Zaki duduk di tepi sudut kamar. Menatap fotonya bersama Luna. Kelopak matanya berkaca dan basah. Tak menyangka, lelaki kuat seperti Zaki bisa menangis dalam diam meratapi kekecewaannya terhadap Luna.
"Apa yang aku lakukan salah, Luna?" Katanya pada diri sendiri. "Mengapa kamu memilih kakakku?"
Zaki tertunduk. Air matanya lagi-lagi jatuh ke bingkai. Dia merasa kehilangan segalanya. Cinta, kepercayaan, dan harapan. "Ternyata, aku hanya sampingan." Gumamnya. "Aku yang menunggu dan berjuang, tapi semuanya tak berharga."
Zaki beranjak dari sofa. Ia bergerak menuju kamar mandi. Menatap dirinya dari balik cermin.
Suara napasnya berat, ia berusaha menenangkan diri namun tak bisa. "Kenapa kamu tidak jujur dari awal, Luna... Kalau tahu aku hanya sampingan. Apa aku harus melupakan kamu? Terlalu banyak hal yang sulit aku lupakan darimu."
Kenapa Luna?
Begitu banyak hal yang manis kita lalui bersama, yang telah aku anggap hal itu adalah hal berharga yang harus kita perjuangkan bersama. Apa aku yang bodoh?
Zaki menelan pahit...
"Aaaaaaaaahhhhh....!" Teriak Zaki memukul cermin dengan tinjunya, pecahan kaca berhamburan. "Aku tidak terima dengan semua yang kamu lakukan! Aku tidak bisa melupakan kamu, Luna!"
"Aaaaaaaah....!!" Darah mengalir dari tinjunya. Namun, Zaki tidak merasa sakit. Yang ada hanya kesedihan dan kekecewaan.
Zaki mengambil napas dalam-dalam. Lagi, ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Kemudian, ia membasuh wajahnya dengan air dingin. "Aku harus melupakan kamu, Luna. Aku... Harus... Melupakan KAMUUU..... AAAAAAAAH....!!"
Zaki melemas. Ia terjatuh dan terduduk di lantai kamar mandi, menatap pecahan cermin. Ia merasa lelah dan kosong.
Detik berikutnya, lelaki itu membiarkan emosinya mereda dan mulai memikirkan langkah selanjutnya untuk melupakan Luna.
**************
Cahaya lampu lembut menerangi ruangan. Luna duduk di tepi tempat tidur, menatap kalung yang pernah Zaki berikan untuknya.
Ia terjebak dalam perasaan ini. Kekhawatiran bahwa Zaki tidak akan memahami keputusannya ternyata terjadi saat ini.
Air matanya tiada henti mengalir deras menyesali setiap kejadian yang telah terjadi.
"Kenapa kamu gak beri aku kesempatan untuk bicara?" Gumamnya, nyaris tanpa suara. "Rasa cemburu dan kekecewaan itu telah mengurungmu, meski aku tahu hal itu akan terjadi. Tapi aku mohon, Mas. Sungguh, ini bukan cinta atau keinginan. Ini tentang keharusan dan kewajiban yang tak bisa aku hindari."