Luka, Luka, dan Luka

Dewanto Amin Sadono
Chapter #22

Sebuah Pertemuan

Setelah semalam menginap di losmen di daerah Hayam Wuruk, pagi-pagi sekali Rudi menuju Beos, naik ojek sepeda. Kantor ekspedisi milik Babah Ationg itu masih tutup, dan tak ada orang.  Rudi memutuskan sarapan dan minum kopi di sebuah warung, dan kembali setengah jam kemudian. Perempuan yang berkulit putih dan berambut sebahu itu sedang menyapu lantai kantor, sementara Mustafa belum kelihatan batang hidungnya.

Seperti biasanya, saat bertemu perempuan, Rudi tak berani menyapanya terlebih dahulu, kecuali hanya memandangi. Betapa perempuan berkulit putih dan berambut sebahu selalu mampu membuat hatinya berdesir, dan kenangan itu pun datang kembali. Semoga ibunya berbahagia di surga sana. Jangan tinggal serumah lagi dengan suaminya yang di bumi, kecuali Malaikat Malik telah membuat laki-laki itu tobat, itu setelah memukulinya dengan tongkat. Tugas utama kepala rumah tangga adalah mencukupi kebutuhan keluarga, dan bukannya mengumbar mulut besarnya. Barangkali demikian nasihat yang diberikan oleh malaikat penjaga neraka itu kepada bapaknya, sambil terus mengayunkan tongkat besinya tentu saja.

Setengah jam kemudian para karyawan mulai berdatangan. Sebagian besar perempuan, dan bertugas mengerjakan bagian administrasi. Mereka mencatat semua pemasukan dan pengeluaran, barang maupun uang. Si Ationg sendiri buta huruf, hanya memahami tulisan warisan nenek moyangnya. Mustafa tiba lima belas menit kemudian, dan sempat memergoki Rudi sedang melirik-lirik perempuan yang berkulit putih dan berambut sebahu itu.

“Kampret!” umpatnya pelan.

Didekatinya Rudi, sementara wajahnya tampak bahagia. Kalau Rudi tidak datang, sebenarnya Mustafa sudah berencana menunda keberangkatannya barang sehari. Kecuali bos barunya itu bisa mencarikan kenek untuknya.

“Sudah lama?” tanya Mustafa, menyalami Rudi.

Rudi menjawab dengan senyuman. Setelah berbasi-basi, Mustafa menjumpai pemilik ekspedisi. Cukup lama dia berada di dalam kantor, sementara Rudi duduk tenang di teras, di kursi besi bercat merah. Matanya menjelajahi bekas bangunan milik Belanda yang masih tampak kokoh itu. Pintu dan jendelanya besar-besar. Temboknya tebal dan atapnya tinggi. Dua puluh menit kemudian barulah Mustafa keluar dari ruang kantor yang berantakan seperti kandang ayam itu. Tangannya menenteng tas kecil berisi surat-surat mobil dan uang untuk biaya perjalanan.

“Beres, Rud,” kata Mustafa. “Yuk berangkat!

Rudi berdiri, tas rangsel yang berisi seluruh harta bendanya itu digendongnya di punggung. Mustafa mengerutkan keningnya melihat hal itu.

“Tas kamu besar amat. Kamu bawa apa? Bom?” tanyanya.

“Baju dan celana. Katanya mau ke Sumatera?” tanya Rudi, sedikit bingung.

“Memang ke Sumatera, tapi pakaiannya juga tidak perlu sebanyak itu. Kecuali kamu sedang minggat.”

“Tidak apa-apa. Sehari bisa ganti tiga kali!” ucap Rudi, sekenanya.

“Yuk!” ucap Mustafa, tapi tidak segera beranjak dari tempat berdirinya. “Kamu tidak pamit dulu?” tanyanya sambil tersenyum-senyum.

“Pamit? Pamit siapa?” Rudi berbalik bertanya, tampak bingung.

“Itu tuh!” Mustafa memonyongkan bibirnya ke arah perempuan berambut sebahu tadi.

Muka Rudi langsung merebak, dan segera menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia tak menyangka kelakuannya tadi ada yang memergoki. Rudi memilih tak menjawab ledekan tersebut. Nama perempuan itu Mindow, asalnya dari Menado, kata Mustafa. Entah dari mana dia mendapatkan informasi yang cukup penting itu.

“Hati-hati dengan cewek Menado. Ganas-ganas!” kata Mustafa.

Rudi tak menanggapi. Sebagai sopir yang setiap kali sedang lelah atau mengantuk mampir ke warung makan, sudah pasti banyak jenis perempuan yang dikenal oleh Mustafa. Meskipun demikian, tentang cewek Menado tadi, Rudi memilih tidak memberikan pendapatnya. Yang dia kenal hanya perempuan Lokalisasi Kramat Tunggak, dan belum pernah mendapat yang Menado.

Truk-truk berukuran besar itu mulai meninggalkan gudang penyimpanan. Bak truk yang dipenuhi oleh sembako dan alat-alat rumah tangga itu ditutupi terpal tebal, warnanya cokelat kopi. Kelima truk itu berjalan beriringi-iringan. Mustafa memilih menjadi buntut. Ini perjalanan pertamanya ke luar Jawa, belum hafal rutenya. Apalagi dia juga masih memerlukan sedikit penyesuaian dengan truk barunya itu. Pada dasarnya semua jenis truk sama saja. Letak panel, pedal rem, gas, kopling, maupun persenelingnya tidak jauh berbeda. Hanya, truk diesel ini lebih panjang daripada truknya yang lama.

“Nama lengkapmu Rudi siapa? Rudi Hartono?” Mustafa membuka percakapan, truk baru tiba di Kali Deres.

“Rudi saja.”

“Kamu benar-benar buta huruf?”

Rudi mengangguk, sementara matanya memandangi marka jalan yang membelah jalan raya yang mulai pudar warnanya itu. Garis putih yang putus-putus itu seolah-olah sedang berlarian, berkejar-kejaran.

“Terus kalau membaca dan menulis bagaimana?”

“Nyuruh orang.”

“Tidak takut di...,” Mustafa tak meneruskan ucapannya. Siapa pula yang berani menipu Rudi.  “Kenapa ke Jakarta?” Mustafa mengubah pertanyaannya.

“Ada masalah di rumah.”

“O....”

Lihat selengkapnya