Setelah memutari hampir separuh Kota Jakarta, dan tidak juga menemukan Ponirah, Nyonya dan Tuan Noto memutuskan kembali ke rumah. Nyonya Noto bergegas ke ruang belakang. Parasnya tampak kuyu. Dahinya terlipat seolah-olah baju yang tak pernah mengenal setrikaan.
“Mbok Ginaaaah!” teriaknya, sekerasnya.
Mbok Ginah yang sedang mencuci segera menghentikan pekerjaannya, lalu selekasnya menghadap Nyonya Noto. Busa sabun colek yang bertempelan pada punggung tangannya itu dia usap-usapkan ke daster.
“Ketemu, Nyah? Mana Non Ponirah?” tanyanya.
“Minggat! Tak ketemu,” jawab Nyonya Noto, bersungut-sungut. “Mbok Ginah benar-benar tak tahu kenapa Ponirah pergi?” Nyonya Noto justru balik bertanya.
“Ee, tak tahu, Nyah!” jawab Mboh Ginah agak kaget.
“Benar?” Nyonya Noto menyorot tajam. “Awas kalau bohong. Panggil Ningsih ke sini! Cepat! Jangan-jangan karena mereka berkelai lagi.”
Seolah-olah kuda sedang ditepuk bokongnya, Mbok Ginah tergesa-gesa menuju kamar Ningsih, letaknya paling ujung. Tak lama kemudian, dia sudah kembali lagi. Ningsih membuntuti, berjalan terpincang-pincang, dan terus menundukkan kepalanya.
“Ning, kenapa Ponirah pergi?”
“Tak tahu, Bunda.” Ningsih mendongak sebentar, lalu menunduk lagi.
“Jangan-jangan kalian berkelai lagi?”
“Tidak, Bunda.”
“Tak mungkin anak itu pergi tanpa alasan.” Nyonya Noto menggeremang.
“Saya tidak tahu, Bunda,” kata Ningsih lagi.
“Beneran, kamu tidak menjahatinya lagi?”
“Tidak, Bunda,” jawab Ningsih, mukanya tampak memerah.
“Ya, sudah. Kamu boleh pergi, tapi Mbok Ginah tetap di sini!”
Tanpa disuruh dua kali, Ningsih segera meninggalkan tempat itu. Dia tidak kembali ke kamarnya, melainkan berhenti di pelataran, dan berpura-pura membalik-balik jemuran, sambil menguping tentu saja.
“Duduk, Mbok!” Nyonya Noto menunjuk kursi penjalin di dekatnya.
Mbok Ginah melangkahkan kakinya dengan ragu, dan tidak berani mengangkat mukanya. Didudukinya kursi yang ditunjuk majikannya tadi, dan terus menunduk. Sementara itu, Nyonya Noto tetap berdiri, dan berjalan mondar-mandir sambil meremas-remas telapak tangannya.
“Ponirah itu sangat dekat dengan saya. Kalau ada apa-apa pasti bicara pada saya. Lha, ini kok ujug-ujug pergi tanpa pesan. Pasti sudah terjadi sesuatu.” Nyonya Noto memandangi Mbok Ginah dengan sorot mata yang setajam jarum.
“Saya tidak tahu apa-apa, lho, Nyah,” kata Mbok Ginah, menundukkan kepalanya lebih dalam.
“Benar tidak tahu?”
“Bener Nyonya.”
“Berani sumpah?” Nyonya Noto mengacungkan tangan kanannya.
“Ber-ber.... Aduh, piye iki jal?”
Mbok Ginah batal memberikan tangannya yang sudah terangkat di udara itu. Keraguan dan ketakutan tampak jelas pada wajahnya. Pada akhirnya, tangan itu justru dia tepuk-tepukkannya ke paha, sementara tatapan matanya mencoba menghindari wajah Nyonya Noto.
“Mbok, lihat saya! Lihat saya! Katakan yang sejujurnya atau Simbok saya usir dari rumah ini!” Nyonya Noto memerah mukanya, rupanya mulai kehilangan kesabarannya.
“Ampuni saya, Nyonya! Saya tak berani. Tapi jangan diusir. Saya harus ke mana?” Mbok Ginah mulai terisak-isak.
“Bukan urusan saya. Kenapa Ponirah pergi, Mbok? Ada apa sebenarnya?”
“Saya takut nanti Nyonya justru marah.”
Nyonya Noto duduk di samping Mbok Ginah. Tangannya menyentuh lengan perempuan yang tampak gemetaran itu, dan tak lupa memberikan senyumannya walaupun sedikit saja, dan hambar.
“Mbok, katakan saja! Saya tidak akan marah.”