Suara ketukan pintu rumah membuat Luna bergerak keluar kamar. Ia membuka pintu dengan lebar dan mendapati seseorang telah berdiri tegap di hadapannya.
Matahari belum terlalu siang, lukisan embun masih menyelimuti langit. Dan, Zaki telah datang dengan segurat senyum menyapa. Tak hanya itu, dengan riangnya, ia memperlihatkan selembar kertas berukuran A4 itu kepada Luna. "Aku lulus sidang dan dapat beasiswa S2 di Amerika!"
Glek!
Luna tertegun. Ia ikut bahagia karena apa yang selama ini diharapkan oleh Zaki akhirnya dapat terwujud, namun sebagian ruang hatinya menyimpan rasa kesedihan yang berusaha di sembunyikannya.
Kalau Zaki menerima beasiswa tersebut, itu artinya lelaki itu akan pergi meninggalkan dirinya, meski hanya untuk sementara waktu. Namun, rasanya kehilangan itu ialah sesuatu hal yang paling menyakitkan dari patah hati. Batin Luna tersenyum getir menatap Zaki.
"Luna, kamu kenapa?" Tanya Zaki menatap lurus kekasihnya. "Kamu gak suka ya mendengar berita ini?"
"Aku ikut senang." Geleng Luna. "Selamat ya, Mas. Tapi..."
Luna tak ingin merasakan kehilangan untuk yang kesekian kalinya. Ya. Semenjak kedua orangtuanya tiada karena kecelakaan pesawat yang terjadi beberapa tahun silam, Luna tak memiliki siapapun selain Bik Darsih.
Usai semua harta milik Ayahnya di sita oleh pihak Bank, Bik Darsih membawa Luna untuk tinggal bersamanya di desa kampung asal wanita itu tinggal.
Bik Darsih yang saat itu tak memiliki siapapun, telah menganggap Luna seperti anak kandungnya sendiri. Begitu pun Luna, tak ada seorang pun yang ia miliki selain wanita yang tak lama ikut berpulang meninggalkannya hidup sebatang kara.
Sejak itu, Luna sangat terpukul. Hatinya hancur karena takdir kembali membuat dirinya harus merasakan kehilangan orang yang di sayang. Meski ia sadari bahwa apa yang di genggamnya saat itu takkan selamanya ia miliki, namun rasanya begitu cepat.
Cukup lama dengan kesendiriannya, Luna yang di anggap sebagai anak manja, perlahan dirinya terbiasa hidup mandiri tanpa mengandalkan siapapun kecuali dirinya sendiri. Hingga suatu saat, takdir kembali mempertemukannya kembali dengan Zaki, sosok yang telah lama hilang dan selama ini ia rindukan. Sesungguhnya, semenjak semua harta milik sang Ayah di sita termasuk ponsel miliknya, Luna kehilangan jejak dan memulai semuanya benar-benar dari nol. Seperti bayi yang baru lahir ke dunia. Asing.
Setelah takdir mempertemukan mereka kembali, haruskah Luna merasakan lagi arti kehilangan? Batinnya. Sungguh, tak ada yang ikhlas dengan yang namanya kehilangan. Memang, berawal dari terpaksa dan lambat laun terbiasa. Namun, hal itu tak ingin lagi Luna rasakan setelah banyak cukup orang-orang yang di sayanginya pergi.
"Kamu percaya takdir?" Lanjut Zaki. "Kamu ingat pada saat kita berpisah cukup lama, hingga akhirnya kita kembali di pertemukan?"
Hening.
"Apa ada yang berubah dari kamu ataupun aku?" Zaki berusaha mengunci wajah Luna. "Percayalah, semua akan kembali sama seperti saat kita bertemu dulu."
Luna masih bisu seribu bahasa.
"Untuk kamu." Lanjut Zaki memberikan sebuah paper bag kecil berwarna hijau kepada Luna. "Ponsel ini yang akan selalu menjaga hubungan kita, meski aku ada di luar sana. Aku akan selalu kabari kamu dan jangan sampai aku... Ataupun kamu kehilangan jejak lagi." Jelasnya. "Aku gak bisa menjanjikan hal apapun untuk mempertahankan yang aku miliki saat ini. Tapi aku akan berusaha semampu aku untuk mempertahankan apa yang aku miliki. Termasuk kamu. Aku akan kembali. Semua ini aku lakukan untuk kamu. Tunggu aku pulang ya."
Apakah ini kalimat perpisahan? Batin Luna. Aku bukannya gak percaya, Mas. Tapi aku takut. Aku takut apa yang kamu ucapkan sekarang tak sesuai dengan apa yang akan terjadi di masa depan nanti.
Asal kamu tahu... Yang paling menyakitkan itu bukan lagi orang yang kita cintai pergi. Tapi orang yang mencintai kita dengan tulus dan telah mengajarkan kita banyak hal harus pergi karena takdir maupun suatu keadaan. Meski suatu saat di pastikan akan kembali, aku takut perasaan itu tak lagi sama, Mas.
"Kenapa kamu jadi diam saja? Kamu gak rela aku pergi?" Desak Zaki dengan lembut
Luna menggeleng. "Jaga diri kamu baik-baik."
"Pasti."
Seolah kehilangan kata. Luna tertunduk lagi dengan tatapan kosongnya dan rasa ketidakpercayaannya...
"Lusa aku akan segera pergi." Zaki menangkup leher jenjang Luna. "Setelah aku menyelesaikan studyku disana. Aku akan kembali. Tunggu aku!"
**************
"Kamu mau makan apa?"
"Apa aja."
Zaki tersenyum getir menatap Luna yang tiba-tiba menjadi pendiam usai menginformasikan bahwa ia menerima beasiswa itu di Amerika.
Di sisi lain, Luna tak ingin dirinya egois. Ada banyak hal yang ingin Zaki capai selain masa depannya utuh bersamanya. Namun, kekhawatiran itu seolah tak bisa ia tutupi rapat-rapat. Sesekali, bola matanya berkaca-kaca seakan menyembunyikan sesuatu di dalam sana.
Zaki tahu apa yang Luna rasakan. Ia kemudian bergerak dari kursi dan membuat tatapan kosong Luna mulai menatap wajahnya. "Pesan makanannya di bungkus aja. Gimana kalau burger sama kentang goreng aja? Lalu kita cari tempat makan terbuka, di taman atau suasana hijau yang buat perasaan kita jauh lebih baik. Gimana?"
Luna hanya mengangguk tanpa suara. Memancing, lelaki itu mulai berjalan menuju kasir.