Zaki terjebak dalam badai emosi yang mencekam. Kesedihan dan kekecewaan menghantamnya seperti ombak ganas. Ia merasa terbelah antara harapan dan kenyataan. Meski berusaha keras tuk melupakan, tapi cintanya terhadap Luna masih terpendam.
Hari ini matahari tak begitu bersinar terang. Dari balik kaca jendela mobil yang dikemudikannya, setengah lamunan Zaki memikirkan Luna, ia bertanya-tanya, "Mengapa Luna memilih Adit?" dan "Apa yang kurang dari diriku?" Pertanyaan itu terus menghantui, membuatnya sulit tidur dan fokus.
Kesedihan yang mendalam itu mengubahnya menjadi pribadi yang pendiam dan terisolasi.
Rencana awal setelah menyelesaikan study S2 di Amerika, Zaki merasa kehilangan arah dan tujuan hidupnya untuk segera menikahi Luna, akhirnya kandas. Semua itu tinggal kenangan yang mau tak mau harus ia lupakan.
Beeeeep!!
Zaki yang terus berjalan tanpa memperhatikan sekitarnya dan pikirannya terpaku pada segudang tentang Luna, tiba-tiba ia tak sengaja menabrak seorang wanita yang menyebrang melewatinya hingga wanita itu terjatuh drngan barang bawaannya berserakan. Zaki terkejut, ia segera beringsut turun dari mobil dan menolong wanita itu untuk berdiri. Wanita yang mungkin usianya tak begitu jauh darinya itu menggeleng seolah baik-baik saja.
Zaki melihat ada luka di bawah lutut kakinya. Ia merasa bersalah atas kelalaiannya. Kemudian, kedua mata mereka saling bertemu, seolah oase di tengah gurun kesedihan Zaki...
Wanita itu memiliki senyum yang menawan dan mata coklat yang berkilau. Rambutnya tergerai panjang, bergelombang lembut dengan balutan Wrap dress putih yang pas di tubuh idealnya.
"Ma-Maaf atas kejadian ini." Ucap Zaki kemudian.
"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja." Jawab wanita itu dengan senyuman. Aku tidak bisa percaya ini terjadi!
"Tapi, luka di kakimu..."
"Hanya luka kecil saja." Wanita itu menebarkan lagi senyum manisnya, kali ini dengan uluran tangan. "Aku Tania."
Zaki bersambut sedikit ragu. "Zaki. Zaki Pradipta."
Tak lama, ponsel Zaki bergetar. Ia mendapati sebuah panggilan masuk dari seseorang. Papa. Batinnya saat mendapati benda tipis itu dari balik tuxedo hitam yang di kenakannya. "Halo, Pa?"
"Zaki, kamu masih dimana?"
"A-Aku masih di jalan, Pa. Sebentar lagi aku sampai kantor."
"Beberapa karyawan sudah mulai berdatangan. Tunjukkan kesan baik kamu di hari pertama bekerja. Apalagi kamu itu pemegang salah satu divisi penting di perusahaan Papa. Jangan buat Papa malu."
"Maaf, Pa. Jalanan sedikit macet. A-Aku akan berusaha untuk segera kesana."
"Papa tunggu."
Tuuuut.
"Kenapa kamu bohongin Papa kamu sendiri?" Sela Tania. "Kenapa kamu gak bilang aja habis nabrak aku?"
Zaki menggeleng. "Maaf, aku... Aku harus segera pergi. Tapi lukamu..."
Tania menggeleng. "Aku baik-baik aja."
"Tapi..."
"Begini, saja." Tania merampas ponsel itu dari pemiliknya. Jemarinya menari di atas layar dan tak lama dikembalikannya. "Kamu bisa hubungi aku kalau masih khawatir pada lukaku, dan aku akan mengabarimu kalau terjadi sesuatu padaku."
Zaki mengangguk setuju.
***************
Luna mematung di balkon kamarnya, menatap langit yang begitu gelap seperti hatinya sekarang. Kesedihannya tak terhenti. Ia merasa kehilangan bagian dari dirinya semenjak takdir mempertemukannya kembali dengan Zaki yang benar-benar telah merasa kecewa olehnya.
Pergulatan batin untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri untuk menerima Adit sepenuhnya, terhalang oleh rasa cintanya kepada Zaki.
Ia benar-benar terjebak antara cinta dan kewajiban. Luna memejamkan mata, hanyut dalam kesedihan dan bayang-bayang Zaki yang terus menghantui pikirannya.
Zaki memang tidak pernah main-main dengan apapun yang diucapkannya. Sekalipun yang pernyataan yang terlontar berbalut emosi, namun lelaki itu sadar atas apa yang dikatakannya.
Dalam beberapa kesempatan, Luna menemui Zaki, ia mencoba untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi tentang pernikahannya dengan Adit. Tetapi, Zaki seolah tak lagi peduli. Hatinya yang telah kecewa, sungguh membuat Luna sulit tuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.