Sepulangnya dari rekreasi, kami berempat hanya diam membisu dan memasuki kamar masing-masing. Tidak ada salah satupun dari kami yang membuka pembicaraan di sepanjang perjalanan pulang. Seharusnya hari ini adalah hari yang indah untuk kami lalui bersama. Padahal papa sudah jauh-jauh hari merencanakan perjalanan ini. Tetapi kami malah menghancurkan mimpi indah yang beliau bangun. Aku menjadi merasa begitu bersalah padanya.
Sepanjang hari kuhabiskan waktu di dalam kamar untuk merenungkan apa yang sudah terjadi hari ini. Aku Bahagia bisa terus berada di sisi kak Haru. Aku sayang padanya. Tetapi apakah rasa sayangku padanya juga bisa menyakiti orang-orang terdekatku? Terutama papa dan mama? Mungkin benar kata papa. Kalau hubungan kami terlarang. Walaupun kak Haru bukanlah saudara kandungku, tetapi kami bersaudara secara sah di mata hukum. Apa aku harus membicarakan kebimbangan hatiku ini pada kak Haru ya?
Aku keluar dari kamar dan mengetuk pintu kamar kak Haru. Namun tidak ada jawaban. Aku baru sadar kalau hari sudah malam dan seharusnya aku membantu mama untuk menyiapkan makan malam. Kuputuskan untuk menuruni tangga. Baru beberapa langkah, kaki ku mendadak berhenti. Aku bisa melihat ketegangan antara papa, mama, dan kak Haru di ruang tamu. Sepertinya mereka sedang berbicara serius sampai mereka tidak menyadari keberadaanku.
“Kamu bodoh atau bagaimana?! Dia itu adik kamu secara hukum. Kamu tidak bisa begitu saja berpacaran dengan adik kamu sendiri! Kalau sampai ada orang tahu, mau ditaruh dimana muka papa?!!”
Kak Haru mulai mengangkat wajahnya. Ia tampak begitu menahan amarah. Aku berharap kak Haru masih bisa mengontrol emosinya. Aku nggak ingin ada pertengkaran lagi diantara keduanya.
“Hah, ini yang aku tunggu-tunggu. Akhirnya papa kembali lagi seperti dulu. Seorang papa yang hanya mementingkan rasa malunya, bahkan jika anaknya merasa terluka karenamu. Oh,aku ingat, dulu kan papa juga pernah malu punya anak seperti aku kan?!!”
“Seharusnya papa tahu kamu itu anak yang selalu bikin onar. Nggak akan pernah sadar. Dulu papa kira, semua adalah salah papa. Kamu bandel, itu karena papa yang nggak bisa mendidik kamu. Papa kira kamu sudah berubah menjadi Haru yang papa kenal. Papa nggak tahu lagi sekarang siapa kamu sebenarnya,” papa yang semula berdiri sembari membusungkan dadanya, kini tampak lelah. Beliau terduduk di sofa dengan menghela nafas panjang. Sementara mama masih terus saja diam memperhatikan keduanya.
‘Mungkin ini bukan saatnya aku ikut campur dengan pembicaraan mereka,’ pikirku kemudian. Aku menaiki tangga secara perlahan nyaris tanpa suara. Aku agak terkejut ketika kak Haru pamit untuk ke lantai atas. Aku pun kebingungan. Bagaimana mungkin aku berjalan ke atas secepatnya tanpa dengan langkah yang cepat?
“TUNGGU!” suara papa mengagetkanku. Ternyata papa menghentikan langkah kak Haru. Kak Haru sepertinya menyadari keberadaanku. Ekspresinya agak sedikit terkejut melihatku. Tetapi dia tetap saja diam ketika papa menghalangi langkahnya. “KAMU PINDAH DI KAMAR BELAKANG UNTUK SEMENTARA.”
“Kamar lama bik Sum pembantu kita dulu? Kenapa, pa?”
“Membiarkan anak-anak muda seperti kalian berdua sendirian di lantai atas tidak akan aman.”
“Apa maksud papa?”
“Papa tidak mempercayaimu.”
“Kenapa papa tidak bisa mempercayaiku? Aku sudah besar, pa. sudah bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Lagipula dia adikku sendiri!”
“Nah kan! Dengar, Nobuko! Dia mengakui kalau dia punya adik!” tunjuk papa sembari tertawa menyindir. “Haru, Haru, sejak kapan kamu sejujur ini? Kamu terjebak dengan kata-katamu sendiri. Papa tahu sekarang, sebenarnya rasa cinta yang kamu rasakan itu murni perasaan sebatas saudara saja. Tetapi kamu mengarang hubungan kalian atau.. atau.. sebenarnya kamu memanfaatkan kepolosan Hana hanya untuk memainkan taktikmu itu.”
“Sayang, cukup,” mama mulai angkat bicara. Sepertinya mama melihat keberadaanku juga. Mama mulai berdiri dengan susah payah dan mencoba untuk meminta papa berhenti berbicara.
“Kenakalanmu nggak akan pernah berhenti kalau kamu sendiri nggak pernah mencoba menghentikannya.”
“Sayang, cukup.” Wajah mama mulai mengernyit. Beliau tampak menahan sesuatu. Seperti rasa kesakitan. Aku ingin sekali menghampirinya. Tetapi entah kenapa kaki ku begitu sulit untuk melangkah.
“Kalaupun kalian bukan kakak adik, papa juga nggak akan merestui kalian!”
Hening. Ekspresi ketiganya mulai berubah seperti tampak menyadari sesuatu.
“Apa maksud kamu, pa?” tanya mama. Kali ini mama berdiri tepat dihadapan papa seakan meminta penjelasan. “Kenapa papa nggak bisa merestui kalau mereka bukan kakak adik? Apa karena Hana itu adalah anakku? Apak arena Hana punya gangguan mental? Atau karena..,”
“Ma, ma, dengarkan papa dulu,” pinta papa dengan wajah sendu. “Bukan begitu maksud papa!”
“Lantas apa?! Alasannya apa, pa?!!”
Keduanya tampak bersitegang. Tiba-tiba saja, mama mengernyitkan dahi. Sedari tadi peluh keringatnya membasahi wajahnya. Mama mulai mengaduh kessakitan sembari memegang perutnya yang sudah membesar.
“Ma, kenapa, ma..? Perutmu sakit?” tanya papa khawatir. Aku segera menghambur ke arah mama dan menanyakan keadaannya. Mama tampak menahan kesakitan, tetapi ia kembali menatap papa dengan mata nyalang.
“Jawab, pa!” bentaknya seketika. Awalnya papa tampak kalut. Beliau tampak tidak tega melihat keadaan mama. Aku tahu papa akan mengucapkan satu kata yang pada akhirnya akan mengubah pikiranku selamanya.
“Hana islam KTP! Ya! Karena Hana hanya islam KTP!!!”
“Apa..?” mama terpaku dengan perkataan papa. Begitu pula denganku. Entah bagaimana wajah kak Haru saat ini, dia hanya menunjukkan wajah datarnya dan terus diam membisu,
“Maksud papa itu Hana hanya memiliki agama di atas kertas?”
“Bukankah begitu? Selama ini mama juga kan..,” papa tampak berbicara dengan enggan. Matanya tidak langsung tertuju ke arah mama. Beliau hanya melihat di salah satu sudut ruangan tanpa berkata apa-apa lagi. Mama mulai meringis kesakitan. Kami mulai mengkhawatirkan keadaan mama.
“Ma, ayo kita ke rumah sakit sekarang,” pinta papa. Namun tangannya dihempaskan oleh mama begitu saja. Baru kali ini aku melihat mama tampak marah pada papa. Aku pun mengelus punggung mama secara perlahan. “Ma, jangan egois. Ini demi anak kita. Anak yang ada di dalam perutmu itu.”