Ponirah sedang merenung-renung ketika tiba-tiba terlihat olehnya pohon rambutan itu. Letaknya di samping di rumah. Batangnya besar. Daunnya sangat rimbun, dan setinggi pohon kelapa. Seketika, kenangan sepuluh tahun yang lalu itu kembali membayang. Tak ubahnya tayangan film di sebuah gedung bioskop, gambaran itu terlihat sangat nyata, frame demi frame. Peristiwa yang hampir merenggut nyawa kakaknya itu tak mungkin bisa dilupakannya, sampai kapan pun.
Ketika dilihatnya ada laki-laki yang keluar dari dalam rumah, Ponirah bergegas turun dari atas motor. Dia tidak ingin hanya merasa pernah melihat atau berada di tempat ini saja. Hal itu harus dipastikan agar tidak membuatnya mati penasaran nantinya.
“Tunggu di sini, Bang!” pesannya kepada Gendon.
Sambil menggendong rangsel berisi pakaian yang dirasakannya makin membebani pundak dan punggungnya, Ponirah menghampiri lelaki berkain sarung yang sedang menjemur gaplek itu. Dua tampah itu tampak dipenuhi oleh potongan-potongan singkong mentah, bentuknya tak beraturan. Warnanya sudah mulai kehitam-hitaman, ditumbuhi jamur.
“Permisi, Pak! Kulo nuwun,” katanya.
Laki-laki itu berpaling, berhenti membolak-balik gaplek, lalu memandangi Ponirah penuh tanda tanya. Sementara itu, mulutnya tampak ternganga, barangkali tak mengira rumahnya bakal kedatangan bidadari di siang hari ini.
“Kulo nuwun, Pak!” Ponirah mengulang sapaan yang tidak terjawab tadi.
“Mong-monggo!” jawab laki-laki itu, tergeragap. “Mencari siapa, Mbak?”
“Apakah ini rumahnya...,” Ponirah berpikir sejenak, “Ponirin?”
“Ponirin? Ponirin siapa, ya?” tanya laki-laki itu, lalu berdiri.
“Memangnya di sini ada berapa Ponirin?” tanya Ponirah.
“Ada tiga, Mbak. Ponirin yang jadi tukang becak di Pasar Klewer, Ponirin yang kuli batu, dan Ponirin saja, belum kerja. Soalnya masih bayi. Yang mbak tanyakan Ponirin yang mana?”
“Anu, Ponirin yang anaknya Pak-pak Suro.“ Lidah Ponirah seakan-akan tercekat saat menyebutkan nama itu.
“Suro siapa? Di sini ada dua Suro. Yang satu Suro….”
“Suro Digdo,” sahut Ponirah cepat.
“Suro Digdo? Pentolan komunis itu?” Penampakan wajah laki-laki itu langsung berubah.
“Saya tidak tahu pentolan atau bukan,” ujar Ponirah. Kulit mukanya yang putih bersih itu tampak bersemburat warna merah tomat
“Iya, benar-benar pentolan, Mbak. Pak Suro sangat pemberani. Bayangkan saja! Saat didatangi orang-orang, Pak Suro justru menghadangnya di halaman rumah. Menyabet-nyabetkan celuritnya yang sepanjang setengah meter. Ditembak dua kali pelurunya mental. Lalu ada yang membacakan Alpatekah pada senjata salah seorang tentara. Pentolan komunis itu diberondong peluru. Perutnya langsung jebol.”
Ponirah tersenyum masam mendengar sejarah tentang bapaknya yang terkesan luar biasa dan gegap-gempita itu. Entah benar semuanya atau hanya sebagian saja. Andai saja dia bisa merasa bangga walau hanya sedikit saja. Bapak yang telah membuat hidup anaknya menderita tidaklah patut mendapatkan kehormatannya meskipun kadang dia merasa kasihan setiap kali mengenangnya.
“Terus pentolan yang perutnya jebol itu dikubur di mana, Pak?” tanya Ponirah, terbawa emosi, dan terlupa akan pertanyaan sebelumnya. Bagaimanapun juga, pemberani yang pada akhirnya mati itu adalah bapaknya.
“Dikubur? Ya, tidak dikubur, tho Mbak. Diseret, dimasukkan ke dalam bak truk, dikumpulkan sama mayat-mayat lain, terus dicemplungkan ke Kedung Jaran. Menjadi makanan ikan.”
Dada Ponirah berdesir, ada yang terluka di dalam sana. Orang yang telah diperlakukan dengan tidak semestinya itu adalah bapaknya, bapak yang telah mengukir jiwa dan raganya. Apa pun yang pernah dilakukan laki-laki itu semasa hidupnya tak akan mengubah fakta itu, termasuk yang sudah tertulis pada buku, banyak buku. Mata Ponirah tampak merebak, setitik air menggantung di sudut matanya meskipun telah mencoba ditahannya.
Kenangan terakhir di dapur itu pun kembali membayang. Bapaknya memeluk, mengelus rambut, dan mencium pipinya. Itu ternyata ciuman terakhirnya, ciuman perpisahan. Juga suara rentetan tembakan yang memekakkan telinga itu, dan sampai saat ini masih bisa didengarnya. Setelah bokongnya ditendang dan terjungkal di bagian belakang rumah di dekat dapur itu, dia tidak tahu kejadian selanjutnya. Meskipun begitu, dia bisa membayangkannya, bahkan seakan-akan sedang berada di dapur itu pula saat penembakan itu terjadi.
Ponirah membalikkan badannya, memunggungi laki-laki itu, lalu diusapnya air mata di pipinya. Apa pun anggapan orang-orang tentang laki-laki itu, pentolan komunis yang tak jelas kuburannya itu adalah bapaknya, titik.
“Rumahnya di mana, Pak?” tanya Ponirah sejurus kemudian.
“Rumah siapa?” tanya laki-laki itu.
“Rumah Pak Suro, pentolan komunis itu.”
“Rumahnya….” Laki-laki itu tampak ragu memberikan jawaban.
“Di sini,” sahut Ponirah cepat.
Seketika laki-laki itu berubah warna mukanya. Dia segera memandangi Ponirah, dan matanya tampak berkedip-kedip seperti bocah yang sedang dibentak ibunya.
“Rumahnya di sini kan, pak?” Ponirah menggunakan intonasi tanya kali ini.
“Tidak di sini, Mbak,” kata laki-laki itu, ”tapi di situ. Mepet pohon rambutan kecut itu. Tapi rumah itu sudah dibakar, tinggal tersisa abunya.”
“Oh, jadi di situ, tidak di sini,” kata Ponirah. “Jadi rumah yang di sini ini didirikan di atas tanah milik siapa? Milik Pak Suro, kan?”
“Iya,” jawab laki-laki itu lirih.
“Yang nyuruh tinggal di sini siapa? Kalau membeli, siapa yang menjualnya?” tanya Ponirah.
Laki-laki itu kelabakan mendapat pertanyaan bertubi-tubi tersebut. “Atas seizin Pak Kusno, Mbak,” jawabnya lirih.
“Pak Kusno?” Ponirah mengereyitkan dahinya, tak ingat nama itu. “Pak Kusno itu siapa? Memangnya ini tanah milik Pak Kusno?”