Luka, Luka, dan Luka

Dewanto Amin Sadono
Chapter #10

Kabur

Tuan Wirya melirik jam tangan besar di tangan kanannya, lalu mendekati istrinya. Sementara itu, Nyonya Wirya masih asyik berkisah tentang sejarah kalung besar yang melingkar pada lehernya itu.

“Hadiah ulang tahun perkawinan yang ke sepuluh dari suami, Mbakyu. Saya minta yang kecil saja, tapi dibelikan yang sebesar ini. Bahkan, gelang yang di rumah itu lebih gede lagi. Orang-orang sering mengira itu imitasi. Itu tuh orang-orang yang suka iri.”

Tuan Wirya berdehem, dan menunjuk ke arah jam tangannya. Nyonya Wirya menoleh, mulutnya yang masih ingin terus nyerocos itu pun seketika terhenti. Nyonya Noto segera memahami situasinya, lalu bertepuk sebanyak tiga kali. Dengan serentak barisan itu pun membubarkan diri. Mereka kembali ke ruang belakang sesuai urutan yang sudah ditentukan sebelumnya. Hanya, Ponirah segera menyalip yang lainnya, dan langkah kakinya tampak sangat tergesa-gesa.

“Maaf, Mbakyu Noto, kami tidak bisa lama-lama. Bapak ada acara penting,” ucap Nyonya Wirya.

“Enggak apa-apa. Kami maklum, kok. Tuan dan Nyonya Wirya kan orang sibuk, orang penting. Terima kasih atas bantuannya, lho,” balas Nyonya Noto.

“Bantuan tak seberapa itu, tidak usah terlalu dibesar-besarkan! Kalau ada apa-apa, jangan sungkan-sungkan minta! Bukan begitu, Pak?” Nyonya Wirya menoleh ke arah suaminya yang segera mengangguk-angguk sambil tersenyum.

“Wah, terima kasih sekali. Tuan dan Nyonya Wirya ini benar-benar dermawan. Coba orang-orang kaya itu mau meniru, pasti tak ada gelandangan lagi di negeri ini.”

“Ah, Mbakyu Noto itu bisa saja. Kami jadi tak enak hati.”

Puja-puji itu berlangsung dua menit; Nyonya Wirya kembali berpamitan. Kedua tuan rumah itu mengantarkan kedua tamunya hingga di jalan raya. Ketika mobil itu mulai berjalan, Tuan dan Nyonya Noto segera melambai-lambaikan tangannya, penuh semangat. Kelakuan mereka itu tak ubahnya bocah TK saat melihat pesawat terbang yang melintas rendah di atas kepala mereka, jauh di angkasa sana. Setelah mobil itu menghilang dari pandangan, barulah keduanya memasuki rumah, dan segera bernapas lega. Pertunjukan sandiwara itu usai sudah.

Nyonyo Noto mendengkus, mendaratkan tubuh gemuknya ke salah satu kursi. Dan ketika sekumpulan daging dan tulang yang seukuran pantat kerbau itu menimpanya, karet pentil warna-warni itu pun seketika melentur, dan hampir copot sambungannya.

“Sombong banget! Dasar orang kaya baru! Kata teman dari temanku, dulu Ginem itu sukanya nyari sisa-sisa tebu, dibuat gulali lalu dijual di pasar. Kalau saja tidak ketemu Pak Wirya, paling-paling dia hanya menjadi buruh tani. Tidak seperti saat ini.”

“Sudah! Tidak usah iri! Nikmati saja hidup ini! Yang penting pertunjukan sukses. Dua juta! Lumayan.”

“Buat anak-anak, bukan buat kita.”

“Saya tahu, Bu!”

“Kalau tahu, ya sudah. Sini ceknya!”

Sang suami mengangsurkan lembaran cek di tangannya, lalu duduk di samping istrinya. Nyonya Noto segera memasukkan cek itu ke dalam tas kecilnya, dan bernapas lega. Uang sebanyak itu bisa digunakan untuk memberi makan seluruh penghuni yayasan selama tiga bulan.

“Pak Wirya belum pensiun, ya?” tanya Tuan Noto.

“Belum. Dengar-dengar baru-baru ini pangkatnya justru dinaikkan lagi.”

“Ya, sudah rejekinya,” kata Tuan Noto, lalu berdiri. “Aku mau tidur! Maaf, suamimu ini hanya juru tulis kecamatan, bukan letnan kolonel.”

Tuan Noto meninggalkan Nyonya Noto yang sedang bersungut-sungut. Sambil berjalan, dicopotnya pakaian batik merah maton yang membuatnya gerah itu, disampirkannya ke pundak.

“Pak, suruh Mbok Ginah ke sini!” teriak Nyonya Noto.

“Ya,” jawab Tuan Noto tanpa menoleh.

Dua menit kemudian Mbok Ginah datang menghadap, sementara Nyonya Noto sedang sibuk menyantap kue bolu. Mbok Ginah telah menukar pakaian batik merah maron tadi dengan pakaian kerja, daster pemberian Nyonya Noto yang telah dipermak bentuk dan ukurannya, habis-habisan. Pembantu itu duduk di dekat majikannya, di atas kursi, tidak bersimpuh di lantai seperti pembantu lain pada umumnya. Nyonya Noto telah melarangnya. Saya bukan raja, katanya.

“Mbok, anak-anak disuruh sarapan dulu!”

“Baik, Yah.”

“Ini makanan dibawa ke belakang saja, biar dihabiskan!”

“Baik, Yah.”

Nyonya Noto tampak berpikir sebentar. “Oh, ya! Suruh Ponirah ke sini!”

Ketika mendengar perintah terakhir tersebut, Mbok Ginah langsung terdiam, dan tak berani menatap majikanya. Secepatnya dia mengambil nampan, memberesi gelas dan penganan di atas meja bundar itu, lalu menyingkir dari ruangan tengah. Dan di dapur sana, Mbok Ginah sengaja berlama-lama menyibukkan dirinya. Dia mencuci gelas serta piring itu berulang kali.

“Mbok Ginah!”

Sebenarnya Mbok Ginah mendengar teriakan itu, tapi dia justru meneruskan pekerjaan lainnya, Diambilnya sapu, dan disapunya lantai yang sudah bersih itu.

“Mbok Ginaaaah!”

Mbok Ginah terperanjat. Teriakan itu menyambar di depan lubang telinganya. Nyonyo Noto sudah berdiri di depan pintu yang mengarah dapur itu. Wajah itu tampak masam. Bibirnya cemberut.

Lihat selengkapnya