Selain ketakutan terbesar Luna adalah kehilangan, ternyata ada yang lebih sulit tuk ia terima. Yakni, kebohongan!
Luna tahu Adit menyembunyikan sesuatu darinya. Setiap saat setiap hari bahkan sampai hari ini Luna berusaha tuk meminta kejujuran apa yang sebenarnya lelaki itu rahasiakan darinya.
Tak ada titik menyerah bagi Luna tuk mencari tahu apa yang membuat Adit sulit menerima pernikahannya, meski ia pun sadar bahwa dirinya masih sulit menerima Adit karena cintanya masih terpaut di hati Zaki. Namun setidaknya, Luna selalu berusaha tuk menerima lelaki itu sebagai suaminya.
"Permisi." Seorang pramuniaga memecah lamunan Luna. Wanita berompi hitam itu memberikan dua buah paper bag yang berisi kain baju pesanan Lidya. "Ini pesanannya."
Luna beranjak dari sofa dan merebut tas berbahan kertas tebal itu. "Terima kasih. Kalau begitu, saya permisi."
Luna melangkah keluar dari ruko minimalis yang letaknya tak begitu jauh dari pusat kota. Ia berjalan melewati beberapa ruko dan menelusuri setiap persimpangan jalan.
Lidya yang tak selalu membekali Luna lembar uang untuk angkutan umum saat meminta Luna tuk mengambil pesanan lainnya di butik langganan, hari ini Luna pun tak membawa uang pribadinya maupun ponsel pemberian Surya tuk memesan sebuah taksi online.
Ya. Luna sengaja. Ia tak ingin segera pulang ke rumah. Pikirannya yang masih terpaut pada Adit maupun Zaki, membuat Ia berjalan tanpa tujuan.
Luna terus melangkah. Menikmati kesunyian dalam dirinya di antara lalu lalang aktivitas manusia dan kendaraan yang berseliweran melewatinya.
Hingga, Luna telah melangkah sejauh dari yang Ia pikirkan. Entah dimana Ia sekarang. Bulat matanya menyapu ke setiap penjuru. Tempat yang di laluinya kini sejalan dengan suasana hatinya. Sepi.
Ia menatap langit. Matahari sudah nampak tenggelam dan suasana senja mulai menghampiri, mempercantik kesepian di sekitar Luna.
Di bahu kiri dan kanan jalan, hanya nampak pepohonan tinggi dan rindang yang menjulang ke langit dan saling berpelukan, seolah melindungi manusia dari terik mentari.
"Dimana aku, sekarang..." Gumamnya. "Ini namanya tersesat."
Luna mulai cemas. Ia tak menyesali keputusannya yang tak membawa ponsel, melainkan ketakutannya terhadap kemarahan Lidya yang mungkin akan memakinya jika Ia telat pulang ke rumah.
Sambil menyapukan pandangannya, Luna mulai melangkah lebih cepat.
Di saat yang sama, ada sebuah sepeda motor muncul dari salah satu persimpangan jalan menghadang Luna. Awalnya, Luna anggap mereka adalah pengendara motor yang biasa melintasi jalanan ini. Namun, saat satu pemuda lainnya turun dan bergerak mendekatinya, Luna teriak ketakutan.
Luna mundur, hatinya berdebar. "Jangan mendekat!"
"Sombong sekali, si... Kita-kita ini... Cuma mau kenalan aja kok!"
"Pergi!" Geleng Luna. "Jangan macam-macam!"
Pemuda berperawakan tinggi tegap itu tertawa terbahak-bahak sembari menatap Luna tajam. "Kalau gak mau kenalan... Berikan uangmu pada kami!"
Luna menggeleng. "Toloooong....!!"
"Tempat ini sepi, Nona!" Sahut pemuda yang mengendarai sepeda motornya. "Gak ada yang bisa nolong kamu di sini!"
"Toloooong...!!" Pekik Luna.
"Lepas!!" Pinta Luna meneteskan air mata ketakutannya saat pemuda itu mencengkram lengannya dan berusaha menariknya pergi. "Lepaaass!!"
Sebuah mobil muncul dari kejauhan dan mendadak berhenti di antara keributan mereka. Mobil itu membuka pintu, dan Zaki keluar dengan wajah serius. "Lepaskan dia!"