1972-1975
Sebelum menjadi kuli panggul di Pelabuhan Tanjung Priok, dan mengganti namanya menjadi Rudi, dia pernah bekerja sebagai apa saja, dan terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu. Namun, ada beberapa yang tak mungkin dilupakannya. Salah satunya saat dirinya menjadi tukang semir sepatu di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Itu pekerjaan pertamanya selepas dari rumah.
Rudi mengenal uang, mengetahui nilainya, dan bisa menghitung jumlahnya saat tinggal di stasiun itu. Gurunya penyemir sepatu lain, dan seorang pengasong yang kemudian menjadi pelindungnya. Panggilannya Gento. Orangnya sangar walaupun tanpa tato pada tubuhnya. Para pengasong lain, pengamen, tukang semir sepatu, bahkan para pencopet takut kepadanya.
“Kalo ada yang ngganggu, ngomong aku, tak ajare!” begitu pesan Gento di depan banyak orang.
Pada akhirnya, para pencoleng yang sering memalaki para bocah penyemir sepatu itu tak ada berani mengganggunya. Rudi bebas tidur di mana saja di lingkungan stasiun walaupun seringnya di gerbong kosong yang sudah lama tak terpakai itu. Uang hasil menyemir sepatunya aman di dalam kantongnya, begitu pula dengan lubang pantatnya. Ketika malam tiba, di stasiun banyak orang gila penyuka sesama jenis yang bergentayangan seperti hantu. Gento sudah sering memberi peringatan tentang itu.
Orang yang baik umurnya pendek, entah mengapa seringnya seperti itu. Barangkali karena mereka disayang oleh Tuhan, dan Beliau ingin segera ditemuinya. Pagi itu, waktu hujan gerimis, petugas kebersihan stasiun menemukan mayat Gento di dalam bak sampah di depan stasiun. Ususnya terburai, darah berceceran di mana-mana. Kedua matanya membelalak seakan-akan tak percaya akan petaka yang telah menimpanya.
Hidupnya begitu singkat, Gento baru delapan belas tahun, sementara bapaknya minggat, kecantol janda muda, dan ada empat mulut yang harus disuapinya: ibu dan tiga adiknya. Penghasilan ibunya sebagai buruh tani tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kabarnya, Gento dikeroyok lima orang, bersenjatakan celurit. Tak ada yang tahu pasti latar belakang terjadinya peristiwa yang berujung maut itu.
Lima belas menit kemudian Rudi kabur dari stasiun, takut mengalami nasib yang sama. Gento telah menganggapnya sebagai adik, dan semua orang di stasiun itu mengetahuinya. Siapa tahu para pembunuh Gento itu juga mengincar nyawanya suatu ketika. Apalagi dia juga masih trauma. Bapaknya terbunuh dengan cara yang kurang lebih sama.
Sebelum akhirnya terdampar di Jakarta, Rudi berpindah-pindah kota. Ada yang hanya sehari dia tinggali, ada yang berbulan-bulan, tapi ada pula yang setahun lebih. Selama menjalani kehidupan sebagai seorang pelarian--pemikiran itu yang ada di dalam benaknya selama ini--Rudi bekerja sebagai apa saja asalkan mampu dia lakukan dan ada upahnya. Dia juga sanggup tidur di mana saja demi tubuhnya yang lelah. Diusir dari emperan oleh pemiliknya sudah biasa baginya. Dibentak-bentak dan dicurigai hendak mencuri oleh si empunya rumah tidak lagi membuatnya sakit hati. Dia hanya ingin berlari, menjauh dari rumahnya, sejauh-jauhnya. Mengalah untuk menghindari masalah adalah jalan yang paling baik, menurutnya.
Pekerjaan pertamanya di Jakarta adalah sebagai tukang becak. Namun, baru juga seminggu dijalaninya, terjadilah demontrasi, awal Februari 1972. Puluhan becak berjumpalitan di tengah jalan, salah satunya milik juragannya. Dua bis kota sudah dirusak massa. Angkutan yang berbentuk kotak sabun itu tergeletak tak berdaya di tengah jalan raya, tak jauh dari Terminal Senen. Seluruh kacanya porak-poranda, sementara sopir dan kondekturnya menyelamatkan diri.
Rudi yang saat itu belum bernama Rudi memilih tidak ikut-ikutan, bersiap-siap menyingkir dari lokasi perang batu itu. Namun, belum juga dia sempat beranjak dari pojokan terminal, tukang becak yang berasal dari Delanggu itu segera mendekatinya.
“Masih di sini? Ayo kita ramaikan! Kita lawan tindakan sewenang-wenang itu!” serunya.
Si tukang becak yang bertampang bocah itu memakai pita merah-putih pada kepalanya, dan tak ada yang bakal menyangka umurnya sudah empat puluh tahun. Sementara itu, tangan kanannya memegang bambu runcing. Barangkali dia sedang membayangkan dirinya sedang menghadapi pasukan Belanda atau Jepang.
“Aku menyerah saja,” ucap Rudi, mengangkat tangannya tinggi-tinggi, sementara bibirnya tersenyum tipis.
“Menyerah sebelum bertempur? Dasar pengecut!” seru si tampang bocah itu.
Rudi kembali tersenyum, tidak ingin menanggapi umpatan itu. Menurutnya, tidak terlalu menyakitkan, lebih sakit jika nanti terkena pukulan pentungan kayu. Si tampang bocah itu segera berlari, dan berbaur dengan tukang becak lainnya. Mereka tampak petentang-petenteng sambil memamerkan keberingasan. Orang-orang yang takut dilanda bencana kelaparan itu bertebaran, menghadang kendaraan apa saja yang melintas di depan Terminal Senen.
Di antara tukang becak itu ada yang bertelanjang dada, dan menampakkan tulang rusuknya yang menyembul dari kulitnya yang tanpa daging itu. Ada juga yang bertelanjang kaki, dan menampilkan telapaknya yang retak-retak serupa ladang jagung di musim kemarau. Motor, mobil, dan delman segera berbalik arah. Tidak ada satu pun yang mau berhadapan dengan tukang becak yang sedang marah itu. Apalagi jumlahnya banyak sekali, satu kampung.
“Sadikin, suruh Ali Sadikin ke sini! Jangan sewenang-wenang!”
Seorang tukang becak mengacung-acungkan sandal jepitnya ke arah petugas ketertiban, berjarak dua puluh meter darinya. Tampang si abang becak yang bertubuh kekar itu mengeras. Sorot mata itu mengisyaratkan bahwa dirinya tidak takut mati, dan siap berjuang sampai titik darah penghabisan, mempertahankan tanah airnya: Terminal Senen.
“Kami hanya mencari makan! Jangan dilarang-larang!” sahut tukang becak lain.
“Kami tak mau dipindah dari tempat ini!” balas yang lainnya, teriakan itu tak kalah kerasnya.
Demontrasi para tukang becak itu berlangsung sampai siang hari. Para penonton berderet-deret di pinggir jalan, berkerumun seperti sedang menonton pertunjukan topeng monyet. Barangkali mereka sedang menunggu bagaimana kelanjutan cerita itu nantinya. Siapa tahu ada sepenggal kisah yang bisa mereka bawa pulang sebagai oleh-oleh, yaitu tentang kawanan tukang becak yang digebuki tentara gara-gara menentang keputusan penguasa.
Sementara itu, Rudi masih terus melangkahkan kakinya ke arah timur. Dia meninggalkan becaknya, dan persetan dengan juragannya yang orang Madura itu. Dia ingin segera menjauhi teriakan, makian, dan segala keriuhan di tempat itu. Setelah lima belas menit, dia pun tiba di pertigaan yang menuju ke arah Salemba. Pertokoan di kanan-kiri jalan itu tutup, barangkali takut dijarah massa seperti yang pernah terjadi sebelumnya.
Rudi terus berjalan ke arah timur. Ketika menjumpai warung makan Tegal yang berdiri kesepian di dekat bangunan bertingkat yang belum selesai dibangun itu, di Cempaka Putih, cacing-cacing di perutnya terdengar menggerutu. Rudi memutuskan mengisi perutnya sebelum nanti melanjutkan perjalanan, entah ke mana. Tadi dia baru mendapat satu penumpang, ibu-ibu gemuk yang cerewetnya setengah mati, melebihi mulut tukang kredit panci. Hal itu sebelum massa yang sepertinya tidak semuanya tukang becak itu memenuhi Terminal Senen.
Uangnya belum mencukupi untuk membeli sarapan berlauk telur dadar dan sayur kangkung--menu favoritnya--dan segelas kopi. Rudi memesan nasi putih dan kuah opor. Kuahnya saja, tanya si pelayan. Rudi tersenyum manis sekali, lalu menganggukkan kepala. Tambah kerupuk satu, katanya. Minumnya air putih saja. Meskipun tetap melayani permintaan yang sangat mengenaskan itu, muka si pelayan tampak ditekuk sedalam-dalamnya, persis kayak onta.
Sejak peristiwa itu, profesi sebagai penarik becak yang katanya mudah mendapatkan uang itu tidak lagi menarik perhatiannya. Dua minggu sudah cukup baginya. Para abang becak itu membuatnya teringat lagi akan tabiat bapaknya: beringas, kasar, dan tak bisa menggunakan otaknya, bisa jadi karena tak memilikinya.
Dari kejauhan, sirene itu terdengar menyalak-nyalak, entah mobil ambulans atau polisi. Suaranya meraung-raung, memberi tanda agar kendaraan di depannya segera menyingkir. Bagaimana akhir dari kisah itu, Rudi tidak tahu, dan tidak mau tahu. Matanya sudah terlalu lelah untuk menyaksikan semua itu.
Rudi terus berjalan ke arah timur, dan singgah di beberapa kota satelit yang ada di sekitar Jakarta. Pekerjaan apa pun diambilnya asalkan tidak ada unsur membaca dan menulisnya. Dia hanya memiliki tenaga. Otaknya telah rontok seiring sabetan bilah bambu pada pantatnya beberapa tahun yang lalu, sementara serpihannya berceceran di kandang kambing, kebun, ladang, dan sungai. Meskipun demikian, dia tak pernah menyesali keputusan yang telah diambil oleh bapaknya itu. Suatu ketika, dia ingin membuktikan kepada dunia, bersekolah yang tinggi bukanlah satu-satunya jalan menuju sebuah kesuksesan.
Setelah sempat mendapat dua pekerjaan yang tidak menarik minatnya di daerah Bekasi dan Pondok Gede, Rudi terdampar di Plumpang, di Warung Mang Ujang. Di tempat itu, Rudi membantu apa saja yang bisa dibantunya, dan merasa kelaminnya telah berganti jenisnya, dengan tiba-tiba pula. Mencuci piring dan gelas adalah pekerjaan yang sangat dibencinya meskipun ada satu lagi yang lebih dilaknatnya, yaitu menunggu. Cilakanya, di warung Mang Ujang itu dia harus tabah menghadapi keroyokan dua hal yang sangat tidak disukainya itu sekaligus. Setelah selesai mencuci gelas dan piring, dia harus duduk di dalam warung, menunggu pembeli yang seringnya tak datang-datang,