Warung makan Bu Solo lagi ramai. Tukang kredit pakaian itu tampak dikerubuti tiga orang. Perempuan berjilbab itu sedang bercerita tentang kecelakaan yang baru saja dilihatnya. Suaranya berapi-api, mulutnya berbusa-busa.
“Kepalanya kayaknya pecah, deh.”
“Mati?” tanya Murni yang sedang membeli sayur lodeh.
“Tentu saja mati, kalau hidup mau pakai kepala siapa?”
“Laki apa perempuan?” tanya Narti sambil membayar nasi bungkusnya.
“Kayaknya perempuan, deh! Aku hanya melihat sekilas, tak berani mendekat. Darahnya berceceran di mana-mana. Hih, ngeri!”
”Kabarnya orang mana?” kali ini yang bertanya Bu Solo.
“Tahu, tapi tadi ada yang ngomong sedang keluar dari gang ini. Nyelonong tiba-tiba. Terus mobil yang sedang melaju kencang itu menghantam tubuhnya.”
Linda terus mengangkat jemurannya, sudah garing seperti kerupuk kering. Dia tak mempedulikan pembicaraan itu, bukan urusannya. Semua juga bakal mati nantinya. Kalau sudah jatahnya mati, ya pasti mati. Yang berbeda hanya waktu, tempat, dan caranya. Dia sedang mempunyai urusan sendiri, banyak sekali. Rudi atau siapa pun nama asli orang itu belum ada kabarnya. Sudah dua hari ini dia tidak pulang.
“Lin, Sipon di rumah, kan?”
“Ada, Bu Solo. Tuh, di dalam.”
“Syukurlah kalau begitu. Sejak pakai papan beroda, anak itu makin jauh mainnya.”
Linda meneruskan mengangkat jemurannya. Mukanya cemberut. Kemarin Bu Solo bertanya tentang suara gaduh yang terdengar sampai di rumahnya itu, dan dijawabnya sekadarnya. Tidak semua urusannya perlu diketahui oleh tetangga, terlebih lagi yang satu itu.
Tukang kredit pakaian pembawa berita kecelakaan itu masih di depan warung Bu Solo. Kali ini dia berbicara berbisik-bisik. Beberapa kali dia menoleh ke arah Linda yang terus sibuk mengurusi jemurannya.
“Lin, bener Sipon di dalam? Soalnya kata Mbak ini, ditemukan papan beroda di dekat mayat itu!” Bu Solo kembali berseru.
“Ada, Bu. Sipon sedang ma....”
Linda tak meneruskan ucapannya. Aliran darahnya seakan-akan terhenti. Tadi dia sengaja tidak memakaikan rantai pada kaki Sipon. Maksudnya, agar anak itu bisa makan sendiri, tidak perlu disuapi, sementara dia bisa mengerjakan yang lainnya. Gegas Linda melemparkan pakaian di tangannya ke dalam ember, lalu memasuki rumah. Jantungnya berdetak lebih cepat daripada biasanya. Sipon tak ada di ruang tengah. Di kamar tidur, anak itu juga tidak ada. Linda segera mencarinya di dapur, kamar mandi.... Seketika Linda pucat pasi. Sipon tidak ada di mana-mana. Jangan-jangan?
Linda berkelebat, secepatnya lari ke jalan raya, tanpa alas kaki, sementara Ibu Solo dan dua orang itu hanya memandanginya. Linda terus berlari, tak peduli napasnya terengah-engah. Cerita tukang kredit pakaian itu terngiang lagi. Sipon boleh di mana saja, dan sedang melakukan apa saja, asalkan bukan di trotoar itu, tergeletak sebagai orang yang sudah mati.
Tak sampai lima menit, Linda sudah sampai di mulut gang. Napasnya terengah-engah, keringatnya membanjir. Tak jauh dari tiang telepon, orang-orang itu tampak sedang bergerombol, merubung sesuatu. Jantung Linda berdetak sekencang angin tornado, sementara pikirannya berputar sepesat gasing. Dia segera mendekati kerumunan itu, menyibaknya, dan menjulurkan lehernya.
Seumpama onggokan pakaian basah di pojokan kamar mandi, tubuh itu tergeletak tak berdaya di pinggir jalan raya. Kedua kaki itu terlipat tak wajar, patah di beberapa bagian. Lengan kanannya terkelupas, menampakkan daging putih yang berbalut darah yang kemerah-merahan. Potongan tulang bahu itu mencuat, menjembul, menembus kulit, mengoyak kaos yang bergambar Putri Cinderela. Darah mengenangi aspal, dan mengucur deras dari bagian kepala. Linda langsung menghambur, meraung-raung, dan berteriak histeris.
“Pon, Sipon! O alah, Nak. Anakku!” serunya.
Sambil menyeru-nyeru Linda bersimpuh di dekat tubuh Sipon yang tampak tak bergerak-gerak itu. Bibir Linda bergetar-getar, tubuhnya gemetar, dan dia terus memanggil-manggil nama anaknya.
“Pon, Sipon. Bangun, Nak. Ini Ibu, Nak! Bangun!”
Tiba-tiba Sipon membuka matanya. Suara sang ibu itu seolah-olah obat yang paling mujarab, bahkan bagi orang yang sedang sekarat sekali pun. Napas Sipon terdengar tersengal-sengal, dadanya naik turun tak beraturan. Sesaat kemudian dia memperdengarkan suaranya yang lirih, sayup, dan menyelinap di antara bising jalan raya. Linda segera menyibakkan rambut yang sedang menutupi wajah Sipon itu, tak peduli tangannya basah oleh darah. Secercah harapan menyeruak di tengah-tengah asanya yang hanya setipis kulit ari. Dilihatnya Sipon membuka matanya, dan bersuara; Linda segera memasang telinganya.