Luka, Luka, dan Luka

Dewanto Amin Sadono
Chapter #23

Linda, Rudi, dan Princess Sipon

Tahun 1977

Walaupun hidup serumah, Linda dan Rudi tak pernah menikah. Rencana pernikahan mereka ditolak oleh penghulu. Alasannya, syarat-syaratnya tak terpenuhi. Linda sudah mengatakan tidak mempunyai bapak, kakak, paman, kakek, atau siapa pun yang diperbolehkan agama untuk menjadi walinya, tapi penghulu tua itu bergeming. Dia tak mempercayainya, dan justru sibuk berceramah. Saat berbicara, kulit mukanya tampak berkerut-kerut. Sementara itu, pada matanya bayangan api neraka itu terlihat menyala-nyala dengan dasyatnya.

“.... saya tidak berani, takut dosa!” katanya.

Si penghulu menekankan ucapan itu, dan tak menolak saat sebuah amplop disodorkan kepadanya, lalu melanjutkan khotbahnya. Dan selama mendengarkan ceramah yang tak gratis itu, Linda dan Rudi hanya mengangguk-angguk, antara paham dan tak paham. Lima menit kemudian, barulah mereka meninggalkan kantor KUA itu, dan tak pernah kembali.

Seperti sepasang kerbau, sejoli merpati, atau hewan lain yang berpasangan, Linda dan Rudi tinggal bersama, tidur berdua. Seperti halnya para binatang itu, mereka juga tidak perlu menjalani prosesi pernikahan yang sakral dan penuh tradisi. Konsekuensinya, mereka juga tak pernah merasakan betapa saktinya dua buku kecil yang berwarna cokelat dan hijau serta ada fotonya ini. Mereka tidak pernah tahu bahwa buku nikah itu bisa difungsikan sebagai SIM saat menginap di hotel atau di mana pun tanpa takut terkena razia petugas susila.

Mula-mula Linda dan Rudi tinggal di kamar kontrakan yang bobrok dan dipenuhi tikus di daerah Tanah Abang, tak jauh dari Lokalisasi Bongkaran. Namun, karena sering ditawar laki-laki hidung belang, dikira pelacur, Linda mengajak Rudi pindah. Ke mana saja, katanya. Yang penting memenuhi kriteria berikut ini: murah, nyaman, dan tak ada bajingannya.

“Mana ada kontrakan macam itu di Jakarta, Lin? Yang murah pasti banyak bajingannya. Yang nyaman dan aman pasti tidak murah,” kata tetangga kontrakan itu, ibu-ibu, dan sudah dua puluh tahun ini tinggal di Jakarta.

“Pasti ada,” jawab Linda yakin.

Lewat seorang teman, akhirnya, Rudi berhasil menemukan sebuah kontrakan baru walaupun kualitasnya sama saja dengan yang lama. Letaknya di Pulo Jahe, di salah satu sudutnya, di kawasan yang paling kumuh, sekitar dua ratus meter dari jalan raya. Pemiliknya Haji Somad, orang terkaya di kelurahan itu. Kontrakan itu dulunya empang. Nyamuknya sebatalyon, sementara teman-temannya lebih banyak lagi, seribu batalyon. Menurut perhitungan Rudi, di tempat itu tidak terlalu banyak pelacurnya. Jumlah bajingannya dia tidak tahu, belum mendatanya.

Kontrakan itu berukuran tiga kali enam meter, berhimpitan dengan kontrakan lainnya seperti sekumpulan kardus bekas di pojokan toko kelontong. Dinding rumah kontrakan itu dari papan abasia, dan sudah rompal di sana-sini. Para rayap telah melahapnya sebagian, dan usianya yang tua itu sedang menyempurnakan kerusakannya. Lantainya berplester seadanya, dan sudah rontok di beberapa tempat. Saat musim hujan tiba, atap asbes itu bocor dan ribut seperti kucing mau kawin. Usuk dan rengnya dari bambu, sudah keropos dan menunggu diperbaiki. Pintu dan jendela itu rusak engselnya, dan bergoyang-goyang seperti gigi yang mau copot saat diempas angin,

Setelah kumpul kebo selama lima bulan, Linda pun hamil, dan segera berkotek-kotek seperti ayam betina yang baru saja mengeluarkan telurnya. Ada sesuatu yang sangat mengganggu pikirannya. Kepalanya seperti sedang dihujani batu. Pemikiran itu seolah duri bandeng yang menghujam tenggorakannya, tak mudah disuruh enyah. Dia bingung dengan status anaknya nanti. Meskipun nantinya anak itu terlahir lewat lubang yang sama dengan anak lainnya yang termasuk kategori halal, tidak lewat dubur, anak yang lahir di luar pernikahan akan disebut sebagai anak haram, tidak diakui negara, dan menjadi cibiran para tetangga.

Sebenarnya, buku nikah bisa dipalsukan, dan di Jalan Pramuka banyak ahlinya. Buku itu adalah syarat utama untuk mendapatkan surat penting pembeda status anak ini, akte kelahiran. Namun, Rudi belum mempunyai waktu untuk mengurusnya. Sementara itu, perutnya makin membesar, dan bayi di dalamnya seakan-akan tak sabar ingin segera menghirup udara dunia.

“Anak pertama ya seperti itu, Lin. Ibunya suka mikir ke mana-mana. Tenang saja! Turuti saja maunya! Itu namanya ngidam,” kata tetangga kontrakan yang anaknya lima itu.

Linda hanya tersenyum mendengar petuah itu, dan tak menanggapi. Dia sedang mematangkan rencananya, dan ada dorongan sangat kuat untuk segera melakukannya, dan bukan karena status sebagai anak haram jadah itu saja, tapi ada yang lebih mengerikan daripada itu, menurutnya. Lalu, setelah semalam lagi berlaku layaknya orang gila, menangis dan tertawa sendiri, esoknya dia berhasil mengusir keraguan itu. Usai mandi keramas, dia mendatangi kios jamu, dan memesan ramuan yang paling manjur. Harapannya, pembunuhan itu akan berlangsung secepatnya, dan tidak menyakitkan, baik bagi calon bayinya maupun calon ibunya, yaitu dirinya sendiri.

“Yang ini sangat cespleng, sudah terbukti. Kandungan anak SMA itu ambrol setelah minum dua kali,” kata si penjual seolah-olah sedang menawarkan obat kutil.

Linda tak menanggapi. Dibelinya tiga jenis jamu sekaligus: pil, serbuk, dan cairan. Sampai di rumahnya, seperti sedang menyeruput limun, mengunyah permen karet, atau menelan potongan pisang, dia mengirimkan berbagai ramuan itu ke dalam perutnya, lalu menunggu dua hari. Namun, tak terjadi apa-apa pada dirinya kecuali menceret selama lima hari. Jamu telat datang bulan dan obat pencuci perut itu gagal melaksanakan tugasnya. Janin itu terlalu perkasa.

Linda tidak patah arang, dan segera dicobanya resep lainnya: anak tikus yang berumur sehari. Kata si empunya resep, entah menemukan ilmunya dari mana, tikus itu harus ditelannya hidup-hidup. Hari Minggu itu Linda mengubek-ubek seisi dapur, dan menemukan seekor tikus lagi bersembunyi ketakutan di antara kardus gelas. Linda berhasil menangkapnya setelah menggencetnya ke dinding lemari, dan tak tahu berumur seminggu atau sehari. Sambil memejamkan mata, tak lupa berdoa, ditelannya anak tikus yang terus mencicit itu, dan tersangkut di tenggorokannya. Lehernya tercekik, matanya mendelik, sementara napasnya tersengal-sengal. Setelah digelontor tiga gelas air putih, barulah si tikus yang terus meronta-ronta itu meluncur mulus ke dalam perutnya, dan mati saat mendarat di sarang barunya.

Seminggu berlalu, dan perut Linda tetap buncit, tidak terjadi pendarahan atau yang semacamnya. Janin itu terbukti setangguh ilalang, tak mati oleh semprotan herbisida, dan sebandel panu di punggung, tak mempan oleh gosokan lengkuas ataupun jahe. Ibarat kerakap pada batu, embrio itu tetap tumbuh dan tumbuh meskipun inangnya tak mau mengurusi, sudah berhari-hari ini Linda mengurangi porsi makannya hingga tinggal separuhnya.

Ketika kandungan Linda memasuki usia lima bulan, si janin itu pun mulai menggeliat, menendang, memukul, serta menyikut dinding rahim seakan-akan sedang menjadikannya samsak. Linda hanya bisa meringis, mengelus-elus perutnya yang nyeri dan mual itu, tak lupa menyumpah-nyumpah, tentu saja. Dia merasa si calon anak itu sedang membalas dendam atas usaha genosida yang pernah dilakukannya. Di tengah-tengah perasaan putus asa yang menggerogoti pikirannya, Linda memutuskan pergi ke dukun pijat. Konon, perempuan yang berumur lima puluhan tahun itu bisa dan mau melakukan aborsi. Alamatnya di pelosok Banten sana. Linda menantang si ibu yang bertampang dingin itu untuk menunjukkan kehebatannya, dan sanggup membayar berapa saja. Perempuan yang wajahnya dipenuh keriput itu memandangi perut Linda yang buncit, dan tersenyum rahasia. Dia berucap singkat, tanpa mengubah warna mukanya.

“Bisa, sangat bisa. Bayi itu akan mati, begitu juga dengan ibunya,” katanya.

Lihat selengkapnya