Kelakuan Sipon yang suka merancap di sembarang tempat bukanlah rahasia lagi bagi orang-orang yang tinggal di sekitar rumah kontrakan Linda. Para tetangga pun makin menyakini hal-hal ini: bapaknya Sipon adalah genderuwo penghuni pohon nangka di kebun kosong itu. Mana ada anak manusia yang berkelakuan semacam itu, hewan pun tidak. Tanda-tandanya sudah jelas, bahkan sangat jelas, dan tidak memerlukan pendapat dukun sakti atau kyai untuk menyakininya.
Sipon sering berbicara dan tertawa sendiri di teras rumah, di pinggir jalan, atau di mana pun. Biasanya, tangannya digerak-gerakkan seakan-akan sedang menjelaskan sesuatu kepada seseorang. Sementara, matanya memandang ke depan padahal tidak ada siapa-siapa. Itu semua berbeda dengan kelakuan orang gila yang biasa berkeliaran di jalan raya atau di pasar-pasar. Walau mereka sama-sama suka bermonolog, tapi yang dilakukan Sipon sungguh berbeda. Ekspresinya tampak sangat bahagia. Sementara, tatapan mata yang memancar dari bola matanya yang besar sebelah itu tidak kosong, tapi berbinar-binar.
Selain itu, para tetangga juga sering mencium bau yang sangat khas, dan tidak ada bau lainnya yang bisa menyamai bau itu, kecuali bau aslinya sendiri. Mana ada orang yang membakar singkong sampai gosong di siang bolong? Sudah pasti bau itu berasal dari bapaknya Sipon. Genderuwo itu sedang menemaninya bermain tebak kata atau permainan sejenisnya. Walau belum ada seorang pun yang pernah melihat secara langsung mahkluk yang katanya sangat mengerikan itu, Rudi bukanlah ayah Sipon, sudah pasti itu. Dia jarang di rumah, dan kalau pun di rumah, paling hanya sehari. Waktu yang hanya sebentar itu jelas-jelas tak mencukupi untuk menghamili perempuan mana pun juga.
Ketika itu malam satu Suro. Sejak sore hujan membasahi bumi Pulo Jahe. Tak seperti biasanya, suasana sangat sepi. Warung-warung tutup sebelum waktunya. Gardu ronda ditinggal para penghuninya. Udara terasa dingin, mencubit kulit, menggigit tulang. Sebelum tengah malam, orang-orang sudah memasuki kamar masing-masing, menendangi selimut.
Dengan diiringi angin yang memukuli pucuk-pucuk dedaunan, sosok tinggi besar, berbulu selebat gorila, bertaring serigala, bermata merah bara, pula berbau singkong bakar gosong itu melayang dari atas pohon nangka. Rumah di perempatan jalan itulah sasarannya. Di dalamnya ada Linda, dan sudah berhari-hari ditinggal pergi laki-lakinya. Setelah bersalin rupa dan penampilan, mahkluk astral itu pun menyelusup melewati lubang kunci. Dimasukinya kamar tidur di dekat ruang tamu. Dan di sana, tampaklah Linda yang sedang tidur terlentang. Dasternya tersingkap di bagian paha. Kulitnya putih dan mulus.
“…. Makanya, setelah dilahirkan, ujud dan kelakuan Sipon seperti itu. Ih, amit-amit jabang bayi,” kata Minah, mengakhiri ceritanya.
Orang-orang yang sedang antre di warung Bu Solo itu hanya tersenyum, dan tak menanggapi cerita yang terus diulang-ulang itu. Mereka sudah hafal, bahkan sampai ke titik dan komanya. Terutama ekspresi Minah pada pernyataan penutup tadi. Mukanya bergidik, sementara bibirnya mencibir. Minah suka menceritakan dongeng itu kepada setiap pendatang baru. Biasanya, mereka tertarik dan segera menjadi kawanannya. Namun, buruh pabrik garmen di Kawasan Industri Pulo Gadung yang sedang antre sarapan itu memilih tak menanggapi cerita yang tak berujung pangkal itu, tidak masuk akal pula. Setelah Bu Solo melayani gilirannya, perempuan muda yang baru lulus SMP itu mengucapkan permisi, meninggalkan kerumunan, dan bermaksud kembali ke rumah kontrakannya.
“Mbak, kalau keluar rumah, pintunya jangan lupa dikunci, ya! Soalnya si Princes itu suka mengacak-ngacak seisi rumah!” ucap Minah. Saat berbicara, tahi lalat kecil di ujung hidungnya itu tampak bergerak-gerak, sementara matanya terlihat berbinar-binar. Barangkali perempuan mandul itu sedang berbangga hati, bisa berbagi kebaikan dengan tetangga barunya. Informasi yang sangat berguna itu perlu diketahui oleh siapa saja dan segera, menurutnya.
Orang-orang yang lagi menunggu giliran dilayani Bu Solo itu hanya bisa bergeleng-geleng kepala. Meskipun demikian, mereka memilih berdiam diri. Minah terkenal galak dan suka melabrak tetangganya, yang perempuan tentu saja. Tuduhannya selalu sama; bermain mata dengan suaminya. Dia tak peduli bahwa faktanya tidak seperti itu. Sebenarnya, selain dirinya sendiri, tak ada satu pun perempuan di lingkungan itu yang tertarik kepada suaminya. Selain bertubuh pendek dan berkulit hitam, tukang parkir di depan toko swalayan itu juga pincang kakinya.
Si hitam manis itu membalikkan badannya, tersenyum sekadarnya, lalu meneruskan langkahnya. Sampai di rumah kontrakannya yang berdempetan dengan milik Linda, tanpa terlebih dahulu meletakkan bungkusan plastik di tangannya, dia segera menghampiri kedua teman kerjanya.
“Perempuan jahat!” katanya.
“Apaan, sih?” Si gadis berambut panjang itu tampak bingung dengan gerundelan temannya.
“Ih, ada juga manusia berhati busuk semacam itu,” kata si hitam manis lagi.
“Kamu ini omong apa?” Gadis yang berambut pendek itu ikut menyela.
“Tuh, yang bertahi sapi di ujung hidung itu. Dari tadi njelek-njelekin orang mlulu.” Lewat kaca jendela si hitam manis itu menunjuk ke arah kerumunan di warung Bu Solo.
“Yang mana, sih?” Gadis berambut panjang itu ikut mengintip.
“Tuh, lihat mulutnya yang nyerocos terus itu. Tahu siapa yang sedang dia bicarakan sekarang,” kata si hitam manis lagi.
“Siapa? Kita?” tanya gadis yang berambut pendek.
“Bisa jadi, tadi Sipon.”
“Anak yang tadi kita beri kue itu?” Si rambut panjang mengereyitkan dahi.
“He heh. Kayaknya benci banget dia sama anak itu!” sahut si hitam manis.
“Terus?” tanya yang berambut pendek.