LUKA MEMELUK LUNA

essa amalia khairina
Chapter #6

AWAL

Surya, saya mohon titip Luna padamu. Dia adalah gadis yang sangat saya cintai. Saya ingin... Perjodohan Luna dan Adit bukanlah sebuah candaan yang pernah kita sepakati bersama dulu.

Saya Surya Cipto Wicitrawirya. Kamu bisa panggil saya Om Surya. Om ini adalah teman lama Ayah kamu. Bahkan, hubungan kami ini sudah seperti saudara dekat. Ayahmu sudah banyak membantu Om dulu hingga Om merasa berhutang budi ingin menuruti keinginan terakhirnya. Om sudah mencari kamu kemana-mana. 

Luna. Ayahmu atas kasus suap aset perusahaan tidaklah bersalah. Semua itu fitnah. Saat itu, Om sedang ada di Semarang. Ayahmu hendak menemui Om di sana, namun sayangnya...

Om merasa sangat. Sangat bersalah. 

Dan sebagai rasa bersalah Om yang teramat dalam, Om ingin mengabulkan permintaan Ayahmu juga. Untuk merawat kamu. Bukan hanya menganggap kamu sebagai anak Om. Tapi juga sebagai istri dari anak Om. Aditya.

Di samping fitnah warga desa yang mengharuskan Luna untuk menikah dengan Adit dan mengusirnya dari tempat tersebut, permintaan terakhir Ferdi akhirnya dapat terwujud. 

Dulu, Ferdi pernah berkata kepadanya bahwa ia harus menikah dengan lelaki pilihannya. Mungkin lelaki yang di maksud itu ialah Adit. Batin Luna. Sosok lelaki yang kini tengah duduk di sampingnya. 

Dengan tatapan kosongnya, Luna hanya menatap pemandangan yang terlewati dari balik kaca jendela mobil milik Surya. Pikirannya masih terus melayang berbalut air mata yang berusaha di sembunyikannya sambil mengutuk diri... 

Bagaimana dengan Zaki? 

Semua ini karena nya sendiri. 

Andai saja waktu itu ia mengikhlaskan ponsel Zaki rusak oleh Adit, dan menunggu lelaki itu kembali datang. Mungkin saja Zaki dapat menerima alasan tersebut. 

Kini, situasinya berbeda. Semua sudah terlanjur dengan semua rasa penyesalan. Menghabiskan beberapa jam di perjalanan, akhirnya Luna tiba di kota Bandung, tempat ia tinggal dulu. 

Semua kenangan yang pernah tersimpan dulu di sini, mengingatkan ia kepada sosok Zaki. Termasuk, pada saat mobil menuju rumah Surya sempat melewati bangunan sekolah tempat dulu mereka belajar dan pernah bersama-sama. Luna menyeka kelopak matanya kasar yang basah tak tertahan. 

Kemudian, Mobil Surya mulai memasuki sebuah komplek rumah yang tak jauh dari pusat kota. Berjajar rumah-rumah elit dengan bangunan bertingkat besar dan mewah di bahu kiri dan kanan jalan. Kemudian, terdengar bunyi lampu sen dan sang supir membanting setirnya ke kanan, menuju sebuah rumah bertingkat klasik modern dengan pekarangan rumah yang amat luas.

"Akhirnya kita tiba di rumah." Ucap Surya menoleh ke belakang, menatap keduanya. Adit yang sedari tadi sama-sama bisu, lebih dulu keluar dari mobil. "Luna. Ini rumah Om. Semoga kamu betah tinggal di rumah Om. Maafkan sikap Adit yang dingin, awalnya akan seperti itu. Tapi, lama-lama kalian akan terbiasa dan saling memahami."

"Iya, Om." Angguk Luna dengan lirih. Ia mulai beringsut turun sesaat Surya keluar dari mobilnya.

Sayu bola mata Luna menyapu ke sekeliling. Rumah Surya sangat luas dari rumah milik sang Ayah dulu. Bangunannya berlapis cat hitam putih dengan beberapa pohon bonsai tertancap apik menghiasi pekarangan rumah yang di selimuti rumput gajah mini, bak lapangan golf itu. 

Surya mulai mengajak Luna lebih dekat ke rumahnya. Tak lama, muncul seorang wanita berparas awet muda dan cantik dari ambang pintu. 

Wanita itu usianya tak jauh beda dengan usia Vania, jika Ibunya masih ada. Batin Luna saat wanita itu berhasil menangkap wajahnya. Dengan riasan Make-Up yang glamour, perhiasan mewah di setiap titik tubuh sinyalnya dan menebarkan aroma parfum bunga yang hangat, sudah jelas bahwa istri Surya bukan kalangan dari wanita biasa. 

"Ini siapa, Mas?" Tanya Lidya. 

"Mah, ini Luna. Anak Ferdi. Dan, Luna. Kenalkan... Ini Tante Lidya. Istri Om."

Luna membungkukan setengah tubuhnya di hadapan Lidya sembari mencium punggung jemari setengah keriput itu. "Sa-Saya Luna, Tante."

"Luna akan tinggal bersama kita. Dia juga..." Surya menatap Adit. "Sudah menjadi istri anak kita."

Lidya tersentak hebat. Bak di sambar petir di siang bolong. Jemari-jemari lentiknya menutup bibir yang terbuka lebar di sertai gelengan kuat di kepala. Tubuh Lidya melemas seolah hilang keseimbangan. 

"Ma." Adit sigap menahan tubuh Ibunya. "Mama baik-baik aja?"

"Adit. Apa yang di katakan Papa kamu itu benar?"

Lihat selengkapnya