Maya sambil bergidik.

Bener, nggak suka?”

“Suka? Emangnya gue cewek apaan?”

“Kalau begitu, ikuti gue!”

“Mau apaan, sih?”

Diem, pokoknya ikut aja!”

Ponirah mengajak Maya mencari si pembegal payudara itu. Tas sekolahnya tak lupa dia bawa. Maya mengikut, tak tahu apa yang sedang direncanakan teman sebangkunya yang terkadang nekat itu.

Maya anak orang kaya walaupun lebih suka berpakaian seadanya. Sepatu mahalnya jarang dicuci atau dibersihkan, juga tas kulitnya. Meskipun made in luar negeri, barang-barang yang biasa dipakai oleh Maya terlihat seperti barang loakan, hasil membeli dari Pasar Maling tak jauh dari Pasar Senen. Maya sangat terbuka kepada Ponirah, apa saja diceritakannya, dan itu membuat Ponirah kadang-kadang tak enak hati. Seperti halnya pemain poker, Ponirah tak pernah membuka semua kartunya di hadapan siapa pun, termasuk sahabatnya itu. Apa yang bisa diceritakan oleh seseorang yang sejak kecil tinggal di sebuah yayasan?

Bukan salahnya jika dia tak tahu asal usulnya. Nyonya Noto dan Mbok Ginah sepertinya sudah bersepakat menutup mulut mereka rapat-rapat. Setiap kali Ponirah menanyakannya, keduanya tak mau menjawab. Bisa jadi mereka sendiri tidak tahu. Namun, bisa juga mereka tidak mau memberi tahu dengan alasan yang hanya mereka sendiri yang mengetahuinya. Kamu anakku, aku ibumu. Kamu dilahirkan di Pasar Senen. Jawaban Nyonya Noto selalu itu, dan sepertinya dia sedang ingin melucu.

Ponirah dan Maya mencari pembegal payudara itu di halaman sekolah dan ruang perpustakaan, tapi tidak ditemukan. Setelah mengubek-ngubek tiga kantin yang terdapat di sekolah itu, barulah mereka menemukannya di kantin Bu Sarah. Anak kelas IX B itu sedang membanyol di hadapan komplotannya. Bibirnya yang monyong itu tampak jelek sekali saat dia sedang mencoba menirukan gaya bicara Pak Heru, Guru Bahasa Indonesia yang air ludahnya berhamburan saat menerangkan pelajaran itu.

Ponirah segera memanggil Herman, dan mengajaknya ke belakang kantin. Mata si Kribo itu tampak berbinar-binar. Dua perempuan cantik itu mencari dirinya, sementara dia sedang berada di antara kawan-kawannya. Tanpa bertanya lagi diturutinya permintaan dua gadis yang tampak bersikap biasa-biasa saja itu.

Sampai di belakang kantin, belum juga si Kribo sempat membuka mulutnya, Ponirah sudah menjambak rambut kribonya itu, lalu menendang selangkangannya, sekuat tenaga. Si Kribo langsung terbungkuk-bungkuk, mulutnya mendesis-desis seperti lagi kepedasan sambal soto. Burung pipitnya yang mungkin bengkak itu tak lupa didekapnya erat-erat. Dan belum juga si Kribo sempat menanyakan apa salah dan dosanya, Ponirah segera menyempurnakan penderitaannya itu. Diayunkannya tas sekolah yang dipenuhi buku paket tebal itu ke muka cabulnya, sekuat-kuatnya. Darah mengucur deras dari hidung Herman, dan Ponirah tak peduli.

“Berani nyentuh Maya lagi, gue patahin tangan Lu!” katanya.

Ketika mendengar suara ribut-ribut dari belakang Kantin Bu Sarah yang sotonya enak dan murah itu, anak-anak yang sedang jajan itu segera mendekat. Namun, acara penghakiman itu sudah selesai. Mereka hanya menemukan si terdakwa sedang bersimbah darah, sementara seragam putihnya itu sudah berubah menjadi merah.

Keributan itu sampai juga di telinga para guru. Ponirah, Maya, dan Herman dipanggil ke ruang BK. Pak Arifin yang suka menghajar para murid bandel dengan cara memukulkan mistar ke punggungnya itu yang menjadi interogratornya. Seperti maling pada umumnya, Herman tidak mau mengakui perbuatan cabulnya itu kecuali mengatakan, tidak sengaja menyenggolnya. Sementara itu, Maya yang menjadi korban pencabulan itu justru memberikan jawaban yang kurang menyakinkan. Pada akhirnya, pahlawan kesiangan itulah yang harus menerima getahnya.

“Lain kali, kalau ada apa-apa, dicek dan ricek dulu. Ini sekolahan, bukan hutan. Semua ada aturannya, ada prosedurnya. Anak perempuan kok kelakuannya seperti berandalan!” kata Pak Azwin, panjang, lebar, dan bernada tinggi.

Setelah diomeli habis-habisan oleh Pak Arifin, lima belas menit tanpa berhenti, Ponirah disuruh menandatangani surat pernyataan yang isinya tidak akan mengulangi lagi perbuatannya yang sembrono dan membahayakan itu. Ponirah juga diberi hukuman, tidak boleh mengikuti pelajaran selama dua hari, dan berlaku sejak keputusan itu ditetapkan. Sementara si Kribo dibawa ke ruang UKS untuk diobati; Maya kembali ke kelas. Ketika sampai di bangkunya, Maya hanya bisa menangis. Dia tidak menyangka, Ponirah yang sedang membela kehormatannya itu justru menjadi pihak yang disalahkan oleh sekolah.

Sebelum Ponirah pulang, Pak Aridin menyuruhnya meminta maaf kepada Herman, dan Ponirah segera menolaknya mentah-mentah, tentu saja. Ditinggalkannya ruang BK itu tanpa berpamitan. Menurutnya, apa yang dilakukannya sudah benar. Perempuan harus mampu menjaga dirinya sendiri, atau menjaga perempuan lainnya, itu jika mampu. Nyonya Noto pernah mengatakan ini: jangan berharap terlalu banyak kepada kaum laki-laki. Soal perempuan, mereka lebih suka memanfaatkan daripada memenuhi kewajibannya.

Jarak antara sekolah dengan dengan Yayasan Darma Bhakti tidak terlalu jauh, bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tidak sampai lima belas menit, Ponirah sudah sampai di rumah. Dia memasuki ruang tengah itu dengan cara berjingkat-jingkat, takut ketahuan. Nyonya Noto suka marah jika ada penghuni yayasan yang membolos dengan alasan yang tak jelas. Apalagi kalau nanti Nyonya Noto tahu alasan yang sebenarnya. Namun, belum juga sempat memasuki kamarnya, terdengar suara langkah kaki sedang menuju dapur. Dan ketika Ponirah membalikkan badannya, dilihatnya Nyonya Noto sedang melotot, bola matanya hampir copot.

“Kenapa jam segini sudah pulang?” tanyanya.

Ponirah tak segera menjawab, dan hanya bisa cengar-cengir seperti maling jemuran yang tertangkap basah. Dipeluknya tas sekolah itu sambil menggoyang-goyangkan pingggangnya seperti penari holahop.

Lihat selengkapnya