LUKA RAMA

Erik Fernando
Chapter #2

KOTA YANG MENELAN

Jakarta, 1999.

Kota ini tidak tidur, hanya berganti wajah. Udara panas bercampur asap knalpot, bau solar dari bus kota, dan debu dari proyek jalan yang tak pernah selesai. Spanduk “Reformasi” masih tergantung di beberapa tempat, meski warnanya sudah pudar. Di televisi warung, orang-orang bicara tentang perubahan, tapi di jalan, orang seperti Rama hanya tahu satu hal: hidup harus terus dijalani, meski dengan tangan kosong.

Ia tinggal di gang sempit di Tanah Abang, di rumah petak bersama delapan perantau lain dari berbagai daerah. Lantai semen yang retak, lampu redup, kipas angin rusak. Suara azan dari mushola kecil bercampur dengan klakson bajaj dan jeritan pedagang.

Rama sebenarnya memiliki saudara jauh yang juga tinggal di Jakarta. Namun kehidupan mereka juga tidak lebih baik. Merantau karena kehidupan di kampung yang tidak lagi bisa diandalkan, walau di Jakarta pun tidak lebih baik, bahkan jauh memprihatinkan, namun bagi kami orang Minang, tidak apa-apa menjadi gembel di daerah lain asal bukan di kampung.

Hari – hari pertama, Rama bekerja serabutan — kadang jadi kuli angkut sayur di pasar pagi, kadang tukang dorong gerobak barang di terminal. Upahnya seratus ribu seminggu, cukup untuk nasi bungkus dua kali sehari dan rokok kretek murahan.

Tiap malam, sambil memikirkan ibunya di kampung, ia duduk di depan kontrakan menatap langit Jakarta yang jarang punya bintang. Suara bising dari jalan yang tak pernah berhenti, udara dari kamar yang selalu berbau keringat, rokok dan minyak goreng. Di kejauhan, gedung tinggi di Sudirman terlihat seperti dunia lain — dunia orang-orang berjas, sementara ia hanya bayangan yang lewat di kaki mereka. Dan itu adalah pelajaran penting bahwa Jakarta tidak memberi ruang bagi orang yang lemah, hanya pilihan untuk bertahan atau tenggelam.

Lihat selengkapnya