Motor yang suara knalpotnya cempreng seperti ratapan garengpung menjelang musim kemarau itu memasuki pelataran rumah yang ditempati Birun. Ponirah segera berpamitan kepada Birun yang tampak lebih ramah daripada sebelumnya itu.
“Mbak Linda, salam buat Bapak, ya!” kata Birun sambil membungkuk-bungkukkan badannya.
Ponirah tertegun, otaknya berputar cepat sekali, dan mencoba memahami siapa yang dimaksud Birun dengan “Linda” dan “bapak” itu.
“Ya, Pak. Nanti saya sampaikan,” jawabnya kemudian, tak lupa tersenyum sewajar mungkin. “Linda” adalah dirinya, sementara “bapak” adalah Lik Warto, begitu yang bisa disimpulkannya.
“Bu!” seru Birun, “Mbak Linda mau pamitan.”
Seorang perempuan berjarit tampak tergopoh-gopoh keluar dari dalam rumah. Sementara tangannya terlihat menjinjing selirang pisang kepok.
“Buat Bapak, Mbak! Hasil kebun sendiri,” kata perempuan itu, juga membungkuk-bungkukkan badannya. Sementara itu, kedua telapak tangannya menangkup di depan dada.
“Terima kasih, Bu,” jawab Ponirah, tangan kanannya menyambut uluran tangan istri Birun. ”Permisi,” katanya kemudian.
Ponirah naik ke boncengan, plastik hitam berisi selirang pisang kepok itu dijinjingnya dengan tangan kiri. Gendon segera menjalankan motornya. Namun, baru juga lima putaran roda, menjelang roda depannya mencium jalan becek, dia mengeremnya.
“Ke mana, Mbak?” tanyanya.
“Ke rumah Lik Warto,” jawab Ponirah.
“Lik Warto siapa?” tanya Gendon, mengeryitkan dahinya.
“Dukun.”
“Mau apa ke sana?”
“Bukan urusanmu,” jawab Ponirah.
“Rumahnya di mana?”
“Tidak tahu.”
“Lho, kok tidak tahu,” kata Gendhon, “kalau begitu saya tanyakan dulu. Biar tidak muter-muter seperti tadi.”
Belum juga Gendon sempat turun dari motonya, Ponirah segera memegangi lengannya, bahkan sedikit menyentaknya.
“Jangan di sini!” kata Ponirah, “nanti ketahuan.”
“Ketahuan apa?” tanya Gendon, sedikit bingung.
“Ketahuan bohongnya,” jawab Ponirah, “cepat jalan!”
Walaupun masih dalam keadaan kebingungan, Gendon segera menjalankan motornya. Ponirah menoleh, memberikan senyuman manis kepada Pak Birun dan istrinya yang masih berdiri di depan rumah. Keduanya membalas dengan anggukan kepala, hampir berbareng. Motor kembali melewati jalan yang becek dan licin tadi, dan Ponirah mengulang perintahnya kepada Gendon: ke rumah Warto, dukun. Setelah keluar dari gang sempit dan becek itu, motor menyusuri jalan yang lebih lebar. Ketika melihat seorang perempuan yang sedang menggendong bayinya, Gendon segera menghentikan motornya.
“Yu, tahu rumahnya Pak Warto? Dukun?” tanya Gendon, tanpa turun dari motor.
“Mbah Dukun Warto? Itu lho, rumah besar sebelum pertigaan di depan sana itu,” jawab si ibu. Tangannya menunjuk ke arah depan, tapi matanya melirik ke arah Ponirah, penuh selidik.
“Catnya warna apa, Yu?” tanya Gendon lagi
“Tidak tahu nama warnanya. Tapi itu satu-satunya rumah yang berpagar tembok.”
“Terima kasih, ya Bu,” kata Ponirah, tersenyum ramah.
“Mau cari penglarisan, ya, Dik?” ucap si perempuan, sementara bibirnya tampak mencibir.
Ponirah diam saja, tak segera menjawab, dan justru terlihat bingung. Gendon yang memahami maksud pertanyaan itu batal menjalankan motornya.
“Bukan mau cari penglaris, Yu. Mbak ini anaknya saudaranya Pak Warto yang tinggal di Jakarta,” jawab Gendon, asal-asalan tentu saja.
Wajah si ibu itu pun langsung merah padam. “Oh, maaf, ya, Dik! Saya benar-benar minta maaf! Saya kira adik ini perempuan na....”
Motor melaju, meninggalkan si ibu yang lalu buru-buru masuk ke dalam rumahnya. Barangkali dia takut dilabrak orang gara-gara tidak bisa menjaga mulutnya yang sering lepas kontrol dan tidak bisa direm itu.
“Maksud si ibu tadi itu apa, sih, Bang?” tanya Ponirah setelah motor berjalan lima meter.
“Mbak, benar-benar tidak tahu?”
“Kalau tahu masak nanya.”
“Lebih baik tidak tahu,” jawab Gendon. “Susah menjelaskannya. Nanti ditanyakan saja sama dukunnya!”
Gendon memacu motornya, dan membiarkan Ponirah berkubang dalam rasa penasarannya. Tak sampai dua menit, motor itu berhenti di depan sebuah rumah yang berpagar tembok. Ponirah turun, dan berpesan kepada Gendon agar menunggunya.
Rumah itu cukup mentereng untuk ukuran desa. Bentuknya limasan, dan tampak kukuh. Tiang teras, dinding bagian depan rumah, pintu, dan jendelanya semuanya dari kayu jati tua. Halamannya dibentengi pagar tembok bercat putih dengan kombinasi jingga. Deretan bunga dalam pot plastik itu tertata rapi di pinggir pagar bagian dalam. Aneka bunga itu berjajar dalam jarak yang sama. Sementara, sepasang kupu-kupu tampak berkejaran di atas bunga mawar yang sedang mekar itu.
Ponirah melewati halaman, lalu mendekati pintu. Sesaat dia justru ragu saat hendak mengetuknya. Sebuah pertanyaan mengusiknya, tiba-tiba. Bagaimana jika Warto yang dukun itu bukan Lik Warto yang dulu pernah dikenalnya? Namun, Warto yang lain lagi? Sesaat, Ponirah tampak menarik napas panjang, lalu diembuskannya kuat-kuat. Kepalang tanggung! Dia sudah di depan pintu. Yang pasti, Warto yang ini berprofesi sebagai dukun. Bisa memberi larisan atau penglaris atau apa pun tadi namanya. Konon, dukun orang sakti, tahu segalanya. Kalaupun nanti Warto yang dukun ini bukan Warto yang teman bapaknya itu, tidak menjadi masalah baginya. Yang penting orang itu bisa memberi tahu di mana kakaknya Ponirin saat ini.
Segera, Ponirah mengetuk pintu itu, dan mengucapkan salam. Tak lama berselang langkah kaki terdengar dari dalam rumah. Laki-laki berusia sekitar empat puluhan tahun itu muncul dari balik pintu. Tubuhnya ramping, dan tingginya sedang. Sorot matanya tajam menusuk, dan terkesan cerdas. Ponirah mengamat-amati laki-laki yang berdiri satu meter di hadapannya itu dengan saksama. Sementara itu, laki-laki yang berkain sarung dan berkaus oblong itu melakukan hal yang sama. Mereka bersirobok, dan hal itu berlangsung cukup lama.
Tiba-tiba, berbagai peristiwa berkilatan dan bermunculan di dalam benaknya. Meskipun samar-samar, Ponirah masih bisa mengingatnya sebagian, tak beraturan pula. Potongan-potongan puzzle itulah yang saat ini sedang disusunnya. Dia tak ingat betul wajah orang yang pernah menghiasi salah satu episode dalam kehidupannya itu. Namun, ada semacam getaran di hatinya yang memberi tahu, laki-laki tepat di depannya ini adalah orang yang sama, orang yang dulu meninggalkannya di Pasar Senen, sepuluh tahun yang lalu.
“Lik Warto?” ucapnya, ragu.
“Pon? Ponirah?” ucap laki-laki itu, terdengar tak yakin.
“Iya, Lik. Ini Ponirah.”
“Kamu benar Ponirah?” Laki-laki itu mengulang pertanyaannya, seakan-akan tak percaya jawaban yang baru saja didengarnya itu.
Ponirah mengangguk; seketika Warto memeluknya. Bibirnya terlihat bergetar-getar. Banyak sekali kata yang berkumpul pada ujungnya, tetapi susah mengungkapkannya, keharuan sudah lebih dahulu mnyergapnya. Ponirah pun tak kurang terharunya, dan segera membalas pelukan itu, lebih erat bahkan. Bagaimanapun juga, orang itu pernah merawatnya meskipun sebentar saja, itu sebelum meninggalkannya. Ponirah memaklumi dan bisa membayangkan situasinya saat itu. Secarik kertas yang berisi identitas lengkap dirinya yang dimasukkan Lik Warto ke dalam saku bajunya itu sudah membuktikan niat baiknya. Lik Warto ingin suatu ketika dirinya mengetahui siapa dan dari mana asal usulnya. Sebenarnya, bisa saja Lik Warto melemparkannya dari atas gerbong kereta api atau dari atas bak truk, dan tak perlu repot-repot membawanya hingga Jakarta. Itu jika teman bapaknya itu mau.
Setelah pengungkapan luapan perasaan yang campur aduk itu mereda, Warto menyuruh Ponirah masuk. Dia melepas topinya, bersiap duduk. Namun, belum juga pantatnya sempat menyentuh kursi kayu itu, tiba-tiba dia teringat akan Gendon yang masih menungguinya di pinggir jalan. Ponirah segera minta diri, dan bergegas menghampiri Gendon.