Ponirah kembali ke Jakarta naik bis yang sama dengan waktu ke Boyolali empat hari yang lalu. Hanya, sopirnya berbeda, dan tak ada lagi bapak yang bermuka cabul itu. Bis itu sarat oleh orang-orang yang ingin mengadu nasib di ibu kota. Udara di dalamnya sangat pengap. Bau keringat yang serupa dengan amoniak itu berebut tempat dengan deodoran murahan yang dioleskan pada ketiak. Sementara itu, atap bis sesak dengan barang-barang. Tumpukan kardus dan beberapa karung goni itu teronggok tak beraturan, diikat dengan tali plastik seukuran jempol kaki bayi.
Selama perjalanan yang memakan waktu hampir dua belas jam itu, Ponirah tersenyum-senyum saat mendengar ocehan dan celotehan orang-orang yang tampaknya baru akan pertama kalinya pergi ke Jakarta itu. Ucapan-ucapan itu terdengar lucu, dungu, dan naif. Orang-orang dari berbagai umur itu mengira, di Jakarta uang turun dari langit layaknya hujan, dan mereka hanya perlu membawa ember plastik untuk mewadahinya. Lembaran uang seolah-olah daun-daun kering yang rontok dari atas pohon, dan mereka hanya perlu memungutinya. Uang-uang itu tumbuh dan bercabang seumpama pohon singkong, sementara siapa saja boleh memetiknya sebab akan tumbuh lagi berselang lima hari kemudian. Jika saja mencari uang di Jakarta begitu mudahnya, tentulah tak ada lagi gelandangan di ibu kota negara itu.
Ponirah tersenyum kecut. Apa salahnya para urban itu bermimpi? Sesuatu yang murah dan mudah itu pun tidak setiap orang memilikinya, contohnya dirinya sendiri. Dia tak berani berangan-angan tentang masa depannya, saat ini. Dan kalaupun dia sedang bermimpi, seringnya justru di saat sedang terjaga seperti sekarang ini. Alangkah indahnya hidup ini seandainya ada seseorang yang tiba-tiba mendekatinya, dan dia segera mengenalinya.
“Mas Ponirin, ya?” tanyanya, matanya berpijar-pijar.
“Ya, aku Ponirin?” jawab orang itu.
“Aku Ponirah, Mas! Adikmu.”
“Oh, adikku Ponirah, aku sangat kangen.”
“Aku juga, Mas.” Keduanya lalu berpelukan dan menangis seperti adegan pada roman-roman lama yang dulu pernah dibacanya
“Mas Ponirin tahu yang terjadi pada Bapak dan rumah kita?”
“Tahu. Aku sedang sembunyi di kebun kosong itu saat orang-orang menyeret mayat Bapak. Dan masih di situ juga saat mereka membakar rumah kita.”
“Selama ini Mas Ponirin kemana saja?”
“Ke mana-mana, sembunyi-sembunyi, berpindah-pindah, mencari rasa aman.”
“Mengapa Mas Ponirin tidak mencariku?”
“Aku mencarimu ke hutan jati, tapi ada yang mengatakan kamu dibawa Lik Warto. Aku mencarimu sejak dulu, mengejarmu ke mana-mana.”
Ponirah tertidur, dan terbangun di Rawa Mangun, lalu mengucek-ngucek matanya. Seorang pemuda duduk di sampingnya. Wajah berantakan akibat serangan cacar. Dan, sepertinya bukan Ponirin, kakaknya. Wajah kakaknya tak mungkin sehancur itu, batinnya.
Ketika bis tiba di Terminal Gambir, azan Subuh baru saja bergema. Turun dari bis, Ponirah segera mencari losmen murahan di jalan di sekitar Gambir yang ke arah Masjid Istiqlal. Tak mungkin dirinya mendatangi Maya, teman SMP-nya itu. Dia khawatir, nanti justru dilaporkan ke Nyonya Noto. Siapa tahu Nyonya Noto telah menanyai teman sebangkunya itu. Dia juga tak ingin menghubungi Mbok Ginah, tidak ingin merepotkannya lagi. Apa yang telah dilakukan perempuan itu sudah lebih daripada cukup, dan bukan lagi merupakan kebaikan, melainkan kebajikan, di atasnya lagi bahkan; sebuah keagungan.
Ketika Ponirah sedang memesan kamar di losmen bercat ungu itu, orang-orang di lobi langsung berlagak seperti sekawanan kucing garong yang sedang bertemu seekor tikus. Mereka segera bertingkah tengik, bahkan ada yang serta merta bersiut-siut. Ponirah tak menanggapi godaan itu, tersenyum pun tidak.