Juli, 1975
Sejak itu dia menyebut dirinya Rudi, dari Palembang, Rudi saja. Nama lengkap bangsat yang mati tenggelam di dasar laut itu tidak diketahuinya, tidak sempat memeriksa KTP-nya. Dan kalau pun saat itu dia mau meluangkan waktunya, hasilnya akan sama saja, dia tidak bisa membacanya.
Orang yang tidak tahu diri itu mengira, si buta huruf ini tidak bisa menghitung uangnya, lalu main embat seenak perutnya. Sebelumnya, beberapa kali uangnya pernah hilang, dan dia tidak menaruh curiga kepadanya, bisa jadi dia yang salah hitung. Apalagi dia punya pemikiran seperti ini: seekor anjing tak bakal menggigit tangan penolongnya. Pemikiran itu benar adanya. Kekeliruannya adalah menganggap pengasong yang diberinya makan dan tumpangan kamar itu sebagai anjing. Orang itu bukan anjing, tapi celeng yang buta matanya. Ketika kemudian uangnya hilang lagi, dan jumlahnya cukup banyak, dia segera mengubernya.
Rudi ditemukannya sedang berada di pelabuhan, tidak berjualan, dan hanya sendirian. Waktu ditanya, Rudi tidak mau mengakui, bahkan justru marah-marah seperti nenek-nenek sedang kehilangan gigi palsunya. Rudi juga menantangnya berkelai, tidak takut mati, katanya. Tantangan itu tentu saja segera diladeninya, dikeluarkannya celurit itu dari balik punggungnya, lalu diacungkannya ke wajah yang segera pucat pasi itu.
Dengan seketika, Rudi pun tunggang langgang seperti tukang becak dikeroyok banci, puluhan jumlahnya. Kegoblokannya, pelariannya itu mengarah ke dermaga yang belum selesai dibangun, buntu, dan tak ada jalan lain kecuali melompat ke laut. Segera dikejarnya si pengasong itu, sementara celurit itu terus diacung-acungkannya. Di lokasi pembuatan kerangka tiang yang berantakan itu, kaki Rudi tersandung potongan besi yang melintang. Pengasong itu tercebur ke laut, dan ternyata tak bisa berenang.
Alih-alih menolong si maling yang timbul tenggelam itu, mulut yang megap-megap seperti mulut ikan lele itu hanya ditontonnya, dan ditungguinya tubuh itu hingga hilang ditelan kedalaman air laut. Dan, lima belas menit setelahnya, dia masih tetap berada di tempat itu, berdiri bersedekap, dan memastikan tidak ada lagi gelembung-gelembung udara yang bermunculan dari dalam air, tepat di lokasi bangsat tadi tenggelam.
Meskipun orang-orang tak memercayai namanya, terkesan aneh dan janggal, sejak itu dia menyebut dirinya Rudi, dari Palembang.
“Rudi siapa?”
“Rudi saja.”
“Tanpa tambahan apa-apa?”
Rudi menggeleng, mayat bedebah itu tak pernah ditemukan, dan tak ada yang mencarinya, apalagi peduli. Saat ini mayat itu entah masih berada di sana atau sudah terbawa arus sampai ke Kutub Utara. Bisa jadi para ikan sudah memakannya, lalu nelayan Pulau Seribu menangkapnya, dan ikan yang pernah melahap daging manusia itu digoreng Mpok Siti, dijadikan lauk. Saat makan di warung langganannya itu, Rudi telah menuntaskannya menjadi tahi setelah menghuni perutnya selama dua hari,.
Penderita buta huruf di negeri ini banyak sekali, dan orang-orang tak memercayai bahwa Rudi termasuk salah satunya di antaranya. Menurut mereka, penampilan si buta huruf haruslah begitu atau begini, dan Rudi tidak termasuk ke dalam kriteria itu. Walaupun tidak bisa membaca dan menulis, Rudi lebih terlihat seperti seorang mahasiswa, teknik nuklir pula.
“Kamu benar-benar buta huruf?”
Rudi mengangguk tanpa ragu, dan orang-orang biasanya segera bergeleng-geleng kepala, tak tahu kasihan atau heran. Atau, bisa jadi mereka tak memercayai masih ada orang yang bernasib sama seperti dirinya sendiri.
“Memang di tempatmu tak ada sekolah?”
“Ada. Tapi bapak melarang.”
“Kenapa?”
“Takut pinter.”
“Lho, kenapa kalau pinter?”
“Suka mintere orang.”
“Memang ada yang seperti itu?”
“Banyak.”
Biasanya pertanyaan-pertanyaan itulah yang diajukan oleh orang-orang kepada Rudi, menyusul pertanyaan sebelumnya, dan jawaban itu pula yang selalu Rudi berikan, tak pernah berubah, siapa pun yang bertanya. Dan ketika orang-orang itu sedang bingung akan jawaban yang membingungkan itu, Rudi pun segera pergi, dan seringnya tanpa permisi, khawatir dia harus berbohong lagi.
Sebenarnya Rudi sempat bersekolah, tapi hanya sampai kelas satu. Gurunya galak, dan bapaknya tidak mau disaingi. Bagi para bocah kelas satu, Pak Guru Daroji yang rambutnya selalu berpomade itu terlihat sangat menakutkan. Para bocah yang biasa berangkat ke sekolah dengan membawa ingus di hidungnya itu bersepakat menyebutnya Hantu Sawah.
Menurut bocah kelas satu yang kebanyakan laki-laki itu, Pak Daroji mirip hantu jadi-jadian yang dipasang di tengah-tengah sawah menjelang musim panen padi tiba, untuk menakut-nakuti burung pipit. Walau para bocah itu mengetahui Pak Daroji bukanlah hantu yang bisa menembus dinding atau terbang berkendara sapu lidi, guru kelas satu itu tetap saja mampu membuat bulu kuduk mereka berdiri, terlebih lagi saat pelajaran menulis dan membaca dimulai.
Tubuh Hantu Sawah itu kecil saja, dan tingginya tak seberapa, tetapi daging dan kulit pembungkusnya tampak liat. Sorot matanya setajam burung elang. Gelagat murid yang tidak menyimak saat pelajaran tak bakal lolos dari pengamatannya. Suaranya keras menggelegar walau tertata rapi dan mudah dipahami. Saat di dalam kelas, langkah kakinya pelan dan teratur. Meskipun begitu, para bocah kecil itu merasakannya sebagai hentakan kaki seorang raksasa. Dan setiap kali tangan Pak Daroji menyentuh kepala atau pundak mereka, detak jantung itu pun seakan-akan terhenti tiba-tiba.
Hantu yang menakutkan itu juga mempunyai cara yang jitu agar para muridnya segera terbebas dari buta aksara. Setiap hari, Pak Daroji akan menyuruh para siswa untuk menghafalkan lima huruf, lafal dan bentuknya. Lalu, pada pertemuan berikutnya, Hantu Sawah itu akan menyuruh keenam belas bocah itu untuk maju ke depan kelas, satu persatu. Sesuai gilirannya, para bocah yang kebanyakan berangkat sekolah dengan bertelanjang kaki itu disuruhnya menyebutkan, dan sekaligus menunjukkan huruf-huruf yang ditulisnya tadi. Tak ada ampun bagi bocah yang membuat kesalahan, dan ada hukumannya pula: satu kesalahan satu sabetan bilah bambu.