Luka Tanpa Asa 2

Aijin Isbatikah
Chapter #8

8| Teman Baru

Dear Yumi,

Sudah berapa kali kita saling berkirim surat melalui email, ya? Rasanya aku cukup terkejut karena beberapa bulan sebelumnya kamu memutuskan untuk menulis surat dengan menggunakan bahasa Indonesia. Aku cukup senang sih. Tetapi karena kamu juga baru belajar, maka dari itu aku juga berusaha menulis kalimat sesederhana mungkin. Aku pun terkejut karena kamu bisa secepat itu memahami apa yang aku tulis. Kamu selalu bersemangat dan memiliki kemauan kuat untuk belajar. Kamu benar-benar seperti Yumi yang aku kenal! Sugoi! Bahkan aku senang sekali saat mengetahui bahwa minggu depan kamu sudah berada disini. Aku dan kak Haru yang akan menjemputmu di bandara, okey?!

Note: Untuk terakhir kalinya, tolong berhenti menanyakan apakah aku sudah minum obat hari ini. Aku sudah berkata jujur padamu sebelumnya. Ini hanya rahasia kita berdua. Aku harap Yumi bisa mengerti.

SEND

Setelah mengirim email melalui ponsel, kedua tanganku memegang gelas berisi cokelat panas yang aku buat sebelumnya. Ku pejamkan mata untuk meresapi kehangatan dari gelas tersebut. Tak lama, ponselku berdering. Melihat nama Yumi-chan membuatku menarik nafas panjang.

Aku takut kalau Yumi memiliki pertanyaan yang sama dengan kak Haru. Entah kenapa aku merasa tidak suka dengan pertanyaan sejenis itu. Aku pun berusaha menarik bibirku ke atas hingga terulas senyuman paksa. Aku pun menekan tombol Terima video call darinya.

“Hana, apa kabaru?” terlihat Yumi membetulkan letak kacamata yang dikenakannya sembari mencondongkan tubuh sedikit ke depan.

“Baik. Yumi-chan, apa kabar juga?” balasku.

Eeto.. Indonesia-go, sukoshi wa jōzu ni natta kana? (Baik. Eeto.. Saya sedikit lancar berbahasa Indonesia ya?)”

“Yumi-chan, sugoku jōtatsu shita ne. Hontō ni kakkoii yo! (Yumi sudah mengalami banyak kemajuan. Kamu sangat keren!)” aku pun menunjukkan dua jempol di depan layar ponsel.

Hee.. Mou ichido itte kudasai! (Hee.. Tolong ucapkan sekali lagi!)”

Dore no koto? (Yang mana?)”

Saigo no serifu da yo. (Kalimat terakhir),” ucapnya dengan nada malu-malu.

Aku pun tergelak mendengarnya. Aku merasa bahwa Yumi benar-benar ingin belajar bahasa Indonesia dan aku menghargai usaha kerasnya.

“Hahaha… Okay! Yoku kiite ne! Yumi wa chō kakkoii~~!!! Yumi sangat kereeennn!!!! (Hahaaaa... Oke. Tolong dengarkan ya.. Anata wa totemo kūrudesu!!! Yumi sangat kereeennn!!!!)”

Aa..!!! Nanka tereru nā (Aih, aku menjadi tersanjung)," Yumi memejamkan mata sembari memegang dadanya seakan-akan ada panah cinta yang tertancap disana. Aku pun terkikik dibuatnya.

“Baiklah. Disini hari sudah malam. Aku harus tidur. Besok pagi aku bersekolah.”

Chotto matte! Hana, bolehkah saya mengatakan satu hal padamu?”

Ī yo. Demo, nonderu kusuri no koto igai ne. (Boleh. Kecuali tentang obat yang saya minum),” kataku memberi tekanan pada kalimat terakhir.

Raut wajah Yumi mendadak berubah menjadi sedih. Tingkah lakunya juga agak canggung. Dia hanya menunduk dan tidak mengangkat kepalanya lagi.

“Maaf. Saya tidak tahu jika obat menjadi musuhmu sekarang. Oyasuminasai, Hana-chan.”

Aku merasa begitu bersalah ketika Yumi sudah mematikan ponselnya. Kenapa aku merasa bahwa aku telah berubah begitu banyak? Aku merasa sudah menyakiti hati Yumi dan keluargaku tanpa sadar. Semua ini gara-gara obat itu!

“Tetapi apa benar kalau sekarang obat itu adalah musuhku?” aku bertanya pada diri sendiri. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar. “Ya? Silakan masuk.”

Kak Haru berdiri di ambang pintu yang setengah terbuka. Aku tersenyum melihat kedatangannya. Dia berjalan menghampiriku dan mengelus kepalaku lembut.

“Belum tidur?” tanyanya. Aku hanya menggelengkan kepala padanya dan menyesap cokelat panas yang suhunya mulai hangat. “Han, setelah pulang sekolah besok kita pergi ke psikiater lagi ya. Bulan ini kan sudah waktunya kontrol.”

Aku bisa mendengar ucapan kak Haru yang penuh kehati-hatian. Padahal sebelum-sebelumnya dia selalu berbicara apa adanya dan tidak dibuat-buat. Entah sejak kapan sekarang aku bisa merasakan perbedaan darinya.

“Apa harus besok?” tanyaku dengan ogah-ogahan.

“Iya. Aku memeriksa surat rujukan dan kontrolnya tadi. Seharusnya sih kamu kontrol kemarin.”

“Sudah lewat tanggalnya kan, kak? Lebih baik datang bulan depan saja.”

“Hana, kamu harus datang supaya psikiater bisa melihat kemajuan dari keadaanmu sekarang. Lagipula sudah saatnya kamu mendapatkan obat lagi.”

‘Obat! Obat! Obat! Aaargh..!!!’ jeritku dalam hati.

Akhirnya aku hanya menganggukkan kepala dengan pasrah. Kak Haru memelukku dan mengelus lembut rambut panjangku. Kemudian ia berbalik pergi menutup pintu kamar. Aku pun melompat ke atas tempat tidur dan menutup kepala dengan bantal.

“Aku benci obat! Aku benci psikiater! Aku benci semuanya! Aku juga sangat membenci diriku sendiri!!!” teriakku penuh frustasi.

***

“Hana,” aku pun tersadar dari lamunan. Entah sudah berapa kali aku menjerit di dalam hati yang berujung mengosongkan pikiran tanpa harus memikirkan masalahku yang begitu rumit. Aku juga baru menyadari bahwa sedari tadi aku terus saja menekan kuas berwarna merah tua di atas kanvas. “Kak Hana!”

Kepalaku menoleh ke arah sumber suara. Di samping sebelah kananku ada seorang lelaki yang tersenyum manis di depanku. Mungkin karena rambutnya yang agak keriting, jadi membuatnya seperti anak kecil yang manis kala tersenyum polos seperti itu. Tetapi aku merasa tidak mengenalinya sama sekali. Walaupun begitu, wajahnya juga tidak terlalu asing.

Melihat reaksiku yang kebingungan membuatnya memasang tampang berpura-pura sedih. Digembungkannya kedua pipinya dengan masih berpura-pura kesal. Kemudian dia beralih melihatku lagi.

“Padahal tadi Kenzo sudah memperkenalkan diri loh. Tetapi sepertinya pikiran kak Hana sedang berkelana di tempat lain.”

Mendengarnya berbicara seperti anak kecil yang sedang ngambek membuatku tertawa geli. Tunggu dulu, Kenzo..

“Januarta?” tanyaku kemudian. Raut wajah Kenzo mulai berubah. Ia tersenyum manis kembali dan mendekatkan tubuhnya ke arahku.

“Bingo! Ah, ternyata kak Hana masih ingat sama Kenzo loh! Senangnya..,”

Seorang gadis yang sebelumnya melukis di sebelah Kenzo, kini ia berdiri di tengah-tengah antara aku dan Kenzo.

“Hey, kalian nih ngobrol terus. Untung saja bu Tiana, pengajar ekskul seni kita tercinta memberikan kelonggaran kita melukis tanpa perlu diawasi lagi olehnya,”

“Duileh, Umi. Lagipula ini ekskul kali, bukan lagi di kelas. Jadi menurutku nggak bakal seketat itu deh,” gerutu Kenzo.

“Ingatlah wahai kawan. Bagi bu Tiana, kita bisa bebas memikirkan ide untuk melukis kapanpun dan dimanapun. Kalau menurut bang Imman, seni itu merupakan impian yang tiada batas.”

“Mpreeettt..,” balas Kenzo lagi. Aku tertawa geli melihat celotehan keduanya. “Eh, betewe, siapa tuh bang Iman?”

Lihat selengkapnya