“Haru. Hana. Bangun, nak,” aku mulai mengucek-ucek kedua mataku. Pandanganku yang semula kabur, kini mulai tampak jelas secara perlahan. Kulihat wajah papa yang tampak lelah dan menunjukkan matanya yang kian berbinar. Aku pun melihat sekeliling ruangan, masih berusaha menyadari suasana disana. Beberapa orang tampak tertidur di kursi dan ada juga yang masih terbangun. Aku pun melihat arah jarum jam di arloji. Raut wajahku langsung berubah. “Tenang, Hana. Mama sudah melahirkan. Mereka baik-baik saja kok.”
Aku langsung bangkit dari duduk dan memegang kedua tangan papa dengan perasaan cemas. Rasanya aku tidak mampu menguasai diriku lagi. Aku ingin melihat keadaan mama dan adikku. Kak Haru pun berdiri dan berusaha menenangkanku.
“Aku ingin melihat mereka sekarang, pa. Aku ingin tahu kondisi mama.”
“Tenang dulu Hana. Kalau kamu panik begini, bagaimana papa bisa menjelaskannya kepada kita..,”
Kepalaku pun menoleh ke arah kak Haru.
“Tapi, kak..,”
“Hana, Haru. Kalian duduk dulu ya,” ucap papa. Kami pun menuruti perkataannya dan duduk bersebelahan. Papa berlutut dihadapanku. Beliau memegang tanganku dan tangan kak Haru. “Saat ini mama dan adik kalian baik-baik saja. Tetapi kalian masih belum bisa menemui mereka. Nanti kita akan bertemu mama dan adik kalau mereka sudah berada di kamar pasien. Sementara ini kita menunggu disini dulu ya.”
Kami berdua menganggukkan kepala secara bersamaan.
“Baguslah. Kalau begitu papa pergi ke mushola dulu ya. Papa belum shalat isya. Kalian tidak apa-apa kan menunggu disini dulu?”
“Tidak apa-apa, pa. Papa shalat saja dulu. Biar Haru yang menjaga Hana disini,” kata kak Haru sembari tersenyum. Papa tampak merasa lega dan berbalik pergi menuju mushola. Kak Haru tersenyum lagi sambil melihat ke arahku dan memegang tanganku erat. “Semua akan baik-baik saja. Jadi kamu tidak perlu terlalu khawatir.”
Aku menganggukkan kepala. Lalu mengeluarkan ponsel yang sedari tadi tidak kupegang. Dugaanku benar, rupanya Kusniyah mengirim pesan padaku sekitar beberapa jam yang lalu.
‘Hana, kok kamu belum mengabariku? bagaimana dengan tante Nobuko? Apakah tante sudah melahirkan? Aku harap proses persalinannya lancar.’
Aku pun membalas pesan darinya.
‘Syukur Alhamdulillah mama baru saja melahirkan. Tetapi aku masih belum bisa menemui mereka. Doakan saja ya agar mama dan adik baik-baik saja disana.’
Tak lama kemudian ponselku berdering. Rupanya Kusniyah yang menelepon. Aku segera mengangkat telepon darinya.
“Halo. Asalamualaikum, Han.”
“Waalaikumsalam, Kus,” jawabku pelan.
“Duh, Hana. Lama sekali kamu nggak kasih kabar. Membuat kami cemas setengah mati saja. Kamu tahu, kami bertiga menunggu kabarmu sampai sekarang di rumah Reta.”
“Kami bertiga?” ulangku bingung. Terdengar suara keraguan Kusniyah di seberang sana. Aku langsung menyadari sesaat siapa orang ketiga yang kini sedang berada di rumah Reta. Saat aku hendak menjawab lagi, Kusniyah sudah menjawab duluan.
“Iya, Han. Aku, Reta, dan Zuna. Maaf ya, seharusnya aku tidak memberitahumu. Tetapi dia juga benar-benar mengkhawatirkan keadaan tante Nobuko.”
Diam-diam aku pun merutuki diriku sendiri kenapa tadi aku bertanya begitu kepada Kusniyah. Kalau Zuna mendengar hal ini, dia pasti juga akan menjadi sedih. Aku tidak pernah membencinya. Tetapi entah kenapa kehadirannya membuatku terus saja terbayang masa lalu yang tidak menyenangkan.
“Kusniyah, apa kamu menyalakan speaker di hapemu?” tanyaku dengan hati-hati.
“Ii.. iya..? Iya, Han. Duh, maaf lagi ya, Han. Aku..,”
“Reta dan.. Zuna juga sedang mendengarkan?”
“Umm..,” Kusniyah tampak ragu menjawab pertanyaanku. Kemudian terdengar suara orang yang sudah lama tidak kudengar suaranya mulai memanggilku lagi diseberang sana.
“Iya, Hana. Kami sedang mendengarkan suaramu.”
Aku merasakan degup jantung yang hampir berhenti seketika. Kurasakan telapak tanganku yang kian dingin dan berkeringat. Kak Haru menoleh ke arahku.
“Ada apa, Han?” tanyanya. Aku pun berusaha tersenyum dan menggelengkan kepala. Lalu aku menarik nafas panjang terlebih dahulu sebelum menjawab telepon itu lagi.
“Terima kasih karena kalian sudah menanyakan keadaan mama. Aku bersyukur karena memiliki kalian sebagai teman terdekatku. Reta, Kusniyah, dan juga.. Zuna.”
Kak Haru tampak terkejut. Spontan ia ingin merebut ponsel dariku. Aku langsung menahan tangannya dan menyuruhnya untuk diam.
“Zun, aku senang bisa mendengar suaramu lagi. Sebelumnya aku tidak pernah menyampaikan hal ini karena begitu takut untuk melihatmu lagi. Aku ingin bilang kalau aku sudah memaafkanmu atas apa yang telah terjadi di masa lalu. Jadi kamu tidak perlu merasa sungkan lagi jika berpapasan denganku. Aku yang seharusnya meminta maaf padamu dan semuanya. Karenaku, Reta dan Kusniyah harus bergantian untuk menemui kita secara terpisah.”
“Nggak kok, Han. Ini semua salahku. Bukan salahmu,” suara Zuna tampak melemah. Aku bisa mendengar suara isak tangis yang tertahan di ujung sana.
“Sekali lagi terima kasih ya. Eto.. nanti akan aku kabari lagi ya. Assalamualaikum.”
Setelah mereka membalas salamku, aku segera mematikan ponsel dan memasukkannya ke dalam saku seragam kembali. Entah kenapa, aku merasa lega setelah mengatakan semuanya pada Zuna. Rasanya aku ingin menangis, tetapi aku mencoba menahannya dengan sekuat tenaga. Kak Haru menyentuh tanganku yang memegang erat rok yang kukenakan.
“Hana, are you okay? Zuna nggak bilang sesuatu yang menyakitkanmu kan?” tanyanya. Aku menggelengkan kepala berkali-kali. “Aku kan sudah pernah bilang kalau kamu ingin menangis ya menangis saja, Han. Kamu nggak perlu menahannya.”
Tangisku pun meledak. Aku pun mulai menangis sesenggukkan kala kak Haru memelukku. Aku pun menenggelamkan kepalaku di dadanya sembari terus saja menangis tiada henti.
***
Waktu menunjukkan pukul satu malam. Namun diantara mereka bertiga masih belum ada yang tertidur. Masing-masing dari mereka memang sudah berbaring di atas tempat tidur. Namun ketiganya masih menatap langit-langit plafon. Walaupun dalam diam, tetapi pikiran mereka tertuju pada sosok satu orang, Hana Asuka.
“Sumpah, aku jadi nggak enak sama Hana. Seharusnya tadi aku nggak bilang apa-apa tentangmu, Zun,” Kusniyah memulai pembicaraan. Namun matanya masih betah melihat ke atas plafon. Zuna menggelengkan kepalanya.
“Seharusnya tadi aku nggak berinisiatif menginap di rumah Reta. Aku jadi nggak enak sama Hana.”
Reta menoleh ke arahnya.
“Memangnya kenapa?”
“Kalian kan teman terdekatnya. Aku nggak ingin kalau Hana merasa tersisih dan berpikiran akan kehilangan temannya lagi. Cukup aku saja yang berkhianat.”
Reta berdecak dengan kesal. Kemudian dia duduk bersila di sebelah Zuna. Begitu pula dengan Kusniyah. Melihat kedua temannya duduk, Zuna ikut bangkit dari tidurnya. Ia berada di posisi tepat diantara Reta dan Kusniyah.
“Cukup ya, Zun. Kamu selalu berpikiran buruk terhadap segala hal,” ucap Reta setengah kesal. “Hana nggak mungkin berpikiran secetek itu.”
Perkataan Reta membuat Zuna ikut tersulut.
“Jadi maksudmu aku berpikiran cetek?!”