Luka, Luka, dan Luka

Dewanto Amin Sadono
Chapter #18

Bertemu Kabarnya, Tak Bersua Orangnya

Hari itu Ponirah bangun tidur sangat siang. Sementara itu, berbagai persoalan yang semalam dia pikirkan masih berkecamuk di dalam kepalanya. Wajah Bunda Noto kembali membayang. Perempuan itu telah menjadi gurunya dalam banyak hal. Juga dalam memahami sifat laki-laki. Siapa yang menyangka kalau laki-laki yang gagal dia pahami itu justru laki-laki terdekatnya, dan sudah selama dua puluh tahun ini disandingnya. Sungguh ironis memang.

Demikian halnya juga dengan Mbok Ginah. Hidup dan kehidupan perempuan itu ternyata tak seindah dongeng yang sering dia kisahkan itu. Putri Cinderela, Timun Mas, sekaligus Bawang Merah itu tetap hidup menderita. Dia diusir tuannya bagaikan kucing kudisan dan dibuang ke tempat sampah tak ubahnya remah-remah. Sungguh tragis memang.

Ponirah terus bersungut-sungut. Pakaian kotor yang tergantung di cantelan itu dia masukkan ke dalam rangsel semau-maunya, tanpa dilipat, apalagi ditata terlebih dahulu. Jawaban atas perang batin yang berlangsung tadi malam itu masih sangat ambigu, dan membingungkan. Namun, ada satu hal yang mulai dipahaminya. Tak ubahnya wayang di tangan sang dalang, perannya di dunia ini sudah ditentukan. Cerita tentang dirinya itu sudah digariskan, digambarkan, dan dituliskan pada sebuah catatan, letaknya di atas langit sana.

Ponirah mengancingkan rangsel, menggendongnya di punggung. Setelah membayar beaya sewa kamar dua malam, Ponirah meninggalkan losmen itu. Dipanggilnya tukang becak yang pertama ditemuinya, menyuruhnya mengantar ke Terminal Gambir. Apa pun yang sudah dan akan terjadi, dia bertekad melanjutkan hidupnya. Menemukan kakaknya adalah prioritasnya saat ini.

Turun dari becak, Ponirah disambut oleh suara riuh dan gaduh dari orang-orang yang hendak bepergian. Setelah membayar ongkos becak, Ponirah menanyakan bis yang akan menuju Bekasi. Si tukang becak itu menunjuk ke arah pintu keluar terminal, dan memberikan beberapa petunjuknya. Ponirah tampak mengangguk-angguk.

Beberapa calon penumpang sudah berjubel di dekat pintu gerbang itu. Setiap kali ada bis yang datang, mereka serentak melongokkan leher, dan memelototi bis yang datang dari arah terminal itu. Ponirah ikut menyelip di antara mereka, dan melakukan hal yang sama. Tak lama berselang sebuah bis ukuran seperempat berwarna hijau muda terhuyung-huyung mendekati pintu keluar terminal.

“Bekasi, Bekasi, Bekasi!” teriak sang kondektur sambil bergelantungan pada pintu bis.

Serentak para penumpang yang sudah menunggu dari tadi itu berebutan memasuki bis. Bau keringat, parfum, petai, ikan asin, dan solar itu bercampur baur menjadi satu dan menciptakan aroma yang susah dilukiskan lewat kata-kata, dengan gambar apalagi. Ponirah duduk di kursi deretan paling belakang. Di sampingnya, si ibu yang berdandan sangat norak itu duduk seenaknya. Bedaknya lebih tebal daripada dempul bajaj yang baru saja keluar dari tukang cat setelah seminggu sebelumnya diseruduk becak, dua becak malah. Gincunya semerah cabe, dan tidak rata menyapu bibirnya yang setebal lengan bayi itu. Matanya tertutup kaca mata rayban. Berkali-kali tangannya dia kipas-kipaskan ke tubuhnya yang gerah akibat jaket parasut hijau yang sedang dikenakannya.

“Bekasi kosong! Bekasi kosong!” Kondektur terus berteriak meskipun para penumpang bis sudah berjubel seolah-olah ikan sarden di dalam kaleng.

Tak lama kemudian bis itu pun  berjalan. Badan bis yang kelebihan beban itu berguncang-guncang saat melewati jalan aspal yang tidak rata. Bahkan, beberapa kali bis tampak miring seakan-akan hendak terguling saat berbelok di tikungan yang tajam. Cempaka Putih, Pulo Gadung, dan Cakung sudah terlewati.

Di sepanjang perjalanan itu Ponirah lebih sering memejamkan matanya meskipun tidak tidur. Dia ingin mengistirahatkan pikirannya, tetapi tidak bisa. Sebentar lagi dia akan bertemu kakaknya setelah sepuluh tahun lamanya terpisah. Barangkali mereka akan kembali menjadi sepasang berandal. Menjelajahi sungai dan hutan kehidupan. Berburu rejeki dan mencari penghidupan. Di Jakarta atau kembali ke daerah bukan persoalan baginya, asalkan tetap berada di dekat kakaknya. Dan kalaupun kakaknya sudah mempunyai istri dan anak, dia siap memomong keponakannya. Harapannya, kakak iparnya tidak galak.

Sesaat kemudian bibir Ponirah melebar, menampakkan senyuman yang aneh. Khayalan dan seorang penipu kadang tak berbeda cara kerjanya. Angan-angan mereka dilambungkannya setinggi langit, sebelum akhirnya dihempaskan ke dasar jurang kekecewaan, berkali-kali dan berulang-ulang. Meskipun demikian, dia percaya dan sangat percaya. Tuhan Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang. Paling tidak itulah harapannya. Dia sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia itu, kecuali kakak yang sedang diburunya saat ini. Orang-orang yang dikenalnya telah meninggalkan atau ditinggalkannya. Kalau Tuhan yang tidak pernah ditinggalkannya itu pun meninggalkannya pula, siapa lagi harapannya?

Bis memasuki Kota Bekasi; penumpangnya tersisa setengah saja. Si ibu yang berdandan seperti artis tadi sudah tidak dilihatnya lagi. Ponirah berdiri, menuju ke kondektur yang sedang sibuk menghitung uang. Mulut si kondektur itu tampak berkomat-kamit seolah-olah sedang membaca doa. Ponirah menanyakan alamat yang tertulis pada selembar kertas itu, tapi si kondektur hanya meliriknya sekilas, menggelengkan kepala, lalu melanjutkan hitungannya.

Ketika bis melewati pasar, seorang bapak mengetukkan uang logam ke kaca mobil. Bis itu berhenti; si bapak turun; Ponirah memutuskan mengikuti di belakangnya. Keduanya berjalan ke arah yang berlawanan. Ponirah menjauh dari keramaian pasar, sementara si bapak tadi berjalan ke arah sebaliknya. Ponirah menunjukkan catatan itu kepada beberapa orang yang ditemuinya, tapi hanya dibalas dengan gelengan kepala. Setelah bertanya lima kali, barulah dia mendapat jawaban yang diinginkannya.

“Bengkel Murah Jaya? Lurus saja! Letaknya dua gang lagi dari sini,” kata tukang becak itu.

“Terima kasih, Pak,” ucap Ponirah.

Tak sampai dua menit, Ponirah pun tiba di bengkel yang tampak sepi itu. Sesaat dia berdiri, dan mengamat-amati. Peralatan bengkel tampak berserakan seperti bangkai kapal pecah: obeng, tang, kunci pas, kunci inggris. Dua motor tampak diparkir berdekatan. Yang satu mesinnya sedang dibedah. Satunya lagi roda depannya membentuk angka delapan, sepertinya habis tabrakan. Ada tiga orang yang sedang mengerjakan sesuatu di bengkel itu dan ponirah tidak tahu yang manakah kakaknya.

“Permisi, Pak,” katanya.

Bapak yang sedang merangkai mesin motor itu mendongak, lalu berdiri. “Ada apa, Neng?”

“Mas Ponirin kerja di sini?” tanya Ponirah langsung pada intinya.

“Ponirin?” si bapak itu tampak mengingat-ingat.

“Iya, Ponirin. Katanya kerja di sini.”

“Ponirin? Ponirin, ya?” kata si bapak, mendekati Ponirah.

“Iya, Iya, Pak. Ponirin dari Boyolali,” sahut Ponirah, suaranya terdengar antusias.

“Boyolali?”

“Boyolali, Kemusu, Pak,” sahut Ponirah.

“Boyolali, Kemusu, ya? Neng ini apanya Ponirin?”

“Adik, Pak. Saya adiknya. Adik kandung,” jawab Ponirah.

 “Bukan adik ketemu gede, kan?” kata si bapak itu sambil tersenyum. “Duduk dulu, Neng! Duduk!” Si bapak itu mengambilkan kursi.

“Terima kasih, Pak.” Ponirah menduduki kursi bundar itu.

“Baru datang dari Jawa, ya?”

Ponirah mengganguk, lalu celingak-celinguk. “Mas Ponirin-nya mana?”

“Dulu ada orang yang kerja di sini, dari Jawa juga,” kata si bapak seakan-akan tak mendengar pertanyaan itu. “Sebenarnya dia itu rajin. Tapi ngajarinya susah. Bisanya hanya membongkar mesin saja, tetapi tidak bisa memasangnya. Herannya lagi, membedakan mana kunci pas ukuran dua belas dan empat belas saja sering salah. Sepertinya....”

“Orangnya mana, Pak?” Ponirah memotong ucapan yang belum selesai itu.

Lihat selengkapnya