Pagi itu Ponirah bangun tidur agak kesiangan. Usai mandi dan berdandan, dia menuju ke ruang depan. Kaos oblong dan celana jin ketat itu menempel pada tubuhnya yang padat. Sementara jaket parasut dan rangsel dia tinggalkan di kamar. Ibunya Warto sudah menyediakan sarapan. Hidangannya masih sama seperti kemarin. Nasi dan sayur nangka yang telah dipanaskan, entah sudah berapa kali. Hanya, kali ini lauknya tahu dan tempe. Sambal tomat andalan itu tidak lupa. Sementara itu, istri Warto belum kembali dari rumah orang tuanya.
Setengah jam kemudian Warto dan Ponirah terlihat mengendarai Honda A 100 merah yang masih tampak baru itu, menuju Kedung Jaran. Selama perjalanan, tak banyak yang mereka bicarakan. Ponirah terus membisu, dan Warto tak hendak mengusiknya. Motor melewati jalanan yang sepi, dan sepertinya belum lama selesai diperbaiki. Tong-tong bekas aspal masih bergeletakan di pinggir jalan. Tumpukan kayu bakar itu belum semuanya diangkut. Di beberapa tempat, sisa abu dan bara yang telah digunakan untuk membakar aspal masih terlihat mengeluarkan asap. Baunya menyengat, mencemari udara.
Tak sampai setengah jam, mereka pun tiba di tempat tujuan, Kedung Jaran. Warto menghentikan motornya di atas jembatan, memarkirnya, lalu duduk di atas sadel. Dia menunjuk ke salah satu bagian sungai, letaknya tepat di bawah sebatang pohon. Batang pohon itu memayung ke arah badan sungai. Bentuknya menyerupai kepala kuda.
“Tempat itulah yang dinamakan Kedung Jaran,” katanya.
Ponirah turun dari motor, menghadapkan dirinya ke arah tempat yang ditunjuk Warto tadi. Kedua tangannya memegangi besi pembatas jembatan, sementara air sungai di bawah jembatan itu tampak kecokelatan.
“Selain Bapak, yang dibuang ke kedung itu, banyak, Lik?” tanya Ponirah.
“Tidak ada yang tahu pasti berapa jumlahnya. Kabar yang beredar simpang siur.”
Kedung Jaran adalah salah satu bagian dari Sungai Bondowono. Konon, kedalamannya lima belas meter. Sungai itu mengalir ke Blora sana, dan menyatu dengan aliran Bengawan Solo yang berasal dari Wonogiri. Kedung Jaran terletak tak jauh dari Jembatan Mayit, kurang lebih sepuluh meter. Sebenarnya, nama geografis jembatan itu adalah Jembatan Maju Jaya. Jembatan itu merupakan penghubung antara kecamatan Kemusu dan Kabupaten Sragen. Jalan alternatif itu sepi, jarang dilewati kendaraan, lebih-lebih pada malam hari. Kabarnya, di atas jembatan itu sering muncul penampakan, hantu tanpa kepala. Kabarnya, dulu, pada setiap malam Jumat Kliwon, gembung itu berhilir-mudik di atas jembatan, mencari-cari kepalanya yang hilang dipenggal samurai. Sejak itulah, orang-orang mulai menyebutnya sebagai Jembatan Mayit, dan masih berlaku sampai sekarang.
Ponirah mengamati pohon yang bergoyang-goyang ditiup angin itu. Pohon itu tampak sudah sangat tua. Di dekat pangkalnya, kulit batangnya terlihat mengeriput. Akarnya menghunjam ke bumi. Beberapa di antaranya sebesar paha orang dewasa, dan menyembul pada tebing sungai. Daunnya rimbun, menggayuti dahan dan ranting yang menyerong ke arah sungai. Dedaunan itu seakan-akan sedang meneduhi para arwah yang bersemayam di dasar kedung.
“Kata orang-orang, malam itu datang truk besar memasuki kampung-kampung, mengangkuti mayat dan yang belum menjadi mayat. Mereka dijejal-jejalkan ke bak truk seperti tumpukan sampah, lalu dibawa entah ke mana. Warga Desa Butuh yang kena dua puluh. Sampai sekarang tak ada kabar beritanya,” kata Warto.
“Saat itu kita sedang di mana, Lik?” tanya Ponirah
“Di tengah-tengah hutan jati,” jawab Warto, parasnya tampak sendu. “Semua temanku yang bergabung dengan partai hilang atau tewas. Termasuk Dulah dan bapakmu. Yang lainnya aku tak tahu keberadaannya.”