Sejak tadi pagi, langit tampak mendung. Sorot mentari sesekali kembali bersembunyi di balik awan yang nampak kelabu, menghadirkan rasa suwung dan tiupan angin pertanda hujan akan segera turun.
Mula-mula, rintik kecil menebarkan bau tanah yang basah. Kemudian, Luna memeluk dirinya menghalau dingin yang menusuk pori-pori kulitnya.
Lima belas menit menunggu di depan sebuah koridor kelas, ia melihat sang guru kali pertama keluar kelas. Hatinya melega saat para murid keluar satu per satu. Bulat bola mata Luna membaurkan pandangannya mencari seseorang yang sedari tadi ia tunggu.
Zaki menoleh saat mendapati gadis itu melambaikan-lambaikan tangannya ke udara. Lalu, ia bergerak mendekatinya. "Hey, Lun. Kamu belum pulang?"
Luna menggeleng. "Aku mau bicara sesuatu sama kamu."
Zaki menatap langit saat hujan mulai turun membawa kawanannya.
"Aku...." Luna tertegun. "Ini perihal Ayahku yang-"
"Lun. Kamu gak bawa jaket?" Sambar Zaki. Ia melepaskan jaket hitam yang tergantung di bagpack nya lalu ia berikan kepada Luna. "Pakailah. Kamu pasti lagi lawan dingin, ya?"
Luna memgangguk. Ia tak dapat mengelak dirinya sendiri yang sedari tadi tengah bergelut dengan hawa dingin menyelimuti tubuhnya. Ia segera mengambil jaket Zaki dan segera mengenakannya. Tercium aroma khas yang mungkin berasal dari parfum yang di kenakan lelaki itu.
"Perihal Ayahmu. Lupakan saja. Semua baik-baik saja." Ungkap Zaki.
"Sungguh?"
Zaki mengangguk tanpa suara, meski memang perkataannya tadi malam cukup menyakitkan. Namun, hal itu membuat Zaki sadar apa yang harus di lakukannya. Mungkin tak akan jauh, seperti itulah cara Ferdi mendidik Luna. Apalagi Luna ialah anak satu-satunya yang pasti begitu sangat berharga bagi mereka. Batin Zaki.
"Tapi aku merasa... Gak enak aja sama kamu. Aku minta maaf atas Ayahku."
Zaki mendesis sembari melipatkan kedua lengannya di bawah dada. "Hmmm... Gimana kalau permintaan maafnya aku antar kamu pulang?"
"Naik motor? Hujan-hujanan?"
Zaki mengangguk. "Kenapa? Takut hujan?"
"Eng-Enggak. Bukan gitu. Aku..."
"Kedinginan?"
Luna bergeming.
"Seru tahu, main hujan itu buat kita lebih bersahabat dengan alam." Lanjut Zaki. "Mau mencobanya?"
Luna masih membisu. Detik berikutnya, ia mengangguk. Ragu.
***************
Bik Darsih tiada henti mondar-mandir di tempatnya dengan seraut wajah cemas dan gelisah saat hujan masih saja turun dengan deras dan Luna belum saja kembali pulang.
Usai Ferdi berangkat ke kantornya, Vania mendapat telepon yang mengharuskan dirinya segera menyusul Ferdi kesana. Tak lama, Bik Darsih mendapat kabar dari kedua majikannya itu untuk menjaga Luna selama mereka pergi.
Ini tak sekali dua kali terjadi. Tapi kali ini, seolah ada sesuatu yang janggal. Perasaannya tak enak, entah apa yang akan terjadi.
Selanjutnya, terdengar derum suara motor masuk ke dalam pekarangan rumah. Memancing, Bik Darsih bergerak cepat membuka pintu rumah lalu mendapati Luna dalam kondisi basah kuyup.
"Ya-Ya ampun, Non. Non hujan-hujanan?!"
Luna tertawa menatap Zaki yang sama-sama mengekspresikan hal serupa. "Bik. Ternyata main hujan itu seru tahu. Iya kan, Mas?"
Zaki mengangguk.
"Ya ampun. Tapi kan Non punya riwayat..."