Malam itu Ponirah tidak tidur di terminal atau di mana pun, melainkan tidak tidur. Dengan ditemani si kakek dan Gendon, Ponirah menunggu kedatangan pagi di emperan toko onderdil sepeda motor tak jauh dari terminal. Dua orang yang suka bercanda itu melayani obrolan Ponirah dengan suka cita. Ponirah bertanya tentang apa saja, termasuk yang tak perlu ditanyakan, dan mereka menjawab sebisa-bisanya, terkadang bergantian, kali lain keroyokan.
Ketika matahari mulai menampakkan sinarnya, Gendon mengajak Ponirah berangkat. Yamaha V 75 hitam yang penyok pada bagian tangki itu langsung menyala saat distart. Ponirah berpamitan kepada si kakek, dan tak lupa memberinya uang jasa. Obrolan semalam itu telah membuatnya tertawa dan bergembira, sedikit mengurangi resahnya.
Sepanjang perjalanan menuju Kemusu, pohon akasia dan mahoni, berselang-seling dengan trembesi, memagari jalan raya yang aspalnya mulai rompal di sana-sini itu. Setelah menjauh dari kota kabupaten, jalanan makin rusak, dan rumah mulai jarang. Persawahan tampak sesak oleh tanaman padi, warna-warni, kuning dan hijau, menandai masa tanam yang tidak sama. Kebun kosong di kanan-kiri jalan itu dipenuhi oleh ilalang, pohon kelapa, dan pohon pisang.
Ketika motor mulai memasuki wilayah Karang Gede, udara terasa lebih dingin. Hutan jati sedang subur-suburnya. Daunnya melimpah, menjuntai, memenuhi setiap rantingnya. Suara burung perkutut bersahut-sahutan, berkumandang dari ujung hutan ke ujung hutan satunya. Sementara itu, segerombolan monyet tampak bergelayutan di pohon mahoni. Di salah satu dahannya seekor betina tampak sedang menyusui bayinya.
Satu jam kemudian motor butut itu mulai memasuki wilayah Kemusu. Jalanan terlihat ramai oleh anak-anak yang sedang berangkat ke sekolah. Mereka berjalan tanpa alas kaki, dan mengempit bukunya yang hanya sebiji itu pada ketiaknya. Lima belas menit kemudian, motor itu berbelok ke kanan, lalu menyusuri jalanan yang berbatu. Sawah terhampar di kanan-kiri jalan, sementara pohon randu berjajar-jajar membentuk barisan, panjang sekali. Lima belas menit kemudian, sebuah gapura tampak mengangkangi jalan. Bangunan tembok itu terlihat kusam, muram, dan sepertinya sudah lama sekali tidak diganti catnya. “Selamat datang di Desa Butuh” Itulah tulisan yang tertera pada plang kayu itu.
Ponirah mulai menata perasaannya, mencoba menggali ingatannya, dan mempersiapkan segala sesuatunya. Dia harus bersiap menerima kenyataan, sepahit apa pun itu nantinya. Matanya segera menjelajahi benda-benda di sepanjang jalan itu, mencocokkannya dengan memorinya, dan segera kecewa. Dia merasa sedang memasuki sebuah negeri di antah berantah. Tak ada satu pun tanda-tanda yang bisa dikenalinya. Ruang di dalam otaknya itu tidak menyisakan apa-apa, kecuali ruang hampa belaka.
Gendon berhenti di depan sebuah kios kecil di pinggir jalan, mematikan motornya, dan turun dari sadelnya. Dia mendatangi si penjual, membeli sebungkus rokok. Sementara itu, Ponirah tetap berada di atas sadel sepeda motor, dan telah didudukinya selama hampir dua jam. Bokongnya sudah panas, dan bisa jadi sebentar lagi matang.
“Mas, Dukuh Awon-Awon sebelah mana, ya?” tanya Gendon setelah membayar rokok.
“Awon-Awon?” Si penjual sedikit mendongak, dahinya agak mengerut. “Sepertinya di sini tidak ada, Mas.”
Saat mendengar jawaban itu, Gendon segera menoleh ke arah Ponirah seolah-olah ingin mengatakan, “Apa saya bilang?” Ponirah sendiri langsung menghela napas panjang mendengarnya. Badannya sudah capek, pikirannya juga, bahkan hampir mencapai batas kesanggupannya. Dia datang jauh-jauh dari Jakarta demi bisa menemukan jawaban atas pertanyaan yang selama sepuluh tahun ini menggayuti benaknya. Sementara itu, yang dia temukan di tempat ini justru pertanyaan lainnya, berderet-deret panjang sekali seperti daftar belanjaan para nyonya di sebuah toko serba ada. Pandangan mata Ponirah terlihat kosong. Kalau dukuh itu tidak ada, kenapa Lik Warto menuliskannya?
Gendon kembali ke sepeda motornya, menaikinya, tetapi tidak segera menyalakan mesinnya. Sepertinya, dia juga sedang bingung. Rokok itu dibukanya, diambilnya sebatang, lalu disulutnya. Asap berpendar-pendar di udara, tetapi sebentar saja. Angin yang berembus sepoi itu segera membuyarkannya. Si penjual yang berwajah ramah itu keluar dari dalam kios, lalu mendatangi Gendhon dan Ponirah.
“Mas, coba ke arah sana dulu saja! Tanya yang lainnya, barangkali tahu. Soalnya, saya belum lama tinggal di sini.” Si penjual menunjuk ke arah barat.
Gendon dan Ponirah mengarahkan mata mereka ke arah yang ditunjuk oleh si penjual tadi. Di kejauhan sana, rumah-rumah itu tampak mengintip dari sela-sela pepohonan, kecil dan samar. Setelah mengucapkan terima kasih, Gendon menstart motornya; Ponirah memegangi sadel.
Selama perjalanan, pandangan mata Ponirah mengarah ke rimbunan pohon bambu yang terhampar jauh di kaki bukit sana, di sebelah kiri jalan. Sekawanan belibis tampak bertengger di salah satu batangnya yang menjulang. Barangkali sedang melepas lelah sebelum nanti mereka melanjutkan perjalanannya yang jauh, mencari penghidupan, melanjutkan keturunan.
Motor terus melaju, dan pikiran Ponirah tetap saja buntu. Dia mencoba membongkar lagi tumpukan kenangan di otaknya, tetapi hasilnya sama saja. Gapura, ladang, sawah, pepohonan, dan bangunan itu sama sekali tak bisa diingatnya. Ponirah mengerutu. Bisa jadi bapak dan ibunya tak pernah mengajaknya ke mana-mana, dulu. Namun, bisa pula dia belum pernah tinggal di tempat ini sebelumnya.
Gendon sudah berhenti dua kali, dan menanyakan letak Dukuh Ngawon-Awon itu tiga kali, tapi orang-orang itu hanya menjawab dengan gelengan kepala, semuanya. Ponirah mulai kehilangan harapan, dan mulai menimbang-nimbang kembali ke Jakarta. Barangkali menemui Maya, sementara, sebelum mendapatkan pekerjaan. Yang pasti, dia tidak bakal kembali ke rumah itu lagi, kecuali si tua bangka itu sudah mati.
“Sekarang ke mana, Mbak?” tanya Gendhon.
“Coba nanya sekali lagi, Bang,” jawab Ponirah. ”Yang umurnya agak tuaan!”
“Kenapa tidak langsung menanyakan nama orangnya saja, Mbak? Sepertinya itu lebih mudah. Bisa jadi warga di Desa Butuh ini ada yang mengenalnya.”