Luka, Luka, dan Luka

Dewanto Amin Sadono
Chapter #12

Menuju Rumah

Bis yang ditumpangi Ponirah sudah melewati Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Kendal, Semarang, dan Ambarawa. Ketika bis berhenti di Salatiga, dia terjaga, sementara kursi di sampingnya yang sebelumnya kosong itu, kini diduduki oleh bapak yang berkumis, entah naiknya dari mana. Ponirah menggeliatkan tubuhnya, melihat jam di tangan kirinya. Jam mungil itu pemberian Nyonya Noto. Dia tak ingat dalam rangka apa. Yang pasti bukan perayaan ulang tahun; dia tak tahu waktu kelahirannya. Kedua jarum jam itu sedang menunjukkan pukul 20.10 wib.

“Boyolali masih jauh, Pak?” tanyanya.

“Sudah dekat, sekitar satu jam lagi. Adik mau ke mana?” Si bapak itu tersenyum, manis sekali.

“Boyolali, Pak.”

“Iya, maksudnya Boyolali-nya mana?”

“Oh, Kemusu.”

“Nanti Adik turun di Terminal Sunggingan. Dari sana nanti ganti mobil.”

“Terima kasih informasinya, Pak.”

Ponirah memejamkan matanya, dan berangan-angan. Masih ada waktu satu jam baginya untuk memikirkan langkah selanjutnya. Namun, si bapak yang berpakaian rapi, bersuara halus, dan tampak sangat sopan itu terus mengganggunya dengan pertanyaan-pertanyaannya. Ponirah tak memberinya kesempatan, menjawab seperlunya saja, hanya demi sopan santun. Akhirnya, si bapak itu pun menyerah, dan menghentikan usahanya.

“Saya turun dulu, ya. Kebelet pipis,” katanya.

Ponirah tak menanggapi, bahkan tak memberikan reaksi apa pun. Wajah si tua bangka itu tiba-tiba terbayang di matanya, dan membuatnya hampir muntah. Si bapak itu turun dari bis, dan bau parfum berharga murahan itu segera menyodok-nyodok lubang hidung orang-orang yang dilewatinya. Si bapak itu tidak ke kamar kecil seperti yang dikatakannya, melainkan duduk di bangku penjual soto. Dia menyulut rokoknya, lalu menggerayangi para penumpang yang berseliweran di depannya itu dengan matanya, terutama perempuan.

Terminal Salatiga tampak sepi. Seperti halnya buah-buahan, tampaknya bepergian pun ada musimnya. Dan saat ini, belum waktunya bagi orang-orang untuk berkeluyuran. Barisan bis kecil itu tampak berjajar tak beraturan di salah satu bagian terminal, sementara jendela dan pintunya tertutup rapat. Beberapa becak tanpa atap terlihat berbaris rapi di tepi jalan. Sementara itu, seperti seekor tenggiling, para abang becak itu menggulung tubuh mereka dengan kain sarung, melingkar di atas jok.

Di warung-warung yang beratap terpal plastik, para penumpang yang kelaparan itu terlihat lahap menyantap soto, rawon, mi, dan pecel. Mereka tak peduli harganya yang mahal dan rasanya yang seperti muntahan kucing. Lalu, di salah satu sudut terminal, di dekat tempat sampah, anak-anak pengasong yang berwajah lelah itu terlihat berdiri dengan gontai. Barang dagangan mereka tampak masih menggunung, memenuhi kotak kardus.

Setengah jam kemudian, bis itu pun berangkat lagi. Si bapak yang berumur sekitar lima puluh tahun itu kembali duduk di samping Ponirah, dan kembali mencoba memancing obrolan. Ponirah muak. Dijawabnya pertanyan-pertanyaan itu dengan kasar. Setelah menyadari usahanya mendekati gadis itu tidak membuahkan hasil, si bapak itu pun menghentikan usahanya, berpindah ke kursi lainnya.

Ponirah kembali terpekur, mencoba menggali kenangan yang barangkali masih tersimpan di otaknya. Namun, album kenangan itu hanya tersisa sebagian saja. Wajah ibunya lenyap tak tersisa, juga kenangan bersamanya. Sementara wajah bapaknya hanyalah serupa bayangan yang samar-samar. Detailnya tak bisa lagi diingatnya. Bahkan, bisa jadi, dia tidak akan bisa mengenali laki-laki yang telah mengukir jiwa raganya itu meskipun berada di depannya, tepat berhadapan muka. Itu jika bapaknya masih hidup meskipun kemungkinannya kecil sekali.

Kenangan terakhir bersama bapaknya itu masih tersisa. Kenangan saat dilemparkan dari dapur. Kenangan pada wajahnya yang membatu dan sorot mata yang membeku itu. Juga kepalanya saat melongok dari lubang dapur. Juga suara rentetan tembakan yang terdengar keras sekali itu, tentu saja. Bahkan suara itu masih menggema di telinganya sampai saat ini. Dulu dia tak tahu apa yang terjadi. Namun, dari berita-berita yang pernah dibacanya, dia sudah bisa menduga, bapaknya telah mati. Dan dia pulang hanya untuk menemui kuburannya. Itu pun kalau ada.

Para tetangga takut kepada bapaknya, dan memilih tak mau dekat-dekat. Paling tidak itulah yang bisa diingatnya. Bapaknya galak, dan tak segan-segan memukul walaupun bukan dirinya yang sering menjadi korban sabetan bilah bambu itu. Akan tetapi, kakaknya sudah berkali-kali, itu jika sang kakak lalai mencarikan rambanan buat si Kampret. Sang kakak akan menangis tanpa suara di dekat kandang kambing, merabai bilur merah di punggungnya yang seperti kuda zebra salah warna itu. Dan diam-diam dia akan duduk di samping kakaknya, mengelus-ngelus punggung yang tak mulus lagi itu.

Wajah kakaknya datang dan pergi dalam ingatannya, dan hanya berupa bayangan, bukan wajah yang langsung bisa dikenalinya sebagai kakaknya. Meskipun demikian, kilatan-kilatan peristiwa itu masih sering bertumbuk-tumbukan di dalam benaknya. Ada beberapa serpihan yang bisa dikumpulkannya menjadi rangkaian yang utuh, tapi lebih banyak lagi yang berantakan dan berserakan, tak jelas ujudnya.  

“Mas Ponirin, kamu di mana?” bisik Ponirah tanpa sadarnya. Harapannya, kakaknya itu sudah berada di rumah itu, sedang menunggu kedatangannya.

Juga wajah Lik Warto, orang dari masa lalu yang terakhir dilihatnya. Meskipun mereka pernah menghabiskan waktu bersama-sama selama berhari-hari, wajah itu hanya singgah sebentar, menari-nari di pelupuk matanya, lalu berkelebat pergi. Semuanya serba tak jelas. Bisa jadi Lik Warto adalah si bapak yang duduk di sampingnya tadi, tidak mengenalnya dan tidak dikenalinya.

Ponirah tersenyum-senyum, menyenyumi pikirannya sendiri. Dia segera menoleh, mencari-cari si bapak tadi dengan matanya. Dan, di deretan bangku sebelah kiri, dua baris di belakang bangkunya, si bapak tadi tampak sedang asyik mengobrol dengan gadis berjilbab. Ponirah senyum dikulum, tapi hanya sesaat. Ketika bayangan si tua bangka itu berkelebat, senyum itu pun lenyap. Sepertinya Lik Warto bukan laki-laki cabul seperti itu, batinnya.

Ponirah menghela napas panjang, mengusir resahnya. Tempat kelahirannya itu sudah dekat, dan dia belum mengatahui apa atau siapa yang bakal ditemuinya. Atau siapa yang masih mengingatnya. Siapa yang merasa kehilangan dirinya. Siapa yang merindukannya. Dia tersenyum masam.

Bis warna biru itu terus melaju, membelah jalan yang sepi, menembus malam. Lampu depannya menyorot jalan beraspal yang tidak rata itu, sedikit miring di bagian pinggirnya. Lalu lintas di jalur Pantura itu tidak begitu padat, hanya ada beberapa mobil yang melintas, dan didominasi oleh truk yang sedang mengangkut barang-barang kebutuhan masyarakat. Sementara itu, beberapa orang tampak berjalan di pinggir jalan, berpenerangan obor atau lampu senter.

Ponirah tergeragap ketika ada tangan yang menyentuh pipinya. Seketika tangan itu ditepisnya, dan ternyata si bapak yang tadi. Si bapak itu tampak tersenyum, mempertontonkan barisan giginya yang kecokelat-cokelatan akibat gempuran nikotin.

“Bangun, Dik! Sebentar lagi sampai di Terminal Sunggingan,” ucapnya, manis sekali.

Ponirah tak menjawab, wajahnya terlihat cemberut. Dia merapatkan jaketnya, mengambil rangsel yang tersimpan kolong kursi, lalu membetulkan letak topinya yang sedikit miring. Setelah beranjak dari kursi, Ponirah berdiri di lorong bis. Tangannya berpegangan pada pipa besi yang menempel pada plafon. Tubuhnya segera terhuyung-huyung ketika bis itu berbelok tajam ke kiri, memasuki terminal. Sang sopir mengerem mobilnya; bis berhenti di jalur untuk menurunkan dan menaikkan penumpang.

“Boyolali, Boyolali, Boyolali! Boyolali habis! Boyolali habis!” teriak sang kondektur, gaduh.

Lihat selengkapnya