Juni, 1976
Barang berharga itu bernama Philips. Warnanya putih-hitam, baterainya tiga, antenanya panjang, dan bagian belakangnya tertutup harbord berwarna cokelat. Jika malamnya dipakai untuk mendengarkan siaran wayang kulit, pagi harinya para baterei itu harus buru-buru dijemur di bawah terik matahari selama berjam-jam atau dikukus di dalam dandang. Biasanya, bagaikan pengantin baru usai mengonsumsi jamu kuat, tenaga si baterai itu akan pulih walaupun tidak seperti sedia kala.
Mustafa harus menabung berbulan-bulan dan perang mulut melawan istrinya agar bisa memiliki radio Philips dua band itu. Perempuan asal Serang itu lebih menginginkan gelang dan kalung emas daripada kotak aneh yang berbunyi “kresek-kresek” saat hujan deras itu. Dan agar benda kesayangan itu tidak dibanting istrinya sampai hancur, Mustafa membawanya ke mana-mana, termasuk saat tidur. Diletakkannya si Philips itu di samping tubuhnya, dipeluknya erat-erat sambil memunggungi istrinya. Tentu saja hal itu membuat perempuan yang bertubuh gembrot itu makin uring-uringan. “Madunya” itu bukan hanya akan dibantingnya, lalu diinjak-injaknya, tapi juga akan dibakarnya hidup-hidup, suatu ketika. Begitu barangkali pemikirannya.
Dasar perempuan, kebenciannya kepada si Philip yang pada mulanya meluap-luap seperti sungai banjir itu ternyata tidak berumur panjang, tak sampai seumur jagung. Meskipun awalnya menentang habis-habisan, setelah mendengarkan “Butir-Butir Pasir di Laut”, hatinya langsung lumer bagaikan sabun mandi yang terendam air terlalu lama. Sandiwara radio RRI yang disiarkan setiap pukul 21.00 sampai 21.30 itu benar-benar membuatnya tepesona, bahkan jatuh cinta. Lima belas menit sebelum opening---berupa suara deburan ombak laut, embusan angin, dan celoteh burung camar--Suryani sudah berada di dekat si Philip, dan tak peduli bumi sedang gempa, langit bakal jatuh menimpa, atau ikan asin di penggorengannya gosong.
Perempuan gemuk yang suka mengoceh itu bahkan sampai menangis dan tertawa, terbawa oleh suasana dan alur cerita. Perjuangan seorang dokter yang sedang membawakan misi kemanusian di daerah pedalaman itu membuatnya terhanyut. Sayangnya, kisah yang mengharu biru itu berlangsung setengah jam saja. Ketika tiba-tiba iklan obat sakit kepala itu datang menyela, jumlahnya banyak sekali, sementara cerita sedang seru-serunya, makian inilah yang biasanya segera meluncur dari dalam mulutnya: sompret! Seolah-olah kedongkolan itu belum terpuaskan lewat umpatan tadi, si Philip itu langsung ditamparnya. Untungnya, si radio itu tidak sampai terguling ke lantai sehingga perang dunia ke III di rumah yang berdinding papan itu bisa dihindari.
Mustafa suka mendengarkan siaran berita ABC Australia, BBC Inggris, dan sangat terkejut ketika menyadari orang luar negeri ternyata lebih mengetahui peristiwa yang sedang terjadi di Indonesia daripada dirinya sendiri. Menurutnya, melek informasi akan membuatnya hidup. Bapaknya hilang dan tak tahu rimbanya, bahkan bisa jadi sudah mati, gara-gara buta informasi. Di mana saja dan kapan saja, orang yang tidak tahu akan menjadi makanan empuk bagi orang-orang yang tahu dan memahami situasi.
Mustafa tak ingin dibodoh-bodohi oleh siapa pun. Dia suka membaca dan mendengarkan berita radio, bahkan saat sedang mengemudikan truk. Walaupun tidak menyukai berita olah raga, dia tidak buta siapa itu Christian Hadinata, Cun Cun, Johan Wahyudi, dan tentu saja Rudi Hartono, juara All England berkali-kali itu. Juga petinju legendaris ini, Muhammad Ali, sudah pasti.
“Orang Indonesia yang paling terkenal selain Pak Harto adalah Muhammad Ali,” kata Nardi, kenek truknya, suatu ketika.
“Muhammad Ali itu bukan orang Indonesia, Di,” kata Mustafa.
“Sepertinya kamu ini tidak suka jika ada orang Indonesia yang berprestasi,” ucap Nardi, bersungut-sungut.
“Bukan begitu, Di. Muhammad Ali itu memang bukan orang Indonesia.”
“Lihat saja namanya, kulitnya, mukanya! Kalau bukan orang Indonesia, orang mana lagi?” Suara Nardi meninggi.
“Orang Wonosari, Gunung Kidul,” jawab Mustafa, lalu terkekeh-kekeh.
“Wonosari, kan Indonesia juga. Huh!” Sang kenek yang tidak paham sedang diberi hati itu pura-pura marah.
Mustafa memilih mengalah. Menurutnya, tidak ada gunanya berdebat dengan orang yang sok tahu seperti Nardi itu. Hanya akan membuat emosi dan naik darah. Menang tidak membuatnya terkenal, kalah memalukan. Lebih-lebih jika orang yang sok tahu itu sangat bernafsu mengalahkan lawan debatnya. Tentu saja agar dirinya dianggap tahu, sekaligus untuk menutupi ketidaktahuannya itu. Baginya, apakah petinju legendaris itu orang Amerika Serikat atau tetangganya di Kenjeran, Surabaya sana, tak ada perbedaannya. Profesinya tetap saja sopir truk, bukan promotor tinju seperti Don King.
Mustafa biasa berdebat dengan Nardi, dan hampir di setiap kesempatan. Temanya apa saja, terutama isi berita dari luar negeri yang didengarnya setiap hari sebelum berangkat kerja. Seringnya, Mustafa yang menjadi pemantiknya, sementara Nardi yang akan menanggapi. Walaupun tidak pandai mengutarakan maksudnya dan seringnya sok tahu, Nardi sangat gigih dalam mempertahankan pendapatnya.
Menurut berita yang pernah didengarnya ini, jumlah yang terbunuh selama penumpasan orang-orang komunis di Indonesia konon mencapai ratusan ribu jiwa. Peristiwa Malari menewaskan puluhan mahasiswa. Beberapa pejabat mendapat fee yang sangat besar dari Free Port. Skandal korupsi yang maha hebat terjadi di Pertamina. Uang sebanyak US$35,8 juta itu telah diembat direkturnya.
Seperti biasa, Nardi segera menepis berita miring itu. “Jumlahnya tidak sebanyak itu,” ucapnya.
“Jumlah yang mana?”
“Semuanya.”
“Maksudmu, jumlahnya lebih banyak daripada yang diberitakan? Begitu?”
“Bukan! Maksudku, berita itu terlalu dibesar-besarkan.”
“Untuk apa wartawan bule itu melakukan kebohongan publik?”
“Untuk menjelek-jelekkan Indonesia, tentu saja.”
“Memangnya para pejabat Indonesia kurang jelek?”
“Kamu ini, Mus. Dasar tak punya nasional!” ucap Nardi, mukanya cemberut.
“Nasionalisme maksudmu? Justru para koruptor itulah pengkhianat bangsa yang sebenar-benarnya,” ucap Mustafa, geram.
Biasanya, perang mulut yang tak sampai ribut itu berakhir ketika jam makan tiba. Mustafa membawa truknya menepi di warung langganan para sopir. Mereka makan-minum, dan menggoda para pelayan. Dan bagi mereka yang mau, bisa lebih dari sekadar mencolek pipi atau meremas bokong. Namun, selama ini, godaan syahwat itu belum mampu menggoyahkan imannya. Mustafa sudah mempunya perhitungan sendiri. Dia tak mau uangnya habis dikuras oleh perempuan-perempuan lacur itu. Dan yang lebih penting lagi, dia takut diamuk istrinya jika sampai ketahuan. Dan yang paling penting, dia khawatir anunya digempur sipilis, mreteli, dan copot seiris demi seiris.
Namun, sebentar lagi Mustafa akan kehilangan Nardi, lawan debatnya itu. Perjalanan ke Tanjung Priok ini adalah kerja sama mereka yang terakhir. Mustafa sudah memutuskan menerima tawaran temannya, menjadi sopir truk ekspedisi. Rutenya Sumatera, Palembang, dan Nardi memilih mengundurkan diri. Dia ingin berganti profesi menjadi petani. Betapapun Mustafa sudah berusaha membujuknya, termasuk berjanji akan segera mengajarinya menyopir, Nardi bergeming. Menurutnya, ekspedisi antarpulau bisa memakan waktu berhari-hari. Uangnya memang banyak, tapi kedekatannya dengan keluarga tak bisa digantikan oleh apa pun.
“Rute Sumatera, kan? Ajak si Rudi. Dia orang sana,” usulnya.
Kata beberapa sopir yang berpengalaman membawa truk ke luar Jawa, kehidupan jalanan di jalur Trans Sumatera memang luar biasanya kerasnya, sekeras besi baja. Mereka harus bersabung nyawa, dan bertaruh jiwa. Kabarnya, para preman memenuhi jalan raya yang panjangnya lima puluh kilo meter dan kanan-kirinya hutan lebat itu. Ketika truk mulai memasuki wilayah yang dikenal angker itu, para sopir akan segera merasakan atmosfer yang berbeda. Rasa-rasanya mereka sedang berada di negeri antah berantah, terpisah dari Indonesia, terutama penerapan hukumnya. Para preman berseragam dan tanpa seragam itu seakan-akan tak tersentuh, sangat leluasa dan tanpa kendala saat mengadakan perlombaan merampok.
Dalam melakukan perampokan, para bedebah itu mempunyai bermacam gaya, sesuai dengan karakter dan tingkat pendidikan mereka. Ada yang bersikap sangat santun, mengucapkan permisi terlebih dulu sebelum menempelkan pisau cuter ke leher korbannya. Ada juga yang seperti kucing, bersikap malu-malu saat membobol terpal truk, lalu menjarah muatannya. Dan, ada pula yang berzodiak Leo, suka berterus terang. Tanpa aba-aba dia akan langsung mengalungkan celurit ke leher korbannya, sementara teman-temannya segera menggasak barang-barang pada bak truk, memindahkannya ke mobil bak terbuka yang mereka bawa.
Seakan-akan deskripsi tersebut belum cukup menyeramkam dalam menggambarkan situasinya, para sopir truk itu masih harus berhadapan dengan ulah para bajing loncat cilik. Di jalan yang menikung dan menanjak itu, tanpa mengenal takut, bocah-bocah yang belum genap sepuluh tahun ini meloncat ke atas truk yang sedang melaju pelan, menyobek terpalnya, lalu mengambil apa saja yang bisa mereka embat, lipat, lalu dijadikan uang.
Para penjahat memang susah matinya. Seakan-akan sedang dilindungi iblis, sampai saat ini belum pernah terdengar kabar adanya bajing loncat cilik yang jatuh dari atas truk, lalu kepalanya pecah tergilas roda. Atau kardus yang mereka ambil dari bak truk itu ternyata berisi bom, langsung meledak saat dibuka, dan mengubah tubuh mereka menjadi saos tomat.
Sebenarnya, ada satu cara yang sangat jitu agar barang bawaan itu aman dari gangguan para pencoleng tersebut, yaitu menuruti permintaan mereka. Mustafa tidak sudi. Menurutnya, daripada diberikan kepada para wereng, uang jatah makannya itu akan lebih bermanfaat dan bermartabat jika digunakan untuk mengisi perutnya sendiri, atau menghidupi keluarganya.
Usul Nardi tersebut sangat brilian. Rudi adalah pilihan yang tepat. Dia orang Sumatera, Palembang pula, dan nyalinya sebesar gajah bunting.
***