Luka Tanpa Asa 2

Aijin Isbatikah
Chapter #10

10| Kehidupan yang Berbeda

“Assalamualaikum,” ucap Zeno dan Reta secara bersamaan. Keduanya melepaskan sepatu dan kaos kaki di depan pintu rumah. Kemudian Reta mengikuti si tuan rumah yang telah masuk duluan ke dalam rumah. Terdengar suara balasan dari dalam ruangan dapur. Keduanya berjalan menuju ruangan dapur yang tidak jauh dari ruang tamu.

“Eh, anakku sudah pulang. Ada Reta juga toh,” sambut bu Hermawan sembari memotong wortel.

“Iya, bun. Hmm.. Baunya sedap sekali, bun. Sudah tercium dari luar. Lagi masak apa sih, bun? Reta bantu ya?”

“Eh, nggak usah. Reta duduk manis ajah, nanti kita makan sama-sama. Sayur sop dan dadar jagung kesukaan si kembar.”

“Iya, Ta. Kamu duduk ajah gih di ruang tamu. Kan kita mau belajar bareng. Aku ganti baju dulu ya,” imbuh Zeno. Reta langsung manut dan duduk di kursi sofa. Ia pun segera mengeluarkan alat tulis dan buku materi yang dibutuhkan.

“Diminum dulu jus melonnya, Ta,” bu Hermawan memberikan segelas jus melon padanya. Wajah Reta cerah seketika.

“Eh, bunda tahu ajah kalau aku lagi pingin minum yang seger-seger. Terima kasih, bunda.”

“Bunda.. Bunda.. Emangnya bundaku itu bundamu apa?” canda Zeno yang baru saja datang dan mendengar perkataan Reta.

“Eh, emangnya nggak boleh? Bunda Zuna ya bundaku juga dong. Kusniyah manggil bunda juga nggak kamu larang. Pilih kasih lu, Zen,” balas Reta. Mereka saling membalas ejekan dengan memeletkan lidah.

“Sudah, sudah. Reta dan Kusniyah juga semuanya anak-anak bunda kok,” ujar bu Hermawan sembari mengulum senyum. Reta tersenyum penuh kemenangan.

“Oh ya, bun, tadi Zuna sudah pulang ya?” pertanyaan Reta membuat senyuman bu Hermawan lenyap seketika. Zeno berdeham ketika memahami situasi tersebut.

“Anu, tadi aku lihat Zuna ada di kamarnya. Sudahlah, Ta. Kita belajar sekarang yuk. Nggak inget apa besok remidi.”

Zeno mulai membuka buku materi matematika yang sudah disiapkan Reta sebelumnya. Reta pun melihat kecanggungan di antara Zeno dan bu Hermawan. Ia merasa jika keadaan sudah benar-benar berubah semenjak kasus Zuna sebelumnya. Bu Hermawan jarang menyebut nama Zuna maupun bercanda dengan anak perempuannya itu. Beliau lebih banyak diam jika Zuna berada di sekitarnya.

Bahkan Zuna sendiri pun tidak lagi berlama-lama berada di dekat bundanya seperti dulu. Jikalau Reta dan Kusniyah berkunjung ke rumah Zuna, mereka selalu mengobrol di dalam kamar Zuna. Tidak lagi mengobrol di ruang tamu seperti dulu.

Suasana yang dulunya ramai penuh canda tawa, kini sepi senyap. Bahkan bu Hermawan yang selalu tertawa, kini tawanya terlihat begitu sendu. Sebenarnya hal itu membuat Reta merasa kurang nyaman. Tetapi di sisi lain dia merasa sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Jadi kadangkala dia merasa perlu untuk menghidupkan suasana hingga berubah cerah kembali.

“Nah, Reta. Sekarang kamu kerjakan dulu beberapa soal yang sudah aku lingkari ini. Kalau sudah, nanti kita bahas bersama,” kata Zeno. Reta berusaha mengerjakan satu soal hingga melewati waktu beberapa menit. Dia sama sekali belum menggores pena di atas kertas. Zeno geleng-geleng kepala. “Kamu nggak tahu caranya?”

Reta tertawa cengengesan. Ia merasa sedikit malu karena tidak bisa mengerjakan soal satupun. Diserahkannya buku tulis pada Zeno.

“Zeno yang baik hati. Nomor satu gimana ya caranya? Kasih tahu caranya dooong,”pintanya. Zeno tersenyum sembari geleng-geleng kepala.

“Jadi begini caranya, Ta..,”

Bu Hermawan yang telah menyiapkan hidangan makanan untuk makan siang langsung berseru pada Zeno, “Zen, ajak Reta sama adikmu makan siang dulu. Ayo! Keburu dingin loh!”

“Makan siang! Asyiiiikkk!!!” Reta menjadi tidak fokus belajar lagi dan langsung beranjak pergi ke meja makan. Zeno merasa greget melihat kelakuan Reta.

“Reta..!!!!” serunya sambil gigit jari. Lalu Zeno berdiri dan menaiki lantai atas untuk memanggil Zuna. Ia mengetuk pintu kamar Zuna yang masih tertutup.

“Zun, makan dulu yuk.”

Pintu kamar terbuka setengah. Zuna hanya melongokkan kepalanya sembari menggelengkan kepalanya.

“Kakak sama bunda dulu ajah deh yang makan. Nanti aku nyusul.”

Zeno menghela nafas. Sudah bisa ditebak lagi-lagi Zuna tidak ingin makan bersama keluarganya. Ia juga jarang makan di luar. Zeno merasa khawatir dengan kondisi saudara kembarnya itu. Tubuhnya juga terlihat agak kurusan.

“Kasihan loh bunda sudah susah payah masak sayur sop buat kita. Bunda juga sudah bikin dadar jagung kesukaanmu.”

“Aku.. masih kenyang,” dustanya. Zeno mencoba berpikir kembali apa yang harus ia katakan untuk membujuk Zuna agar mau makan bersama.

“Eh, ada Reta loh di bawah. Temenin dia gih.”

“Lah, ngapain dia disini? Tadi Reta nggak bilang sama aku kalau dia mau kesini.”

“Besok Reta remidi matematika. Tapi sedari tadi dia kelihatan males banget belajarnya. Mendingan kamu temenin dia makan sama belajar. Siapa tahu kalau ada kamu disana bisa tumbuh semangat belajarnya gitu.”

Zuna mendengus kesal.

“Yang ada kakak pasti bakal teriak-teriak melihat kami lebih banyak ngobrol daripada belajar.”

Zeno mengusap wajahnya kelelahan. Begitu banyak alasan yang dikemukakan oleh adiknya. Akhirnya ia memutuskan untuk mengalah.

“Nggak kok. Kakak nggak bakal marah.”

“Yakin kak Zeno nggak marah-marah?”

“Iya, yakin. Sudah yuk turun. Mereka sudah lama nungguin kita makan loh.”

Zeno turun beberapa anak tangga dan menoleh ke belakang. Adik kesayangannya masih berdiri di ambang pintu. Namun setelah itu ia pun keluar dan menutup pintu kamarnya. Mereka pun menuruni tangga bersama-sama.

Melihat teman baiknya duduk disampingnya, membuat Reta merasa senang. Ia memeluk gemas sahabatnya itu. Sementara itu bu Hermawan meletakkan nasi ke dalam piring Zeno dan Reta. Hal itu membuat perasaan Zuna kembali sensitif.

‘Biasanya kan ibu mengambilkanku nasi duluan, baru kak Zeno. Kenapa sekarang malah mereka berdua yang duluan dikasih nasi?’

Zuna bergegas ke dapur dan kembali membawa centong nasi. Saat bu Hermawan hendak meletakkan nasi di piring anak perempuannya, Zuna segera mengangkat piringnya dan mengambil nasi yang ada di bakul. Bu Hermawan terpaku seketika.

“Zun, kamu kok ambil nasi sendiri sih? Kan bunda tadi..,” perkataan Zeno terpotong saat bu Hermawan memegang tangannya memberikan isyarat untuk diam. Lalu bu Hermawan meletakkan nasi tersebut di piringnya.

“Kalian makan duluan ya. Bunda pergi ke kamar mandi dulu,” ucap bu Hermawan dengan senyuman yang tampak dipaksakan. Selepas beliau pergi, Zeno mendekatkan kursi yang didudukinya hingga merapat di kursi adiknya.

“Apaan sih, kak Zen. Sempit tahu.”

“Heh, sampai kapan kamu diam-diaman sama ayah dan bunda?! Pasti sekarang bunda lagi nangis di kamar mandi gara-gara kamu!  Perbuatan kamu ke bunda tadi itu benar-benar keterlaluan!”

“Loh, bukannya bunda yang masih mendiamkan aku? Lagipula sepertinya bunda sudah nggak sayang lagi sama aku!”

“Wajar kalau bunda marah dan mendiamkanmu. Bukannya kamu sudah tahu konsekuensi yang harus dihadapi karena perilaku burukmu itu?!! Kalau saja kamu itu bukan adikku, aku juga nggak akan..,” Zeno langsung berhenti berbicara. Ia tersadar bahwa perkataannya mungkin agak keterlaluan. Ia sadar kalau perilaku Zuna barusan sudah keterlaluan. Tetapi dengan membentaknya dan menyalahkannya lagi atas masa lalu bukan cara yang baik untuk menyadarkannya.

Namun sepertinya terlambat, Zuna sudah mendengar perkataan Zeno. Ia menitikkan air mata sambil tersenyum penuh prasangka.

“Nggak akan apa, kak? Ayo teruskan! Nggak akan berbicara maupun bergaul denganku kan kak?”

Reta yang sedari tadi diam melihat suasana yang kian memburuk berusaha menenangkan Zuna. Namun gadis itu menepis tangannya dan beranjak keluar rumah.

“Zun.. Zuna!” panggilnya. Ia hendak mengejar Zuna, akan tetapi Zeno menahannya untuk pergi.

“Biarkan Zuna belajar untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Sekarang kita makan dulu, baru setelah itu kita belajar lagi.”

“Zen, dia kan adikmu. Saudara kembarmu! Kalian pasti punya batin yang sama. Apa yang kalian rasakan pasti juga akan sama. Kenapa sikapmu lebih keras padanya daripada dengan teman-temanmu? Padahal kamu bisa kan memberikan penjelasan secara baik-baik tanpa harus mrnyakitinya? Kamu selalu dikenal bisa memberikan solusi pada teman-temanmu, tetapi kenapa kamu malah memberikan jalan buntu pada adikmu sendiri?”

“Kenapa kamu selalu ikut campur urusan orang lain? Belajar buat remidi besok ajah nggak bersemangat. Tetapi saat membahas urusan orang lain, kamu begitu membara! Lebih baik urusi dulu urusanmu itu,” Zeno kembali bersiap untuk makan.

Reta masih bingung apa yang harus dilakukannya sekarang. Mengejar Zuna atau kembali makan dan meneruskan belajarnya. Tetapi akhirnya ia memutuskan untuk duduk kembali. Zeno berdeham lagi dan mengucapkan beberapa kalimat yang membuat rasa kesal Reta sirna.

“Zuna memang saudara kembarku. Aku juga percaya bahwa kami memiliki insting dan perasaan yang sama. Aku pun peduli padanya. Untuk saat ini dia masih butuh waktu untuk mencerna segalanya. Jadi biarkanlah dia sendirian dulu.”

***

Zuna tengah meratapi hidupnya dengan berdiri dan bersandar di pohon besar yang rindang. Kepalanya menengadah sembari menutup kedua matanya. Semilir angin terasa menyegarkan. Ia agak terkejut mendengar suara pagar berderit dari rumah yang tidak jauh darinya. Ia pun mengintip dari sana.

“Ternyata mereka toh,” ucapnya. Hana tampak menggeser pintu pagar dan Haru memasukkan motor ke dalam halaman rumah. Zuna berbalik lagi dan berusaha menutupi tubuhnya dibalik pohon agar tidak terlihat. Ia tidak ingin kehadirannya mengganggu mereka. Apalagi kini dia hanya ingin sendirian saja.

“Han, aku kan sudah minta maaf,” Zuna bisa mendengar dengan jelas keributan kecil antara Haru dan Hana, walaupun pintu pagar sudah tertutup rapat. Keduanya saling meninggikan suara. “Kamu jangan ngambek terus dong!”

“Ngambek? Apa itu ngambek?”

Zuna hampir tertawa mendengar pertanyaan polos Hana.

Lihat selengkapnya