Luka Tanpa Asa 2

Aijin Isbatikah
Chapter #7

7| Bukan Boneka Bayi

Pagi itu waktu telah menunjukkan pukul setengah tujuh. Biasanya Hana dan keluarga kecilnya sedang sarapan di ruang makan. Namun pagi itu, Hana masih terpaku di depan meja rias dengan cermin yang memantulkan wajah muramnya. Kedua matanya masih mengarah pada kotak persegi panjang yang terdapat beberapa obat pil pada masing-masing sekat didalamnya. Hana berusaha tertarik dengan obat-obat pil tersebut. Namun seberapa besar minat yang dipaksakannya itu semakin membuat Hana menjadi semakin pusing.

Secara perlahan, ia membuka kotak obat tersebut. Wajahnya kian muram. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar. Hana mendadak tersadar dari lamunan. Ia segera beranjak dari kursi dan membuka pintu kamarnya.

“Kak Haru?” Hana agak terkejut kala melihat Haru memasuki ruangan kamarnya begitu saja dengan membawa nampan yang berisi dua helai roti bakar. Saat Haru meletakan nampan di atas meja rias, ia tidak sengaja melihat kotak obat yang terbuka. Haru merasa ada yang janggal, namun ia memilih mengabaikannya untuk sementara.

“Umm.. ini aku buatkan roti bakar untukmu. Tapi sepertinya agak gosong. Mohon dimaklumi yaa,” ucapnya dengan tawa sumringah.

“Ya ampun, kak. Maaf ya. Seharusnya pagi ini aku menyiapkan sarapan pagi ini. Tapi aku lupa.”

Haru mengerutkan kening heran.

“Lupa? Memangnya sedari tadi kamu ngapain?” pertanyaan Haru malah membuat Hana agak canggung. Lirikan matanya kemana-mana seakan-akan mencari sebuah alasan yang bagus untuk disampaikan pada Haru. “Kamu lupa karena kamu bangun kesiangan kan? Makanya kamu nggak sempat memikirkan untuk membuat sarapan.”

“Eeh.. ii.. iya. Hmm!” Hana menarik nafas lega saat mengetahui bahwa Haru seperti tidak terlalu mencurigainya. Haru memutar kursi dari meja rias dan meminta Hana duduk di kursi tersebut. Hana menurutinya. Kemudian Haru duduk bersila didepannya. Haru memegang lembut kedua tangan Hana.

“Karena papa masih menemani mama di rumah sakit, aku merasa bertanggungjawab untuk menjagamu di rumah maupun di sekolah. Jadi kamu nggak perlu lagi membuat sarapan sendirian. Kamu bisa mengajakku membuat sarapan bersama-sama atau kamu juga bisa mengandalkanku untuk sesekali membuat sarapan untukmu. Yaa.. walaupun roti bakar saja yang bisa aku kuasai.”

Keduanya tertawa kecil sambil sesekali melirik dengan malu-malu. Tangan kiri Haru mengambil nampan sebelumnya dan mengambil salah satu roti bakar untuk diberikan pada gadis didepannya. Akan tetapi Hana masih tersenyum malu.

“Mau aku suapi juga? Seperti bayi dong!” celotehan Haru membuat bibir Hana mengerucut seketika. Gadis itu segera mengambil roti bakar dari tangan Haru dan memakannya dengan lahap. Haru yang melihat perubahan sikap Hana hanya tertawa lepas. “Makannya pelan-pelan dong.”

Haru membersihkan sisa-sisa remahan roti yang menempel di pipi Hana. Gadis itu berhenti makan. Usapan tangan Haru di pipinya membuatnya cukup berdebar-debar. Tanpa sengaja keduanya kembali saling bertatapan. Tangan Haru mengelus pipi Hana lembut. Tak lama kemudian, Haru menjauhkan tangannya dari pipi Hana dan bangkit dari duduknya.

“Emm.. Hana, pagi ini kamu sudah minum obat?” pertanyaan spontan dari mulut Haru kembali membuat Hana kebingungan. Ia seperti kembali dihadapkan pertanyaan tersulit sepanjang hidupnya.

“Kak, aku sudah kenyang. Roti bakar satunya untuk kakak saja,” Hana berusaha mengalihkan topik. Lantas ia mengambil tas ransel dan bergegas menuju keluar ruangan. Namun tiba-tiba saja, Haru menahan tangannya.

“Hana, jujur sama aku! Kamu sudah minum obat atau belum?” tanya Haru dengan nada datar. Hana berbalik dan melepas paksa tangan yang semula digenggam oleh Haru.

“Kenapa sih kak Haru selalu saja mengulang-ulang pertanyaan yang sama?!! Hana sudah minum obat? Hana sudah bawa obat? Hana, Hana, Hana, jangan lupa obatnya!!!” teriak Hana sembari menginjak-injak lantai berkali-kali dengan rasa kesal. Haru menghembuskan nafas perlahan. Ia mencoba bersabar dengan perilaku Hana yang kini mudah mengeluarkan emosi yang berlebihan.

“Aku kan hanya bertanya loh. Kamu sudah minum obat atau belum pagi ini?” tanyanya lagi sambil menyunggingkan senyum. Melihat Haru yang tidak berbalik marah padanya, emosi Hana kembali stabil.

“Su.. sudah, kak,” jawabnya kemudian. Haru menutup kotak obat tersebut dan menyerahkannya pada Hana.

“Jangan lupa membawa kotak obat itu. Sehari saja kamu melewatkan waktu untuk meminumnya, maka kamu akan kembali merasakan masa-masa kelam itu lagi. Aku hanya ingin kamu tetap merasa sehat, aman, dan bahagia dalam menjalani hari-harimu, Han. Kamu mengerti kan apa yang aku katakan?”

Hana hanya menganggukkan kepalanya. Dia tidak menyangka terkadang Haru bisa menunjukkan sisinya yang lain seperti seorang kakak. Bagi Hana, sosok Haru yang seperti itu cukup menyeramkan dan membuatnya agak segan. Tidak beberapa lama kemudian, Haru kembali tersenyum dan merangkul Hana. Keduanya menurun tangga secara perlahan.

“Oh ya, nanti aku traktir es krim deh pas pulang sekolah nanti.”

“Memangnya kak Haru tahu es krim kesukaanku?”

“Tahu dong!”

“Rasa apa? Beli dimana?”

“Rahasia!!!”

***

Seorang gadis berhijab membuka pintu ruang studio musik lebar-lebar. Angin dari luar mulai berhembus ke dalam ruangan sehingga menerbangkan kertas-kertas yang sebelumnya berjejer rapi di lantai.

“Kusniyah, tutup pintunya!!!” seru Eldo yang berusaha menahan beberapa kertas yang beterbangan di dekatnya. Begitu pula denganku, kak Haru, Zeno, Ridwan, dan Iwan. Kusniyah segera menutup pintu sambil cengengesan.

“Yaa.. maaf.”

“Kus, bantuin kita dong. Pusing banget sama mereka berdua nih! Sudah, ah! Capek banget!” Eldo malah melempar beberapa kertas di tangannya sehingga berceceran dimana-mana. Kusniyah merasa kesal melihat Eldo yang merebahkan tubuhnya di lantai tanpa mempedulikan kertas-kertas yang berceceran.

“Ya ampun, Eldo! Kenapa malah dilempar sih kertas-kertasnya?!!” serunya kesal.

Zeno ikut menyahut, “Berantakan lagi kan jadinya!”

“Nggak apa-apa kok. Seharusnya aku dan kak Haru yang memikirkan hal ini. Terima kasih ya semuanya sudah membantu.”

No problem, Han. Kami malah senang kok bisa ikut mencarikan nama untuk si cantik,” ucap Iwan. Ridwan dan Zeno juga mengangguk. Sementara kak Haru masih serius mencatat sesuatu di buku tulis.

“Oh ya, Reta dimana, Kus? Kok nggak ikut kesini?” tanyaku sambil membaca lagi kertas yang kupegang.

“Kami berdua memutuskan untuk memaafkan Zuna juga, Han,” aku berhenti fokus membaca dan menatap ke arah Kusniyah. “Bagaimanapun dia juga teman kami. Kamu juga teman kami. Jadi walaupun untuk saat ini kita tidak bisa berkumpul kembali, aku dan Reta rela kok bertemu dengan kalian secara bergantian.”

“Ano.. maafkan aku ya, Kus. Ini semua salahku. Nggak seharusnya aku memecah pertemanan kalian seperti ini.”

“Hana, sudah berapa kali aku bilang. Ini semua bukan salahmu. Jadi kamu nggak perlu merasa bersalah dan terbebani. Lagipula ini hanya sementara saja kok. Aku yakin kalau suatu saat kamu dan Zuna juga akan bisa berteman baik lagi seperti dulu. Zuna juga sudah menyadari kesalahannya kok.”

Zeno bergeser mendekatiku dan menepuk bahuku. Aku menoleh ke arah Zeno yang tersenyum tipis.

“Kamu pasti tidak akan percaya seberapa besar Zuna berubah menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Dia juga selalu bercerita tentangmu melalui apa yang ia dengar dari Reta dan Kusniyah. Hana tadi begini.. Hana tadi begitu.. Aku bisa melihat seberapa besar kerinduannya padamu. Lagipula sedari awal seharusnya dia sudah menyadari apa konsekuensi yang dihadapinya jika dia melakukan hal buruk pada temannya. Bagaimanapun juga itu semua sudah masa lalu, tetapi kita juga tidak bisa menghapuskan kasus itu dari ingatan. Untuk saat ini kita jalani apa adanya, tanpa beban dan rasa bersalah.”

Aku melihat Zeno dan Kusniyah secara bergantian. Perkataan mereka berdua membuatku kembali tenang. Entah kenapa sebelumnya aku ingin menangis keras. Tetapi setelah mendengarkan penjelasan mereka, air mataku kembali tertahan.

“Ekhem! Tuh tangan lama amat nangkring di bahu pacarku,” kak Haru terus saja melirik tangan Zeno yang masih berada di bahuku. Mendengar nada ketus kak Haru, Zeno menjadi salah tingkah. Hal itu membuat kami semua tertawa secara bersamaan. Kecuali kak Haru tentunya. Entah kenapa kak Haru selalu merasa tidak suka jika melihatku dan Zeno mengobrol bersama.

Kemudian Kusniyah berdiri dan membereskan kertas-kertas yang bertebaran. Kakinya tidak sengaja tersandung kaki Eldo yang jenjang. Kusniyah berkacak pinggang dengan tatapan kesal padanya. Eldo yang ketakutan langsung berpura-pura tidur. Aku pun hanya bisa tertawa kecil melihat kekonyolan mereka berdua. Lalu aku beranjak untuk membantu Kusniyah merapikan kertas-kertas yang semula bertebaran.

“Apaan ini nama-nama bayi perempuan keren dan bermakna? Kumpulan nama bayi terbaik dari A sampai Z? Lima ratus nama bayi perempuan islami? Rekomendasi nama Jepang terbaik untuk anak perempuan?!! Duh, kenapa kalian melakukan hal yang berguna kayak gini sih?! Nama bayi itu seharusnya sederhana namun berkesan di hati. Bagaimana sih kalian ini! Ruangan jadi berantakan begini kan jadinya!” dumelnya.

Sesaat perkataan Kusniyah membuatku dan kak Haru saling bertatapan. Seakan-akan ingatan kami saling terhubung satu sama lain. Aku berjalan merangkak mendekati kak Haru.

“Kak, kakak masih ingat nggak? Dulu waktu kami menghias ruangan bayi?” kak Haru masih terdiam. Aku mencoba untuk mengorek ingatannya kembali. “Waktu kak Haru membenciku dan bilang kalau..,” kak Haru menutup mulutku secepat mungkin dengan tangannya.

“Iya, iya! Aku ingat! Sudah jangan diteruskan lagi. Kamu pernah punya ide untuk nama adik bayi kita kan? Runa kan?”

Aku tersenyum manis padanya. Ternyata kak Haru masih mengingatnya dengan jelas. Teman-teman lainnya juga ikut penasaran dengan percakapan kami.

“Runa? Wah, nama yang imut sekali!” seru Kusniyah gemas.

“Artinya apa tuh?” tanya Ridwan. Kulihat wajah kak Haru sedikit memerah. Aku bisa menebak bahwa kak Haru merasa mau untuk mengatakannya. Aku pun mengajukan diri untuk menjawabnya.

“Runa itu kepanjangan dari nama kami, Haru dan Hana.”

Tiba-tiba saja mereka semua tersenyum geli dan menggoda kak Haru yang kini menjadi salah tingkah. Kusniyah ikut menyenggol bahuku dengan tatapan iseng. Aku pun berbalik menyenggol bahunya pelan sembari berpura-pura sebal.

“Eh, tunggu! Tiba-tiba saja aku punya ide!” seru kak Haru sembari mengacungkan pena ke atas. Lalu dia sibuk menulis sesuatu di buku tulis. Teman-temannya masih sibuk menggodanya.

“Duileh, kalau salting ya salting ajah. Nggak perlu pakai alasan punya ide segala! Runa couple, aah!” goda Eldo. Sementara Iwan dan Ridwan mencoba mengganggu kak Haru dengan menggelitik pinggangnya. Zeno tertawa terbahak-bahak.

“Iih, beneran ini! Ideku sedang mengalir deras!” kata kak Haru sewot. Ia masih tetap berusaha untuk menulis.

“Ya iyalah, Hana kan selalu menjadi inspirasimu. Idemu selalu mengalir deras kalau berada didekatnya. Uwuuuu… Runa couple!!!” balas Eldo lagi.

“CUKUP! Dengarkan aku sekarang!” mendengar komando Haru, mereka berhenti menggodanya. Suasana hening sesaat.

“Apaan sih, Haru nggak asyik,” celetuk Eldo. Kak Haru mulai mengangkat buku tulisnya dan memperlihatkan kepada kami semua. Aku bisa membaca huruf-huruf kapital itu dengan jelas, RUNA WIJAYA ADIGUNA.

“Runa Wijaya Adiguna?” baca Kusniyah.

Lihat selengkapnya