LUKA MEMELUK LUNA

essa amalia khairina
Chapter #17

SEKOTAK MAKAN SIANG TAK BERARTI

Lambat laun, Luna mulai terbiasa menjalani hari dengan luka dan kesedihan. Melihat kehidupan Zaki bersama Tania yang sama-sama tinggal bersama mereka, menghadapi sikap Adit yang masih dingin padanya. 

Surya sengaja membangun rumah besar dan mewah dengan segala fasilitas lengkap, agar anak-anak mereka nanti dapat berkumpul setiap hari. Maka, permintaan Tania untuk menginginkan rumah tidak bisa Zaki penuhi. Alih-alih agar dirinya bisa selalu bersama Luna, meski hati tak lagi sama.

Bersama Adit, perlahan Luna menemukan secercah harapan baru meski semua yang di laluinya amat sulit. Sikap Adit yang kasar, cuek, beku, tidak peduli bahkan menunjukkan kebencian di depan Luna itu telah ia anggap sebagai karakter yang memang di miliki Adit. 

Begitu juga dengan Lidya. Kasih sayangnya terhadap Tania jauh lebih banyak dibandingkan dengannya. Merasa memiliki selera yang sama, Lidya begitu mengagung-agungkan Tania sebagai anak menantu yang sempurna. Sementara, Luna. Ia masih di anggap seperti seorang budak meski tahu bahwa dirinya anak Ferdi, sahabat lamanya dulu. Sampai sekarang, Luna belum mengerti mengapa bisa Lidya begitu sangat membenci dirinya.

Luna terus berjuang melawan kesedihan dan kekecewaan. Meskipun hidupnya penuh luka, dia menemukan kekuatan untuk terus maju. Dia berharap suatu hari nanti, hidupnya akan berubah menjadi lebih baik.

Siang itu, mata Lidya masih terus menyapu ke setiap penjuru. Ia mencari keberadaan Luna yang tak nampak dimana-mana.

Mendengar teriakan majikannya, Mbok Tuti satu-satunya orang yang mengerti dan peduli terhadap Luna, segera mendekat. "No-Non Luna tadi ijin pergi, Buk."

Mata Lidya menyisir curiga. "Pergi kemana?!"

"A-Anu." Bik Tuti memutar otaknya. Pasalnya, siang tadi Luna ijin pergi untuk mengirimkan sekotak makan siang ke kantor Adit. Luna sangat memohon kepada Bik Tuti agar merahasiakan hal ini dari Lidya. Entah alasan apa sampai sekarang ini, Lidya tak pernah ingin Luna datang kesana. 

"Bik!" Lidya memecah kegamangan wanita tua di hadapannya. "Bik Tuti kok bengong? Ada sesuatu yang Bibik rahasiakan dari saya?!"

Lidya semakin curiga, matanya menyala marah. "Katakan, Bik Tuti! Luna pergi kemana?!"

Bik Tuti gentar, namun berusaha menjaga rahasia Luna. "T-Tidak, Buk. A-Anu. Luna hanya pergi ke pasar, membeli sayuran untuk makan malam."

Lidya tidak percaya. "Pasar?! Bukankah tadi pagi dia sudah pergi belanja?!"

Saat itu, Bik Tuti seolah kehilangan kata-kata. Bergerak tuk pergi, bukanlah keputusan yang mudah tuk menghindari konfrontasi Lidya. Bik Tuti tertegun. Maafkan Bibik, Non. "No-Non Luna ke kantor den Adit, Buk."

Mata Lidya membulat. Pikirannya seolah terbakar tanpa sumbu. Ia segera berjalan mencari ponselnya di atas meja makan, tempat terakhir ia simpan sebelum meninggalkan sarapannya di sana.

Lidya mengambil ponselnya dan langsung menghubungi Adit. "Adit, kamu lagi dimana sekarang?"

"Aku lagi kantor, Ma. Sedang mengawasi jalannya meeting bersama client. Kenapa, Ma?!" 

"Adit gawat! Luna lagi jalan ke arah kantor kamu."

"A-Apa?!"

"Kamu tahu kan, kalau Luna datang dan seisi karyawan tahu kalau dia itu istri kamu?!"

"Jam berapa dia pergi?!"

Lidya menatap Bik Tuti yang dengan segera mengacungkan sepuluh jarinya. 

"Sepuluh menit yang lalu!"

"A-Aku akan segera mengecek ke lantai bawah sekarang."

"Hubungi Mama segera!"

"Iya, Ma. Pasti."

Tuuuuut. 

Lihat selengkapnya