Perempuan yang berkebaya brokat, berselendang sutra kuning, bersepatu hak tinggi, dan bersanggul segede roda vespa itu turun dari dalam mobil sedan. Mobil keluaran terbaru itu bercat hitam, sementara warna plat nomornya hijau. Perempuan itu melangkahkan kakinya, dan gerakannya seperti harimau yang belum makan selama tujuh hari. Laki-laki setengah baya, berjas serta berdasi kupu-kupu, dan bersepatu mengilat seperti bliz kamera itu menyusul di belakangnya. Rambutnya dipotong pendek, sementara kumisnya tampak tertata rapi.
Nyonya Noto dan Tuan Noto segera menyongsong kedua tamu itu. Keduanya berpakaian yang sama, batik merah maron yang tersetrika rapi.
“Mari, silakan! Selamat datang, Tuan dan Nyonya Wirya!”
Seolah-olah keledai yang kelebihan beban pada punggungnya, Nyonya Noto menyalami kedua tamunya sambil membungkuk-bungkuk. Sementara, senyum terus menghias bibirnya yang merah menyala itu. Tuan Noto ikut menyalami, tapi terus menunduk, tak berani mengangkat wajahnya yang dipenuhi jerawat itu.
Teman arisan Nyonya Noto yang memperkenalkan dirinya dengan Tuan dan Nyonya Wirya, seminggu yang lalu. Saat itu mereka bertemu di acara resepsi pernikahan yang diadakan di Gedung Gasebo. Tuan Wirya termasuk orang penting di negeri ini. Selain aktif di dinas kemiliteran, dia juga menjabat komisaris utama pada beberapa Badan Usaha Milik Negara. Ketika itu, iseng-iseng Nyonya Noto bercerita tentang yayasannya. Pucuk dicinta ulam tiba, Tuan Wirya menjanjikan bantuan. Syaratnya, Nyonya Wirya yang mengatur acaranya, dan harus tampak resmi, dan yang lebih penting lagi ini: ada wartawan fotonya.
Nyonya Wirya mendahului memasuki halaman, Tuan Wirya menjajarinya, sementara Tuan dan Nyonya Noto membunti di belakangnya.
“Semua sudah siap, Mbakyu Noto?” tanya Nyonya Wirya.
“Sudah, sudah, Nyonya Wirya!” jawab Nyonya Noto sambil membungkuk-bungkukkan badannya.
Sebelum memasuki ruang tengah, Nyonya Wirya mengambil kipas mungil dari dalam tas kulitnya, lalu mengibas-ngibaskan di dekat lehernya yang berkalungkan emas, besarnya selengan bayi. Seakan-akan calon mertua yang sedang meneliti riwayat hidup calon menantunya, disisirinya seluruh bagian rumah itu dengan matanya.
Usia Nyonya Wirya belum genap empat puluh tahun. Bentuk tubuhnya bulat dan bantat seperti bola bekel. Seluruh benda yang melekat pada tubuhnya berharga mahal. Namun, seakan-akan di dalam kepalanya berisi sebatang pohon, dan pada setiap daunnya bertuliskan keinginan yang belum bisa diperolehnya, wajahnya tampak tak bahagia.
Nyonya dan Tuan Noto membawa kedua tamu itu menuju ruang tengah. Ruang keluarga itu telah disulap menjadi semacam ruang pertemuan. Seluruh penghuni yayasan telah bersiap sejak pagi tadi. Mereka dikerahkan untuk memindahkan meja-kursi, menggeser lemari, menyapu, mengepel, memasak, menata kursi, dan memasang spanduk. Bagian depan ruangan itu sengaja dibiarkan kosong, hanya diisi mimbar kecil untuk berpidato nanti. Spanduk yang berisi ucapan selamat datang itu terpampang pada dinding. Nama pasangan tamu agung itu tertera di dalamnya. Huruf-hurufnya segede gajah. Warnanya kuning.
Nyonya Noto bertepuk tangan tiga kali, dan alunan musik keroncong dari piringan hitam itu pun seketika terhenti. Mbok Ginah, sesuai instruksi yang telah disepakai sebelumnya dan diulang sampai lima kali, sigap mematikannya. Tiba-tiba pintu ruang belakang itu membuka, dan munculah barisan yang berisi sembilan orang. Semuanya berseragam batik merah maron. Laki-perempuan dengan tinggi badan dan ukuran tubuh yang tidak sama itu berbaris rapi, dan menghadap ke arah mimbar kecil itu. Mereka berdiri kaku seperti pasukan yang sedang menunggu giliran diinspeksi oleh sang komandan. Mata mereka terlihat mengantuk, dibangunkan paksa Subuh tadi, dan belum sempat bersarapan.
Seluruh peristiwa Minggu pagi itu diabadikan oleh wartawan berita harian nasional. Namanya Syukur. Dia tampak berkitar-kitar dengan kameranya. Cahaya bliz itu terus berkilatan menangkap setiap momen walaupun tak ada yang penting benar. Nyonya Wirya, atas nama suaminya, sehari sebelumnya telah menelepon pemilik koran agar mengirimkan orang terbaiknya. Yang pandai memotret. Kirim si Syukur, pesannya. Pria yang berambut klimis itu sudah beberapa kali mengikuti kegiatan sosial yang diadakan oleh Tuan dan Nyonya Wira.
Tuan Wirya berdiri di mimbar, sementara Nyonya Wirya terus mendampinginya. Lewat matanya, perempuan kecil itu memberi isyarat kepada Syukur agar segera mengambil gambar mereka.
Cekrek! Cekrek!
“Saya datang ke sini untuk menyerahkan bantuan yang tak seberapa ini agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Harapan saya, kelak para penghuni yayasan ini dapat berguna bagi nusa dan bangsa.” Tuan Wirya mengacungkan tinggi-tinggi lembaran cek itu. “Saya serahkan cek ini kepada pengurus yayasan. Semoga bermanfaat!”
Cekrek! Cekrek!
Nyonya Noto memberi isyarat kepada suaminya lewat kerlingan mata, dan Tuan Noto segera maju ke arah mimbar untuk menerima lembaran cek itu. Sang juru potret memotret momen itu berkali-kali. Nyonya Noto bertepuk tangan, diikuti seluruh penghuni yayasan, termasuk Mbok Ginah. Bahkan, dia yang terlihat paling bersemangat, tepukannya keras sekali.
Cekrek! Cekrek!
Acara dilanjutkan dengan ramah-tamah serta tanya-jawab. Tuan Wirya mendekati barisan, menanyai para remaja itu. Sementara Nyonya Wirya berjalan di belakang suaminya, didampingi Tuan dan Nyonya Noto. Di sudut lain, Mbok Ginah tampak sibuk menghidangkan teh, pisang goreng, bakwan, serta kue bolu. Suguhan itu ditaruhnya di atas meja bundar di dekat pintu keluar.
Nyonya Wirya sudah mencomot kue itu dua kali, sementara para remaja yang kelaparan dan masih dibariskan itu hanya berani melirik makanan yang tampak menggiurkan itu sambil menelan ludahnya. Perut mereka sudah sedari tadi merengek-rengek minta diisi, sedangkan tamu yang bertampang dingin itu belum selesai dengan pertanyaan-pertanyaannya yang konyol itu.
Cekrek! Cekrek! Syukur memeriksa sisa film pada kameranya, dan tersisa dua klise saja. Dia menoleh ke arah Nyonya Wirya, memberi isyarat lewat tangannya bahwa akan meninggalkan rumah itu.
“Kur, beritanya mau dimuat kapan?” tanya Nyonya Wirya, suaranya keras sekali.
Teriakan itu menghentikan langkah laki-laki yang berusia tiga puluhan tahun itu. Kamera yang tergantung di lehernya tampak bergoyang-goyang saat dia membalikkan badannya.
“Paling lambat dua hari, Nyah!”
“Tidak bisa besok?”
“Tidak bisa, Nyah. Jam segini biasanya sudah persiapan naik cetak!”
“Benar dua hari, ya? Awas kalau meleset, tak gantung kamu.”
“Beres, Nyah. Permisi!” Syukur berlari menuju motornya, meneruskan pekerjaannya, mencari berita yang lebih penting.
Seperti polisi yang sedang melakukan interograsi terhadap sekawanan pencuri, Tuan Wirya menanyai penghuni yayasan itu satu per satu. Sementara itu, para tersangka yang sedang kelaparan itu tampak enggan membuka mulut mereka, bisa jadi bosan dengan pertanyaan yang isinya itu-itu saja. Nyonya Wirya sesekali ikut menyela, dan isi pertanyaannya sama saja dengan yang diajukan oleh suaminya, sama-sama tidak bermutunya.
“Bisa berhitung satu sampai sepuluh?” tanya Tuan Wirya.
“Bisa, Tuan,” jawab Ningsih.