Maret, 1992
Linda sudah selesai memasak nasi, sayur asem, dan sambal ikan panggang kesukaan Sipon. Lepas dari dapur, Linda mencari anak gadisnya itu ke teras, tapi Sipon tidak ada. Sesaat Linda termenung. Sipon suka pergi sendiri walau seringnya tak jauh. Kalau tidak bersimpuh di teras rumah tetangga, dan mengacak-acak tanamannya, biasanya Sipon berkesot ke warung makan Bu Solo, menonton orang-orang yang lagi antre membeli sarapan. Namun, hal itu tak bisa dilakukan Sipon sepuasnya. Seringnya si pemilik warung segera mengusirnya. Bisa jadi Bu Solo takut para pembeli kehilangan selera makannya.
Mata Linda segera mengarah ke gang, ke rumah para tetangga, juga ke warung nasi tak jauh dari rumah kontrakannya itu.
“Pon! Sipon!” teriaknya.
Suara yang menggema itu tak ada jawabannya. Linda segera menengoki selokan yang berair kotor dan berbau tinja itu. Siapa tahu Sipon terperosok ke dalamnya. Dia juga menajamkan matanya ke arah kanan dan kiri gang, mencari-cari sosok yang sedang mengesot, atau bersimpuh di tepi jalan, serta mendongak ke apa pun yang menarik perhatiannya. Namun, Sipon tak meninggalkan jejaknya, dan Linda pun mulai khawatir.
“Lihat Sipon, Yu?” tanyanya.
Tuminah mengeleng, dan tampak tak acuh. Perempuan itu meneruskan langkahnya menuju warung sambil bergerundel. Entah apa isi gerundelannya, bisa jadi tentang Sipon yang sering minggat itu.
“Sipon!” teriak Linda.
Napas Linda memburu. Dia berlari-lari kecil di sepanjang gang, bertanya kepada siapa saja yang ditemuinya. Dia mengetahui, tak ada satu pun orang yang bakal menculik Sipon demi uang tebusan, apalagi sampai membawanya lari untuk diperkosa. Namun, anak tetaplah anak, bagaimanapun ujud dan kelakuannya. Dia akan dicari ketika tidak ada, dan dimaki begitu bertemu batang hidungnya.
Setelah sampai di ujung gang dan Sipon tetap tidak ditemukannya, Linda segera mencari anaknya ke kebun kosong tak jauh dari gardu ronda. Barang kali Sipon sedang di situ seperti kemarin. Waktu itu dia mendapati Sipon sedang bersimpuh di dekat semak-semak, dikerubuti ratusan nyamuk. Sipon tampak kelelahan, dan Linda bisa menduga apa yang baru saja dilakukannya. Bisa jadi waktu itu banyak penontonnya, dan mereka segera merasa jijik. Atau mereka justru ingin tahu, menunggui adegan itu hingga terjadinya klimaks.
Sebenarnya, dia sudah mewanti-wanti Sipon agar tidak ke tempat itu lagi. Namun, menasihati Sipon sama juga berbicara dengan batu. Entah dia yang salah menjelaskannya, ataukah otak Sipon yang tak mampu mencernanya. Sipon sudah lima belas tahun, dan bukan hewan yang hanya bisa menuruti nalurinya saja. Mestinya dia mulai berlatih menggunakan otaknya. Udang yang berotak udang pun tahu bagaimana cara menggunakannya, bersembunyi di balik batu begitu ada yang mendekatinya.
Andai saja anak itu tahu, betapa dirinya sangat menyayanginya, dan sering menangisi nasib buruknya. Ketika anak itu sudah terlelap, dia masih menunguinya. Sering kali dia mengelus-elus rambutnya, memandangi raut wajahnya yang berantakan itu. Kadang juga membasuh pipinya yang montok itu dengan air matanya.
Setelah melewati rumah Minah, Linda sampai di bedeng barang rongsokan milik orang Madura. Letak kebun kosong itu tidak jauh lagi, di belakang gardu ronda yang setiap malam ramai oleh orang-orang bermain judi. Linda tidak segera memasuki kebun yang tidak diurusi pemiliknya itu, tapi berdiri di pinggir selokan. Dia menjulur-julurkan lehernya, sementara matanya menerobos semak-semak, pohon pisang, dan tumpukan sampah.
Karena tak yakin dengan penglihatannya, Linda melompati selokan yang membatasi kebun itu dengan jalan. Barangkali Sipon sedang berada di balik pohon nangka yang konon dihuni oleh sesosok genderuwo itu. Namun, dia tak berani berlama-lama. Saat melewati pohon yang berdaun rimbun itu, bulu kuduknya langsung berdiri. Dia merasa ada sepasang mata yang sedang mengawasinya. Mata itu merah. Dan ketika tiba-tiba bau busuk itu menyergap hidungnya, cepat-cepat Linda keluar dari dalam kebun itu.
Linda termangu-mangu, memikirkan tempat lain yang menjadi arena bermain Sipon, tapi pikirannya buntu. Bisa saja Sipon berada di tempat yang sama sekali tidak diduganya. Meskipun sangat lambat, Sipon makin banyak akalnya dari hari ke hari.
Tiba-tiba sepeda motor bebek merah itu berbalik arah, lalu berhenti tepat di samping Linda. Pengendaranya Badrun, dan Linda langsung bersikap waspada. Pemuda lajang itu pernah menggodanya, bahkan terang-terangan mengajaknya tidur. Badrun mengira kelaminnya gatal karena sering ditinggal pergi laki-lakinya selama berhari-hari. Pemuda yang bertampang mesum itu menduga dirinya perempuan goblok yang mudah ditipu dengan sepeda motornya yang bobrok dan belum lunas kreditannya itu. Selama ini, setiap kali Badrun menyapa, dia selalu menanggapinya, dan itulah kesalahan fatalnya. Semua laki-laki tidak pantas diberi hati, bakalan ngelunjak. Sebenarnya, hal itu hanya demi sopan santun saja, tapi bangsat yang satu itu telah salah mengartikannya.