Senja tampak temaram di langit. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Lalu lalang orang dan deru motor di depan rumah Linda mulai sepi. Air got tetap menggenang, hitam dan berbau comberan. Sementara itu, Rudi sedang mengobrol dengan Sipon di kursi ruang depan. Lebih tepatnya, Sipon berceloteh dengan suara anehnya, dan Rudi menanggapinya dengan angggukan, gelengan, dan senyuman.
Sudah empat hari ini Rudi tidak bekerja. Truknya di bengkel, turun mesin. Setelah hidup di atas roda selama bertahun-tahun, akhirnya Rudi bisa menyopir juga. Gurunya Mustafa, dan mengajarinya sambil memaki-maki. Berkali-kali truk besar itu hampir melindas tubuhnya. Muridnya yang bodoh itu sering kali lupa membedakan fungsi pedal kanan dan pedal kiri.
Rudi juga sudah mempunya SIM meskipun hasil “nembak.” Mustafa mencarikannya lewat calo yang banyak berkeliaran di sekitar kantor polisi. Jika lewat jalur resmi, Rudi tak bakal lulus meskipun ikut ujian seribu kali. Jangankan membaca rambu-rambu lalu lintas pada lembar soal, menuliskan namanya sendiri saja dia tak bisa.
Rudi mengisi waktu senggangnya di rumah kontrakan, bercengkerama dengan anak-istrinya. Kemarin, disempatkannya membuatkan papan beroda untuk Sipon. Bentuknya persegi panjang, ukurannya tiga puluh kali lima puluh sentimeter, dan dilengkapi dengan empat roda. Roda-roda itu dari bekas kursi kantor yang dia dapatkan dari tempat barang rongsokan milik orang Madura. Kini Sipon tak perlu mengesot lagi. Dia tinggal bersimpuh, dan mengayuh papan itu memakai kedua tangan layaknya sedang naik skateboard. Sementara itu, Linda tak perlu lagi mengucek rok Sipon hingga lima kali, menghilangkan kotoran yang melekat seperti getah nangka pada bagian bokongnya.
“Lin, anakmu ini omong apa?” tanya Rudi saat melihat Sipon tampak marah setelah tak ditanggapi omongannya.
“Minta dikepang rambutnya seperti ponakannya Bu Solo,” jawab Linda.
“Oooo,” seru Rudi, memonyongkan bibirnya.
Rudi berdiri, duduk di belakang Sipon. Dirapikannya rambut yang berantakan itu dengan kedua telapak tangannya. Selanjutnya, rambut itu dipilin-pilinnya menjadi tiga bagian, lalu dijalinnya menjadi satu. Lima belas menit kemudian, barulah pekerjaan tangan itu selesai. Sipon tampak sangat bahagia. Kedua matanya yang besar sebelah itu terlihat bercahaya. Dikibas-kibaskannya rambut itu bagaikan seorang peragawati saat sesi pemotretan untuk cover sebuah majalah remaja. Rudi mengacungkan jempol kanannya, sementara Linda hanya memandangi, dan matanya tampak berkaca-kaca.
Tak terasa sudah lima belas tahun ini Linda hidup bersama dengan Rudi. Mereka tetap tidak menikah, juga tidak memiliki bukunya, yang palsu sekali pun. Rudi malas mengurusnya. Buat apa, katanya. Yang penting bukan bukunya atau statusnya, tapi hubungan antara kedua pelakunya. Selama ini hubungan mereka baik-baik saja. Rudi telah membuat Linda merasa sebagai wanita yang paling beruntung dunia ini. Rudi sanggup melakukan apa saja demi orang-orang yang dicintainya. Pusat kebahagiaannya adalah dua perempuannya: istrinya dan anaknya. Namun, Linda sudah lelah, dan tak sanggup memendam teka-teki itu lebih lama lagi.
Nalurinya berbisik, sesuatu sudah terjadi di antara mereka berdua, dan Linda ingin memastikannya. Keraguan itu tak pernah hilang. Mengusik tidurnya, menghiasi lamunannya. Seolah-olah benalu yang melekat pada inangnya, tanda tanya itu terus bersemayam di ceruk otaknya. Mengganggu langkahnya seperti kerikil dalam sepatu. Mengusik kenyamanannya seakan-akan duri dalam daging. Apalagi akhirnya duri itu menancap di batang tenggorakannya, dan susah dienyahkan.
Usai bercinta, seringkali Linda memandangi wajah itu, mengingat-ingat adakah yang masih bisa dikenalinya. Dia memeluknya, mengelus-elus punggungnya, dan merasa pernah melakukan hal yang sama, dulu, dulu sekali. Di dunia ini ada berapa orang yang mempunyai bekas luka dengan bentuk seperti itu?
Dulu sebelum hamil, Linda pernah memancing-mancing Rudi, menanyakan asal-usulnya. Namun, jawaban-jawaban itu begitu menyakinkannya. Sementara, dia sendiri justru berharap memang itulah kenyataannya, dan hal itu sudah sesuai dengan harapannya, sangat sesuai bahkan. Nama laki-lakinya itu Rudi, dari Palembang. Pergi dari rumah setelah menikam perut pamannya yang ingin merebut warisannya.
“Mas Rudi benar-benar sebatang kara? Tak punya adik?” tanya Linda saat itu.
“Dulu ada, adik perempuan,” jawab Rudi, “tapi pergi ketika umur lima tahun.”
“Pergi ke mana?”
“Mungkin dipanggil Tuhan.”
“Bapak dan ibu Mas Rudi meninggal karena apa?”
“Ibu sakit perut, bapak kecelakaan.”
“Kapan kita ke pergi ke Palembang? Ke tempat kelahiran Mas Rudi?”
“Kapan, ya?” tanya Rudi, tersenyum. “Kapan-kapan, deh. Biayanya banyak.”
Linda juga pernah memancing Rudi dengan cerita tentang kakaknya yang jatuh dari pohon rambutan, dan punggungnya terluka. Namun, Rudi tetap tak berubah mukanya. Bahkan, Rudi justru berganti cerita tentang luka pada punggungnya itu. Kena sabet celurit waktu berkelai di Priok, katanya.
Dalam situasi tertentu, sebuah rahasia lebih baik tetap menjadi rahasia. Tak terjamah, tak tersentuh, dan tetap menjadi rahasia selamanya. Namun, hal itu tidak berlaku untuk kasus ini. Dia telah memendam rasa ingin tahunya itu begitu lama, bahkan terlalu lama. Bagaimanpun juga kebenaran harus diungkapkan meskipun menyakitkan. Dan inilah saatnya, mumpung dia punya keberanian dan Rudi sedang di rumah. Hidupnya harus terus berlanjut. Hidup yang setenang air danau. Dia juga ingin berbahagia di sisa umurnya yang entah tinggal berapa lama ini. Sementara itu, tentang Sipon, apa pun statusnya nanti, seaneh apa pun itu, Sipon tetaplah anaknya, darah dagingnya. Bagaimanapun juga, di balik semua kecacatannya, anak itu istimewa.
Usai menidurkan Sipon, Linda mendekati Rudi yang sedang menonton televisi. Linda bergayut di pundaknya, sementara matanya ikut menatap acara siaran niaga, iklan KB, keluarga berencana. Linda kembali menata hatinya. Walaupun di kamar tadi dia sudah memikirkan dari mana akan memulai pembicaraan, saat di dekat Rudi semuanya kembali berantakan.
“Mas!” sapa Linda sesaat kemudian.
“Hmm, apa?” Rudi tak menoleh meskipun tangan kirinya segera mengelus-elus rambut Linda.