“Bapak dokter, bagaimana keadaan mama saya?” tanyaku penuh dengan rasa takut. Sebelumnya mama mengeluh kesakitan pada perutnya. Namun setelah berbaring di atas hospital bed, rintihan mama tidak terdengar lagi. Dokter membiarkan mama beristirahat sebentar. Sementara itu, aku dan kak Haru sedang duduk berhadapan dengan dokter.
“Apakah mas dan mbaknya anak dari bu Nobuko?” tanya dokter tersebut.
“Ya. Kami anaknya. Biasanya yang menemani mama itu papa saya. Tetapi kemarin papa saya harus kerja ke luar kota. Jadi kami yang mengantar mama hari ini.”
“Baiklah. Jadi mas dan mbaknya yang hari ini mewakili papanya ya. Mas, mbak, bu Nobuko sudah tidak apa-apa. Bu Nobuko hanya membutuhkan waktu untuk istirahat.”
“Bagaimana dengan adik kami? Maksud saya.. bagaimana dengan bayi di dalam perut mama saya?” mungkin aku mengutarakan beberapa hal secara berlebihan. Tentu saja, bagaimana aku tidak panik? Rasa sakit yang mama derita mengingatkanku akan masa lalu dimana saat mama yang selalu terluka dan banyak lebam di sekujur tubuh karena ‘orang’ itu.
Aku mulai tersadar saat kak Haru memegang tanganku lembut. Aku melihatnya dengan riak-riak air mata yang hampir menetes.
“Kak, mama akan baik-baik saja kan?”
“Mama akan baik-baik saja. Percaya sama kakak. Kita akan menjaga mama dan adik bersama-sama ya..,”
Aku mengangguk pelan.
“Mbak dan masnya tenang saja, adik bayinya tidak apa-apa kok. Mama kalian mengalami kram perut. Jaga selalu kesehatannya dengan minum air putih yang cukup, makan makanan yang mengandung asam folat seperti buah jeruk, melon, alpukat, sayuran hijau tua, brokoli, kuning telur, asparagus dan perlu banyak istirahat. Pikirkan segala hal yang baik-baik saja, tidak terlalu stress. Karena dari semua itu akan menjadikan adek bayi yang berada di dalam kandungan bu Nobuko menjadi semakin sehat.”
“Lalu apa yang harus kami lakukan jika mama mengalami kram perut lagi, dok?” tanyaku berusaha untuk menguatkan diri.
“Jika kram perutnya seperti sebelumnya, tidak perlu dibawa ke rumah sakit. Bu Nobuko cukup duduk atau berbaring dan hindari untuk mengubah gerakan secara tiba-tiba. Seperti yang saya katakan sebelumnya minum air putih yang cukup. Karena kram perut bisa menjadi pertanda bahwa bu Nobuko mengalami dehidrasi.”
“Mama akhir-akhir ini jarang sekali makan, kak. Kalau aku suapi, mama hanya makan sedikit,” kataku pelan. Kak Haru mencoba menenangkanku dengan mengusap-usap punggungku pelan.
“Hana,” terdengar mama memanggilku. Aku segera menghampiri mama yang mencoba untuk bangkit dari tidurnya. Aku dan kak Haru memapah mama untuk berjalan sampai di depan pintu. Kami mengucapkan terima kasih kepada dokter yang sudah menangani mama. Paling tidak kini aku mengetahui bahwa kondisi mama sedang tidak baik-baik saja. Aku harus memberikan perhatian lebih kepada mama dan melupakan sejenak hubungan antara aku dan kak Haru.
Saat kami memasuki mobil, seseorang mengetuk kaca mobil di sisi kanan kak Haru. Kami bertiga menengok. Ternyata papa. Beliau bergegas pulang setelah aku meneleponnya sebelumnya. Mungkin papa sangat khawatir dengan keadaan mama.
Bagaimana tidak, sudah satu minggu mereka berdua saling diam. Papa rela tidur di ruang tamu agar mama merasa nyaman di kamar. Aku tidak menduga bahwa kejujuran tentang hubungan kami membuat hubungan papa dan mama juga semakin merenggang. Sampai hati aku menyakiti adek bayi yang bahkan masih belum melihat indahnya dunia ini. Perut mama yang kesakitan menjadi pertanda bahwa adek juga merasa tersiksa didalamnya. Keduanya mengalami stress. Hal ini membuatku semakin yakin bahwa aku dan kak Haru tidak ditakdirkan untuk bersama.
Kak Haru turun dari mobil. Tiba-tiba papa menepuk pundaknya. Lalu memeluknya dengan mata yang basah. Aku bisa melihat papa yang tidak sekaku dulu. Sekarang beliau bisa lebih mengekspresikan perasaannya.
“Terima kasih karena sudah menjaga mama dan calon adikmu. Ternyata kamu sudah tumbuh menjadi anak yang bisa diandalkan. Terima kasih, nak.”
Kak Haru masih terlihat agak ragu membalas pelukan papanya. Dia tampak begitu canggung kala papa melepas pelukannya dan membuka pintu mobil di sisi kanan dimana aku duduk.
“Hana, terima kasih sudah menelepon papa.”
“Pekerjaan papa sudah selesai?”
“Sudah selesai kok. Tidak ada masalah. Yang terpenting bagi papa sekarang adalah keluarga,” ucapan papa membuatku begitu terharu. Beliau tampak berkeringat dan begitu kelelahan. Nafasnya masih belum begitu teratur. Apa mungkin tadi papa berlari mencari kami bertiga di rumah sakit?
“Boleh berbicara dengan mama sebentar?” tanya papa, Aku menganggukkan kepala dan segera turun dari mobil. Giliran papa yang masuk ke dalam mobil dengan pintu mobil masih terbuka.
“Sebaiknya kita pergi agak jauh dari sini. Biarkan mereka bicara berdua saja,” aku pun mengiyakan perkataan kak Haru. Kami berdua berjalan menjauh dari tempat parkir mobil. Saat kak Haru menggandeng tanganku, aku mulai merasa tidak nyaman. Kulepaskan gandengan tangan darinya dan berpura-pura mengelap peluh keringat di dahi. Kak Haru tidak berkata apa-apa. Dia tidak mencoba menggandeng tanganku lagi. Kami duduk di halaman depan rumah sakit yang sudah disediakan kursi untuk para pengunjung.
“Aku kaget,” mendengar perkataan kak Haru membuatku berpikir apakah dia akan membahas keterkejutannya saat aku melepaskan gandengan tangan darinya tadi. “Ternyata papa benar-benar berbeda sekarang.”