Luka Tanpa Asa 2

Aijin Isbatikah
Chapter #9

9| Penuh Prasangka

Seorang wanita muda yang mengenakan jilbab dan jas berwarna putih itu meminta kak Haru untuk menunggu di luar ruangan. Setelah pintu tertutup, hanya kami berdua yang duduk berhadapan dengan dibatasi oleh meja segi empat. Wanita muda itu adalah dokter dari poli Jiwa yang menanganiku sekarang. Senyuman darinya selalu membuatku gugup. Aku tidak bisa menebak apa yang dipikirkannya tentangku saat ini.

“Halo, Hana. Bagaimana kabarmu hari ini?” tanyanya kemudian.

“Alhamdulillah. Baik, dok,” kataku agak gugup.

“Bagaimana hari-harimu di sekolah sekarang?”

“Menyenangkan. Semenjak saya ikut ekskul melukis, saya merasa emosi apa yang saya rasakan bisa tersalurkan disana,” aku bisa membayangkan bagaimana hari-hariku di kelas melukis. Hari-hariku menjadi kian berwarna setelah Umi ikut menjadi anggota di ekskul melukis. Ditambah lagi dengan hadirnya Kenzo semakin membuat suasana menjadi semakin ceria.

“Wah, pasti menyenangkan ya bisa melukis apapun yang Hana suka,” pujinya. Aku mengangguk senang. “Emosi apa yang seringkali kamu salurkan melalui lukisan?”

Aku terdiam sesaat. Apa aku bisa jujur soal ini pada seseorang yang baru mengenalku beberapa bulan ini. Tetapi memang adanya dokter ini kan untuk menyembuhkan sakit mental yang aku sendiri pun tidak mengerti rasa sakit apa yang aku miliki. Tetapi sepanjang pertemuan kami, dokter muda ini memang selalu tertarik mendengar semua apa yang aku ceritakan.

“Tidak tahu kenapa terkadang saya melukis dalam keadaan marah. Bukan marah yang biasa. Tetapi marah yang tidak bisa saya kendalikan sendiri.”

“Dari amarah yang tidak terkendali itu bisa menjadi sebuah lukisan yang seperti apa?”

Aku termenung sesaat. Lukisan bak darah merah yang mengucur setelah kupoles dengan kuas membuat tubuhku sedikit gemetar.

“Lukisan itu penuh dengan warna merah. Sebenarnya saya sendiri hampir mual saat melihat hasil dari lukisan itu, dok. Saya tidak suka lukisan saya.”

Dokter itu tersenyum kembali.

“Hana tidak perlu melukis kalau tidak suka.”

“Saya suka!” jawabku cepat.

“Kalau suka, lebih baik tetap melukis saja. Tetapi dengan menyalurkan emosi yang berbeda.”

Aku mencondongkan tubuhku sedikit ke depan.

“Maksud dokter?”

“Hana bisa tetap melukis dengan emosi yang penuh kemarahan. Tetapi Hana juga bisa melukis saat hati merasa senang,” ucapnya dengan tenang. Ku sandarkan tubuhku di kursi kembali sembari berpikir.

“Memang sih semenjak ada anggota-anggota baru di ekskul melukis, saya jadi tidak merasa sendirian. Suasana hati saya bisa berubah dengan baik.”

“Anggota baru? Berarti Hana punya teman baru lagi ya?”

“Iya. Mereka itu Umi dan Kenzo. Adik kelas saya. Mereka suka sekali bertengkar. Tetapi bagaimanapun juga berinteraksi dengan mereka itu sesuatu yang menyenangkan. Mereka ramah, baik, dan cerewet sekali.”

Dokter itu mendengarkanku bercerita ngalor-ngidul tentang kedua anggota ekskul-ku dengan wajah sumringah. Entah kenapa ada perasaan lega setelah mengungkapkan banyak hal padanya.

“Maaf, dok. Saya jadi ikut-ikutan cerewet.”

“Hahaha.. Hana, cerewet bukan sesuatu hal yang buruk. Bagus malah. Itu berarti kamu selalu memiliki topik yang menyenangkan untuk dibicarakan.”

Aku pun tersenyum malu mendengarnya.

‘Baguslah,’ pikirku. Aku menjadi sedikit teringat masa lalu dimana aku masih belum terlalu bisa berbicara bahasa Indonesia. Bahkan Zeno mengajariku dengan sukarela. Lalu aku pun selalu berlatih berbicara pada teman-teman yang lain juga, termasuk kak Haru. Dulu dia selalu marah kala aku mengekorinya dan tidak berhenti berbicara padanya. Aku terlalu cerewet, katanya.

“Hana, rutin minum obat?”

Aku pun tergagap sesaat.

“Ah, maksud saya, apa Hana minum obat setiap hari sesuai jadwal?”

Aku pun menundukkan kepala sembari mengangguk pelan.

“Apa saja obat yang diminum?”

Diriku terperangah sesaat.

“Maksud dokter nama obatnya? Ma.. Mana mungkin saya ingat! Obatnya banyak sekali!” setelah kusadari bahwa aku baru saja berdiri dan meninggikan suaraku kepadanya, dengan segera aku duduk kembali dengan tenang. Aku berusaha untuk menjaga kewarasanku dan menunjukkan perilakuku sewajar mungkin.

“Maaf, dok. Saya tidak bermaksud membentak dokter,” ucapku lirih. Kepalaku masih menunduk, tetapi mataku masih melirik ke arahnya. Entah kenapa aku takut jika dokter itu marah kepadaku. Padahal sebelumnya kami baik-baik saja. Tetapi aku baru ajaa merusak hubungan baik yang baru kita bangun.

It’s okay, Hana. Kamu baik-baik saja?” mendengarnya bertanya tentang keadaanku tanpa mempertimbangkan perasaannya setelah aku bentak barusan membuatku hampir menangis seketika. “Hana, kalau kamu menangis. Menangis saja. Tidak apa-apa.”

Diriku tak kuasa menahan air mata yang sudah mengalir deras. Dokter muda itu mengambil sekotak tisu dari rak atas di belakangnya dan meletakkannya tidak jauh dariku.

“Dokter mengingatkanku pada kak Haru. Kak Haru juga selalu mengatakannya padaku. Hana, menangis saja. Tidak apa-apa,” kuambil tisu untuk mengusap air mata dan ingus yang hampir keluar. “Aku merasa cukup bahagia karena dikelilingi oleh orang-orang baik seperti kalian. Tidak seperti 'orang itu'. Selalu menyalahkan mama karena sudah melahirkanku. Saya dibilang pembawa sial karena kelainan genetik yang saya miliki. Saya tidak pernah merasa kalau dulu dia pernah menyayangiku dengan tulus.”

“Hana, bisakah kamu menggambarkan seperti apa sosok orang itu bagimu?”

Wajahku menunduk sesaat. Kulipat-lipat tisu yang aku gunakan sebelumnya untuk mengusap air mataku. Lantas kurasakan emosi yang mulai bergemuruh di dalam dada. Seakan-akan aliran darahku sudah begitu mendidih.

“Dulu saya pernah merasakan kasih sayangnya. Tetapi semenjak saya masuk sekolah menengah pertama, ia mulai berubah. Perusahaan game yang orang itu dirikan sudah bangkrut. Orang itu menyalahkan kelainan genetik pada rambutku yang dipercaya membawa sial untuknya. Dia mulai mabuk-mabukan, selalu memukuliku tanpa alasan yang jelas. Bahkan menyiram seragam sekolah saya dengan minuman keras. Dia tidak pantas disebut sebagai manusia.”

“Bagi Hana, manusia itu yang seperti bagaimana?”

“Manusia itu.. Selalu hidup dengan jiwa yang positif, memiliki jiwa yang sehat, dan terus bekerja keras untuk bertahan hidup. Manusia itu selalu berpikir ke depan. Tidak putus asa seperti 'orang itu'. Dia hanya bisa memukuliku dan mama dengan mengucapkan sumpah serapah.”

“Jadi bagi Hana, ‘orang itu' bukan manusia karena selalu menyiksa Hana dan ibu Hana secara fisik. Bagi Hana, ‘orang itu' berpikir mundur, bukan berpikir maju seperti layaknya manusia. Apa betul, Han?”

Aku mengangguk cepat.

“Kemarin saya melihat ‘orang itu' di depan sekolah. Saya sudah pernah memikirkannya beberapa kali apa yang akan saya lakukan jika bertemu dengannya lagi.”

“Apa yang ingin Hana lakukan jika kelak bertemu dengannya lagi?”

“Saya.. ingin membalas semua apa yang pernah dia lakukan kepada saya. Saya ingin memukulinya dengan perkakas di rumah, bahkan saya ingin mengatakan semua sumpah serapah seperti yang dia katakan pada saya dulu setiap harinya. Saya tidak ingin memberikannya celah untuk bernafas. Saya ingin dia merasakan rasa sakit yang sama seperti apa yang saya rasakan.”

“Lalu apakah Hana sudah melakukan semua hal itu padanya kemarin?”

Emosi yang semula meluap-luap, kini mulai kembali ke titik nol secara tiba-tiba. Terbayang kembali sosok ‘orang itu' sedang berdiri di depan sekolah dengan penampilan bak tunawisma.

Lihat selengkapnya