Aku, Reta, dan Kusniyah berlari-lari kecil di lorong sekolah. Aku sudah melewatkan waktu sekitar dua puluh lima menit untuk melihat kak Haru berlatih bersama dengan teman-teman band lainnya.
“Gara-gara Reta, kita telat ke studio!!!!” seru Kusniyah di sela-sela berlari.
“Yaelah, gimana lagi! Tadi perutku mules banget!” balas Reta.
“Makanya lain kali kalau makan bakso itu nggak sampai dua mangkok kalee!” kata Kusniyah lagi. Membayangkan Reta yang memakan bakso dengan lahap pada jam istirahat tadi membuat kami berdua tertawa ngakak. Reta menggembungkan pipinya dengan kesal. Kami pun sampai di depan ruang studio. Kulihat mereka sudah memainkan musik yang kukenal, Silhouette. Reta dan Kusniyah sudah masuk duluan. Sementara aku mengatur nafas panjang di depan pintu ruangan. Saat aku hendak memasuki ruangan, tanpa sengaja hampir menabrak seseorang di depanku. Mataku membelalak kaget.
“Zun..,” tiba-tiba sekelebat bayangan masa lalu dimana Zuna memelukku dengan hangat hingga peristiwa kelam di rumah sakit saat Zuna mengakui bahwa ia merencanakan penganiayaan yang kak Rudi dan teman-temannya lakukan. Sekujur tubuhku mulai sedikit gemetar.
“Permisi, Han. Aku mau lewat,” ucapnya dengan wajah tertunduk. Aku tidak mengira bahwa matanya tidak melihatku sama sekali. Aku memundurkan langkah dan memberinya ruang untuk lewat. Tanpa berkata apa-apa lagi, Zuna berlalu begitu saja.
Aku melihat kepergiannya dengan kaki lemas. Hampir saja aku terduduk di lantai. Kusniyah datang dan memegang lenganku yang masih gemetaran. Kemudian ia memapahku masuk ke dalam ruangan.
“Badanmu kok gemetaran dan agak berkeringat dingin sih? Kamu nggak apa-apa, Han?” tanyanya dengan nada khawatir. Reta ikut melihat kondisiku. Aku mencoba untuk tersenyum agar mereka tidak terlalu mencemaskanku.
“Wajahmu agak pucat. Padahal tadi kamu terlihat baik-baik saja,” kata Reta sembari memegang kedua pipiku dengan wajah penuh kekhawatiran. Mungkin melihat Reta dan Kusniyah yang masih sibuk mencemaskanku, kak Haru dan teman-temannya berhenti bermain musik. Mereka menghampiri kami bertiga. Kak Haru melihatku dengan wajah cemas.
“Hana, kamu sakit? Kamu lagi nggak enak badan?” tanyanya. Aku menggelengkan kepala dengan tersenyum lagi.
“Aku tidak apa-apa, kak. Kalian semua terlalu mengkhawatirkanku.”
Kusniyah memukul lenganku pelan.
“Itu karena kami peduli padamu. Aku juga tidak ingin kamu merasakan sakit sendirian lagi. Kamu harus ingat kalau masih ada kami yang selalu mencemaskanmu dan tidak ingin melihatmu terluka lagi. Kami akan selalu melindungimu, Hana.”
Aku merasa terharu mendengar ucapannya. Aku pun melihat wajah mereka satu-persatu. Akan kuingat selalu setiap wajah orang-orang yang baik dan peduli padaku. Aku merasa beruntung karena memiliki mereka disampingku.
“Terima kasih semuanya. Kalian benar-benar teman yang baik dan berharga bagiku.”
“Unchhh, Hanaku sayang!” Kusniyah memelukku duluan. Disusul Reta yang turut memelukku juga. Sementara Zeno menepuk-nepuk punggungku pelan. Tiba-tiba saja ponselku dan kak Haru berbunyi secara bersamaan. Kak Haru langsung menjawab panggilan tersebut. Sementara aku membaca email yang baru saja masuk. Aku pun tersenyum saat mengetahui balasan email dari Yumi.
“Ciyee.. senyam-senyum sendiri. Dari siapa tuch?” tanya Reta sambil tertawa iseng.
“Oh, ini. Email dari Yumi temanku yang tinggal di Nagoya. Sebentar lagi dia akan berlibur disini.”
“Hah, kapan, Han?” tanya Reta lagi.
“Saat liburan sekolah disana pada musim semi. Lebih tepatnya sekitar dua puluh empat maret sampai dengan satu april.”
“Wuiihh, akhirnya kita bisa bertemu dengan Yumi. Sudah lama aku mendengar kisah tentangnya darimu, Han. Aku rasa dia gadis yang baik,” kata Kusniyah dengan bersemangat.
“Memangnya Yumi itu orangnya seperti apa?” tanya Eldo kemudian.
“Aih, yang pasti nggak jauh beda dengan Hana lah. Cantik, baik, dan pintar,” puji Iwan. Ridwan manggut-manggut setuju.
“Eto.. sebenarnya dia memang seperti yang kalian pikirkan. Bahkan lebih pintar daripada aku. Yumi cerewet sekali. Dia bercerita banyak hal padaku. Mimpinya adalah keliling dunia dan suatu saat ingin membuat beberapa perpustakaan kecil di Nagoya. Oh ya, dia juga suka sekali membaca buku di perpustakaan. Yumi juga sangat senang saat mendapatkan giliran piket untuk bertugas melayani di ruang perpustakaan. Baginya, buku adalah dunianya. Yumi-chan pernah berkata kalau dengan membaca buku, dia merasa seperti sedang menjelajahi berbagai belahan dunia.”
“Wah, aku semakin penasaran nih. Pasti boleh dong aku gebet? Hehee..,” ucap Eldo dengan menaik-turunkan alisnya sembari terkekeh.
“Eh, kenalan ajah belum. Sudah main gebet ajah!” senggol Zeno sembari mengulum senyum. Eldo, Ridwan, dan Iwan melirik ke arah Zeno secara bersamaan.
“Apaan sih cengar-cengir nggak jelas gitu?” lantas ketiga temannya tertawa terbahak-bahak. Sedangkan aku, Reta dan Kusniyah masih belum memahami atmosfir dari suasana itu.
“Jangan-jangan yang pedekate bukan Eldo, tapi..,”
“Jreng.. jreng.. jreng..,”
“Zeno..!!!!”
Wajah Zeno langsung berkerut.
“Lah, kenapa malah aku?” tanyanya dengan heran. Iwan, Eldo, dan Ridwan langsung sungkem padaku. Aku cukup heran melihat keanehan mereka. Namun aku tak kuasa menahan senyum. ‘Tingkah mereka lucu sekali. Ada-ada saja, dih!’ pikirku kemudian.
“Sebelumnya maaf nih, Han. Mulai dari musim pertama dimana kamu menolak pernyataan cintanya. Nah, kini saatnya dia harus bisa seratus persen move on darimu,” terang Eldo.
“Eh, ngomong apaan sih! Han, nggak usah dengerin Eldo.”
Kulihat Zeno mengatakannya dengan panik. Aku malah tertawa bersama dengan Reta dan Kusniyah. Tingkah Zeno yang sedang panik bercampur kesal juga sangat lucu.
“Kedatangan Yumi pasti akan membawa angin segar untuknya. Lihat saja nanti. Potong telingaku deh kalau nantinya Zeno tidak dekat dengan Yumi. Pasti mereka ada apa-apanya.”
Kulihat Zeno tidak mampu menahan kekesalannya lagi. Ia langsung melampiaskannya dengan mengapit leher Eldo dengan lengannya. Eldo malah tertawa cengengesan.
“Hana.”
Aku terkejut saat kak Haru berjalan menghampiriku dengan wajah penuh kecemasan. Sedari tadi dia berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Kak Haru berbicara di luar ruangan. ‘Sepertinya kak Haru membawa kabar yang penting,’ pikirku.
“Iya, kak. Ada apa?”
“Mama.. mama.. ma..,” katanya dengan nada terbata-bata. Aku langsung bangkit dari duduk. ‘Tuhan, ada apa dengan mamaku?’ pikirku kemudian.
“Mama kenapa, kak?”