Luka Tanpa Asa 2

Aijin Isbatikah
Chapter #2

2 | Situasi Berlibur yang Canggung

Sepanjang perjalanan merupakan hal yang menyenangkan. Papa menyetir sembari bersenandung, mama bersenda gurau denganku dan kak Haru. Sesekali papa juga menanggapi kelakar kami. Aku mulai merasakan apa itu arti kebahagiaan dari sebuah keluarga sesungguhnya selama beberapa bulan belakangan ini. Selain bahagia karena kelak akan memiliki seorang adik, aku juga merasakan kehangatan dan kasih sayang dari seorang papa. Awalnya memang terasa canggung, namun kini tidak lagi. Biasanya di sela-sela waktu luang, papa menemaniku menonton tv sambil menyeruput kopi. Kami pun mengobrol tentang apa saja. Kak Haru juga sekarang secara perlahan mulai dekat dengan mama. Kami pun juga sering makan bersama, baik di rumah maupun di luar rumah.

“Haru, Hana. Kita sudah sampai.di Wagos!” seru papa sembari memarkir mobilnya. Kubangunkan mama yang tidak lama tertidur. Seseorang membuka pintu mobil depan Dimana mama tertidur.

“Ma, ayo bangun. Sudah sampai,” ternyata kak Haru yang membuka pintu mobil dan berusaha membangunkan mama juga secara perlahan. Tidak lama mama pun terbangun. Mama turun dari mobil dengan hati-hati. Kak Haru juga ikut membantu memapah dan mengawasi pergerakan mama. “Hati-hati, ma.”

Melihat pemandangan itu membuatku tersenyum bahagia. Knapa sisi lembut dari kak Haru baru terlihat sekarang? Padahal sebelumnya dia cuek banget kepadaku, bahkan dengan mama. Kehadiran si mungil pun tidak membuat egonya runtuh. Tetapi sekarang kak Haru sudah mulai berubah. Kalau kata teman-teman di kelas, itulah sisi lain dari kak Haru yang sebenarnya. Aku pun juga tahu alasan dibalik perilaku kasarnya tersebut. Memang tidak mudah merelakan kepergian dari orang yang kita cintai. Begitu pula dengan kak Haru. Kedatanganku dan mama sebelumnya malah menjadi boomerang baginya. Aku harap kami bisa selalu rukun dan bahagia selalu. Selamanya…

Sesudah turun dari mobil, aku menggamit lengan mama. Kami pun berjalan bersama. Sementara kak Haru dan papa menyusul dari belakang. Aku merasakan udara segar yang kuhirup. Udara pagi memang terasa sejuk dan segar.

“Sayang, sebelum masuk ke dalam, kita harus mencuci tangan terlebih dahulu,” papa menggandeng tangan mama dan berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangan. Mataku melirik ke arah kak Haru. Ups, ternyata dia juga tengah melihatku.

“Umm.. ano.. kak Haru juga mencuci tangan?” tanyaku basa-basi. Aku berusaha menutupi debaran hatiku dengan mencari topik pembicaraan. Tetapi aku baru sadar kalau pertanyaanku sangatlah bodoh.

“Ya iya lah, Hana. Kita kan juga harus menjaga kebersihan. Terutama ibu hamil seperti mama. Jangan-jangan selama ini sebelum dan sesudah makan, kamu tidak pernah mencuci tangan ya? Ihh.. jorok!”

“Iih, ya cuci tangan lah kak. Bahkan kebersihan itu sudah mandarah daging pada diriku. Sejak kecil kami sudah diajarkan menjaga kebersihan di sekolah maupun di rumah.”

“Kami?”

“Iya. Teman-teman di sekolah.”

Kak Haru terbatuk-batuk sesaat. Lalu melihatku lagi. Aku bisa merasakan ia memiliki sejuta pertanyaan yang ingin diutarakannya padaku. Kami saling menatap satu sama lain dalam waktu yang lama. Entah kenapa aku merasakan ketidaknyamanan dengan ucapan yang akan dilontarkan oleh kak Haru kali ini. Aku bisa merasakannya.

“Naru, ayo cepat cuci tangan,” panggilan papa mengagetkanku.

“Naru? Papa manggil kita Naru?” tanya kak Haru dengan heran.

Papa terkekeh sesaat.

“Iya Naru. Hana Haru. Nanti setelah adik kalian lahir, papa akan memanggil kalian bertiga dengan nama singkatan. Bisa jadi praktis kan? Hahahaa..,”

Aku pun tertawa mendengar candaan papa sambil mencuci tangan. Sementara kak Haru hanya menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya.

“Papa masuk duluan ya sama mama. Nanti kalian bisa menyusul.”

“Siap, pa.” ucapku sambil masih mencuci tangan. Setelah papa pergi, terdapat dua tangan yang merapatkan tangannya dengan kedua tanganku.”

Kak Haru masih tetap merangkulku dari belakang dan ikut mencuci tangannya di wastafel. Pandanganku langsung mengarah dimana papa dan mama berada. Rupanya mereka sudah masuk duluan. Betapa berbahayanya jika mereka melihat kami seperti ini. Bisa-bisa papa dan mama curiga dengan hubungan kami. Namun aku tahu cepat atau lambat, hubungan kami pasti akan ketahuan. Sepintar-pintarnya menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga kan?

“Kak Haru. Budayakan antri dong. Aku duluan yang cuci tangan. Iih, minggir. Sempit tahu,” kucoba untuk menyingkirkan kak Haru. Namun ia tetap tidak bergeming sambil menunjukkan wajah isengnya. Karena sebal, kucipratkan tanganku yang basah hingga mengenai wajahnya.

“Hey, Hana! Curang kamu!” kak Haru mulai memundurkan langkahnya sembari mengusap wajahnya yang basah. Aku berbalik pergi sambil menahan tawa. “Eh, air kerannya nggak ditutup lagi. Hey, tunggu aku!!!”

Tidak kusangka pemandangan disini begitu indah. Ada berbagai macam warna pada tanaman di sebelah kanan dan kiri. Ada juga tulisan Wagos dengan huruf kapital dan berukuran besar. Tidak lama aku melewati papan yang membuatku penasaran dengan tulisannya. Aku pun mencoba untuk membacanya.

“Selfie boleh, rusak no. Are awajibu senyum.”

Seseorang menjitak kepalaku dari belakang. Aku langsung cemberut. Aku tahu siapa lagi yang jahil kalau bukan kak Haru. Dia merangkul pundakku sambil mengamati tulisan di papan tersebut.

“Hmmm.. selfi bukan selfieee… Area wajib senyum. Duh, Hana. Katanya guru Zeno bisa mengajari kamu membaca. Ini kok masih belepotan.”

“Bulepot.. apa sih, kak?” kak Haru malah tertawa melihatku yang masih bingung dengan ucapannya. Dia menggandeng tanganku dan mengajakku berjalan bersama.

Kulihat ada ayunan yang di bawahnya terdapat batu sebagai pijakan yang dikelilingi oleh kolam ikan. Kak Haru memintaku duduk di atas ayunan dan memotretku dengan ponselnya. Lalu giliran kak Haru yang minta difoto disitu. Saat ada pengunjung lain yang lewat, kak Haru meminta salah satu dari mereka untuk memotret kami dengan ponselnya. Aku berpose duduk di atas ayunan dan kak Haru berdiri di sampingku. Setelah itu kami pun berterima kasih kepada pengunjung tersebut.

“Kak, nanti kirimkan fotonya di handphoneku juga ya?”

“To.. tolong..,”

“Apa?”

Kulihat wajah kak Haru agak bersemu merah. Apa dia merasa kepanasan? Padahal hawanya sesejuk ini. Kak Haru memalingkan wajahnya sejenak. Lalu dia melihatku lagi dengan mata berbinar-binar.

“Seharusnya kamu bilang.. tolong kirimkan fotonya ya, sayang.”

“Ap? Iih, nggak!” sahutku malu.

“Ya sudah,” kak Haru berbalik hendak pergi. Mataku terbelalak tidak percaya. Kutarik jaket yang dikenakannya dari belakang sembari menunduk malu.

“Tolong kirimkan fotonya yang..,”

Kak Haru mendekatkan telinganya di depan wajahku.

Lihat selengkapnya