Luka Seorang Wanita

DinaraBiyani
Chapter #2

2

"Hadi!"


Kaki kulangkahkan cepat mencapai pintu depan, pasalnya di luar sana seseorang terus saja menyebut nama Mas Hadi, kutinggalkan tumpukan piring kotor guna melihat siapa di sana.


"Cari siapa, Mbak?"


"Hadinya, ada?"


Tak menjawab, wanita bercelana kulot itu malah menanyakan Mas Hadi. Tampak senyum di wajah menawan itu, kemudian ia mendekat menjulurkan tangan seraya berkata.


"Saya Sintia, saat ini Boss di pabrik Hadi bekerja." Tak lupa, senyum yang sama masih melekat di bibirnya. Yang mau tak mau ikut menular kepadaku.


"Eh, ada, Bu. Sebentar saya panggilkan dulu."


Sempat kulihat ia mengangguk terlebih saat menyuruhnya untuk duduk terlebih dulu sementara aku memanggil Mas Hadi.



Di kamar, Mas Hadi masih dengan tubuh setengah telanjang hanya selimut penutup sebagian pinggangnya. Setelah percintaan kami semalam ia belum lagi bangun. Meski begitu, kugoyangkan sedikit bahunya dengan agak keras. Mengingat ia tipe pria yang sulit dibangunkan.


"Ada Bu Sintia di luar, Mas ...."



Entah takut pada bossnya entah ia kaget dengan suaraku yang sedikit keras. Tak menunggu lama, ia menarik kaus oblong di sisi kirinya dan memakainya dengan sedikit terburu-buru. Lalu dengan agak terlalu cepat juga ia melangkah ke luar.


Dari percakapan mereka yang sempat kudengar, Bossnya itu meminta Mas Hadi mengantar beliau ke luar Kota. Mengingat selain sopir truck pembawa garam, Mas Hadi juga sopir bagi boss juga bagi karyawan jika memang memerlukan. Setelah itu, kulihat Mas Hadi bergegas dengan cepat sementara perempuan itu masih menunggu di luar. Senyum menawan masih ia berikan saat tadi ia kusuguhkan minuman.



Heran, kenapa ia tak lelah untuk tersenyum. Tiba-tiba pikiran jahatku muncul begitu saja, apa memang perempuan ini yang menyebabkan Hadi semakin berubah? Makanya ia bersandiwara menjemput Hadi ke rumah layaknya Boss menutupi aib mereka berdua?



"Nih, ambil!"


Kasar, Mas Hadi melempar uang sejumlah dua puluh ribu ke mukaku. Tak elak membuatku sedikit terkejut juga gelagapan. Memandang nanar pada uang kertas yang disuguhkannya itu.


"Beli ikan, bosan tempe terus. Kamu itu nggak bisa gitu nyenengin hati suami sesekali apa?!"


Dua puluh ribu, dapat apa?


Aku hanya mengangguk, terlebih saat ia mengatakan jika akan pulang nanti sore. Mencium takzim tangannya lalu melepasnya pergi bersama perempuan itu.


Tuhan, meski tanpa cinta. Setidaknya selamatkan suamiku dari segala marabahaya.



***

Lihat selengkapnya