LUKA MEMELUK LUNA

essa amalia khairina
Chapter #1

BAB : PROLOG

Sorot mentari semakin menampakkan sinarnya. Melelehkan embun yang menghiasi langit biru menjadi bulir lembut yang turun ke permukaan, hingga jalanan yang di lalui perlahan basah dan menimbulkan aroma bau tanah yang khas.

Usai memasuki area perkebunan teh hijau di kota Malang, mobil yang di kendarainya semakin menerobos masuk lebih dalam ke sebuah desa yang menghadirkan suasana asri dan sejuk yang amat jauh dari polusi.

"Halo, Pa?" Ucap lelaki berusia dua puluh sembilan tahun itu sembari membanting setirnya setelah mengambil salah satu persimpangan jalan yang ada di depannya. "Adit udah tiba di Desa yang Papa kirim alamatnya kemarin. Adit juga tadi udah lewat gerbang utama di desa ini."

"Syukurlah. Apa kamu sudah masuk perkebunan?"

"Belum si pa. Tapi kayaknya Adit udah lihat perkebunan teh di depan."

"Kalau kamu ketemu warga setempat, tanyakan perihal Pak Indra. Mereka pasti tahu tentang beliau. Pak Indra adalah orang yang mengelola perkebunan teh milik kita selama ini. Beliau juga yang merawat Vila kita."

"Iya, Pa. Nanti Adit coba untuk tanya ke warga sekitar perihal rumah Pak Indra. Kalau gitu... Adit tutup dulu ya, Pa. Nanti Adit..."

Beeeeeep...!!

Adit melepaskan AirPods-nya lalu segera beringsut turun dari mobilnya ketika dirinya dengan tanpa sengaja menabrak sesuatu di depannya.

Adit melihat seorang wanita terjatuh di depan mobilnya. Wanita berkulit kuning langsat itu segera mengambil benda tipis yang hancur terlindas oleh ban mobilnya.

"Ponsel saya." Ucap wanita tersebut sembari memperlihatkannya kepada Adit. "Mas harus tanggungjawab ponsel saya rusak karena Mas."

Adit mendesis pahit sambil bercekak pinggang. sorot matanya menatap tajam wajah tirus wanita yang ada di hadapannya. "Apa kamu bilang? Tanggungjawab? Sekarang saya tanya sama kamu... Yang salah di sini siapa? Kenapa kamu nyebrang gitu aja tanpa lihat ada mobil di depan?! Oh... Atau kamu sengaja nabrak diri kamu untuk meras saya, iya?!"

"Saya gak ada niatan untuk melakukan itu, Mas. Jelas-jelas Mas sendiri yang nabrak saya."

Adit menggeleng tegas. "Pokoknya saya gak mau tanggungjawab karena itu semua... Bukan kesalahan saya! Handphone kamu rusak, itu semua karena kerecobohan kamu, bukan saya. Paham?!"

"Mas, tunggu!" Wanita itu mengejar, sesaat Adit kembali masuk ke dalam mobilnya. "Mas bagaimana dengan ponsel saya?!"

Tanpa peduli, Adit segera menarik tuas persneling lalu menancapkan pedal gas mobilnya melaju kencang hingga menghilang dari pandangan.

***************

Hari semakin siang. Para pekerja pemetik pucuk teh yang tak lain masih warga setempat di desa ini meninggalkan kebun sesaat pria berusia kurang lebih empat puluh tahun itu menghalau mereka untuk datang mendekati sebuah pendopo berbahan kayu jati.

Aluna alias Luna yang sama-sama bekerja sebagai pemetik pucuk teh dan masih sibuk memikirkan ponselnya yang hancur terlindas mobil asing tadi pagi, ia memasukan benda tipis berharganya itu ke dalam saku skirt dan membelah kerumunan hingga dirinya berhasil berada di paling depan menatap Pak Indra yang mulai bicara di depan.

Usai mengucapkan salam, Pak Indra memperkenalkan seorang lelaki yang berdiri tegap di sebelahnya. Usianya mungkin tak begitu jauh dengan usia Aluna. Berbalut kemeja putih dan celana katun abu, lelaki itu nampak berkharisma dengan tatanan rambutnya yang di klimis sempurna, sehingga memperlihatkan rahangnya yang semakin tajam.

Kata Pak Indra, lelaki itu bernama Aditya Mahendra Putra Wicitrawirya, atau sering di panggil Adit. Ia adalah putra dari pemilik perkebunan teh yang memiliki lahan paling luas di desa ini.

keluarganya telah mempercayai Pak Indra untuk mengelola salah satu aset yang katanya akan menjadi milik utuh lelaki tersebut. Dengan penuh kehangatan, lelaki itu mulai memperkenalkan dirinya di depan semua pekerjanya, termasuk Aluna

Ya. Kedua mata mereka sempat bertemu. Perlahan, pikiran Aluna memutar alur beberapa jam yang lalu. Bulat bola matanya mulai mengingat-ingat peristiwa yang menimpanya tadi pagi. Lelaki yang masih bicara hangat di depan warga ternyata lelaki angkuh dan sombong yang telah menghancurkan ponselnya hingga kini membuatnya terus berpikir tentang bagaimana bisa ia harus mendapatkan lagi ponselnya utuh seperti semula.

"Vila yang ada di persimpangan jalan kedua utara tadi ialah Vila milik keluarga saya." Sambung Adit. "Mungkin sehari ini saya akan bermalam di Vila saya dan kalau Bapak Ibu ada keperluan kepada saya... Silahkan untuk menemui saya disana."

"Aku harus kesana!" Gumam Aluna.

"Mau ngapain kamu kesana?!" Tukas Disa yang tanpa sengaja mendengarnya. Sambil melipatkan kedua lengan di bawah dada, wanita yang usianya sebaya dengan Aluna dan sama-sama pekerja pemetik pucuk teh itu menatap Aluna dari atas kepala hingga ujung kaki. "Kamu mau ngincar Mas-Mas kota lagi?"

Aluna tertegun.

"Lun. Kamu sadar gak si? Harusnya kamu ngaca kalau kamu itu gak pantas ngedapetin laki-laki kota seperti Mas Adit yang ada di hadapan kita sekarang!"

"Maaf, Disa. Tapi kalau kamu gak tahu alasan aku untuk nemuin dia sekarang untuk apa... Lebih baik kamu gak perlu ikut campur urusan aku." Tandas Aluna mengulum kegetiran.

Pasalnya, Disa ialah tipikal wanita yang mungkin amat sangat membenci Aluna, entah karena alasan apa. Sejak Aluna pindah kemari bersama mendiang Bik Darsih, ia mengira bahwa Disa adalah seseorang yang bisa di jadikan sahabat. namun seiring berjalannya waktu, sifat asli wanita itu mulai nampak. Tak hanya mulut ember dengan semua perkataannya yang di buat-buat, Disa adalah wanita yang cukup berbahaya bagi Aluna. Apalagi, sejak Disa memfitnah Aluna jika kematian Bik Darsih di sebabkan olehnya. Sejak itu, Aluna lebih berhati-hati serta berjaga jarak. Dan sialnya, hari ini Disa tahu rencana yang akan di lakukannya sekarang.

Haruskah Luna mengubah rencananya atau melupakannya begitu saja? Tetapi sungguh, ia tak ingin membiarkan ponselnya hilang begitu saja. Ponsel yang dimilikinya itu bukan saja berguna, namun sangat amat berharga baginya. Apapun yang terjadi, ponselku harus tetap kembali!

****************

Usai mengontrol perkebunan sesuai permintaan sang Ayah sambil berbincang dengan Pak Indra perihal perkembangan panen kebun teh selama ini, akhirnya Adit tiba di Vila. Ia menjatuhkan tubuhnya ke badan sofa sembari membuka beberapa kancing kemeja, menghalau rasa gerah yang membalutinya.

Dalam satu tarikan napas, ponselnya bergetar. Adit merogoh benda tipis itu dari dalam saku celananya dan mendapati sebuah panggilan. "Halo?" Ucapnya sesaat Ia menyentuh ikon hijau ke atas.

"Sayang, kamu kemana aja, si?"

Adit menepuk jidat. "Sayang maafin aku, ya. Aku lupa ngabarin kalau hari ini aku lagi di Malang."

Lihat selengkapnya