Jam istirahat akan tiba sekitar 15 menit lagi. Aku masih memperhatikan ceramah dari guru Sosiologi. Yap, kini aku sudah berada di kelas XI dengan peminatan IPS. Bahkan orang-orang di sekitarku bingung karena mengira aku bakalan ada di kelas Bahasa. Aku pun menerima keputusan dari tes peminatan yang pernah kulakukan dengan lapang dada.
Jadi aku, Kusniyah, dan kak Haru masih satu kelas. Sedangkan Zeno dan Reta berada di kelas IPA, Iwan dan Ridwan berada di kelas Bahasa, sementara Eldo dan Zuna berada di kelas IPS-3, ruang kelasnya tepat berada di sebelahku.
Seseorang menepuk pundakku dari belakang dan memberikan kertas yang sebelumnya sudah diremas. Aku berbalik melihat ke arah kak Haru yang duduk di bangku paling belakang. Dia menunjuk kertas yang ternyata sedari tadi dikirimkannya secara berantai.
“Kertas apaan tuh, Han? Dari Haru?” tanya Kusniyah yang duduk sebangku denganku. Aku pun hanya menganggukkan kepala. “Iih, apaan? Cepet dibaca dong. Jangan-jangan dia menulis kata kangeeeenn gitu.”
Mataku melihat sebentar ke arah guru Sosiologi yang mulai memberikan pertanyaan dan meminta keaktifan siswa untuk menjawab. Setelah kurasa sudah aman, diam-diam aku pun membuka remasan kertas dari kak Haru. Kusniyah ikut membacanya pelan.
"Hana, aku nggak tahan lagi! Yumi itu anaknya hanya pendiam saja kan? Apa dia pernah punya ilmu hitam atau apa gitu? Please, jawab! Aku takut banget! Hah?! Pertanyaan macam apa ini? Nggak laki banget!” sungut Kusniyah. Sepertinya ia memiliki ekspektasi lebih terhadap hubungan kami berdua.
“Ekhem!” aku dan Kusniyah mendongak ke atas. Ternyata guru Sosiologi yang sedari tadi menerangkan di depan kelas, kini sudah berdiri di sebelahku. “Hana! Kusniyah! Coba sekarang berdiri dan kertasnya dibaca keras-keras.”
“Tapi, pak..,” Kusniyah tampak keberatan. Mungkin dia merasa malu. Sedangkan aku masih terpaku dengan tulisan dari kertas itu.
“Baca sekarang atau kalian lebih memilih untuk membersihkan toilet cewek pada jam istirahat nanti?!”
Eeh.. Eeh.. Iya, pak,” Kusniyah menjawil lenganku. Aku pun menganggukkan kepala. Kami berdua membaca kertas itu dengan kompak. Teman-teman sekelas menertawakan kami.
“Kalian memperhatikan apa yang bapak jelaskan tadi?”
Aku dan Kusniyah saling melihat, lalu menggeleng-gelengkan kepala.
“Tadi bapak sedang menjelaskan tentang bystander. Coba deh sekarang kalian jelaskan apa itu bystander?” kami berdua saling melihat lagi. Kusniyah menggerakkan mulutnya tanpa suara. Dari situ aku mengetahui bahwa ia pun tidak tahu.
'Bystander? Sepertinya tidak asing. Oh ya, dulu aku pernah membaca buku yang berkaitan dengan bystander saat pergi ke toko buku bersama dengan Zeno.'
“Pak,” aku mengangkat tangan kananku. “Saya akan menjelaskan apa itu bystander. Jadi bystander itu orang yang melihat aksi bullying, tetapi tidak melakukan tindakan apapun untuk menghentikan pembulian tersebut.”
“Hmm.. Bagus. Kalau upstander?”
“Kalau upstander adalah orang yang melihat aksi bullying, tetapi berusaha untuk menghentikan aksi bullying tersebut.”
“Okay.. Okay. A-plus untuk Hana. Hmm.. Tapi.. Kertas itu.. Siapa yang nulis? Ngaku!” tanya guru tersebut dengan tegas. Kulihat kak Haru mengangkat tangan kanannya. Guru itu geleng-geleng kepala. “Haru lagi.. Haru lagi. Bapak heran sama kamu. Kelihatan sudah tobat tapi terkadang suka bikin masalah. Kalau mau ngobrol bilang dong. Jadi bapak bisa kasih kalian waktu buat ngobrol. Bapak mah sans ajah.”
Krik.. Krik… Suasana di kelas menjadi hening. Namun setelah kami memahami bahwa guru kami sedang berbicara dalam konteks humor membuat kami sekelas kembali tertawa dengan canggung. Awkward sekali!!!!
Bel istirahat berbunyi. Aku dan Kusniyah duduk kembali. Sedangkan guru Sosiologi mengakhiri pelajaran dan keluar kelas. Kak Haru terburu-buru menghampiriku.
“Hana, aku perlu informasi yang akurat tentang sahabatmu itu. Dia itu benar-benar menakutkan!”
Diriku tak kuasa menahan amarah. Ingin rasanya ku pukuli kak Haru sampai aku puas. Tetapi yang aku lakukan hanyalah menatapnya dengan tajam. Kusniyah tampak memahami situasi panas diantara aku dan kak Haru.
“Okay, sepertinya aku harus menemui Reta dan Zuna sekarang. Kalian berdua bisa berbicara disini dulu. Aku pergi dulu, bye!”
Setelah Kusniyah pergi, kak Haru duduk di kursi Kusniyah. Dia masih menunggu jawaban dariku. Aku segera berdiri, namun kak Haru menahan tanganku.
“Tunggu dulu! Han, kamu beneran marah?” tanyanya.
“Bagaimana aku nggak marah?! Kakak bilang kalau Yumi punya ilmu hitam? Bahkan sekarang teman-teman pun tahu kalau Yumi dinilai jelek olehmu.”
“Eh, Han. Kita lagi berpuasa loh. Nggak boleh marah-marah di bulan puasa.”
Mendengarnya berbicara begitu dengan santainya, membuatku semakin murka.
“Kak Haru juga sama! Lagi puasa tapi malah berbicara buruk dan berburuk sangka pada Yumi!”
“Tapi dia memiliki aura yang tidak bisa aku jelaskan.”
“Kalau begitu nggak perlu dijelaskan! Yumi nggak pendiam dan dia juga nggak punya ilmu hitam, puas?!”
“Kamu kok ngomong gitu sih sama aku?” suara kak Haru mulai meninggi. Tampaknya dia juga sudah mulai emosi.
“Tadi kan kak Haru nanya..,”
“Ya nggak usah nyolot juga, Han!”
Mendengar pertengkaran kami, teman-teman langsung memperhatikan kami. Bahkan ada yang sampai berdiri di antara kami untuk menengahi.
“Sudahlah. Kamu yang sekarang memang susah diajak berkomunikasi,” setelah mengatakan hal itu, kak Haru berdiri di dekat ruang masuk kelas dan menghantam pintu kelas dengan tangan kirinya.
“Kak Haru!” teriakku. Dia berbalik melihatmu dengan menahan emosi. “Bagiku Yumi itu upstander. Bagiku Yumi adalah pahlawan bagiku. Tanpanya, mungkin aku tidak akan mampu bertahan dan bisa hidup sampai saat ini.”
Raut wajah kak Haru berubah. Kulihat ia mulai tampak melunak. Baru berjalan beberapa langkah ke arahku, namun langkahnya terhenti sesaat. Ia melihatku dengan wajah sendu. Kemudian ia memutuskan untuk keluar kelas.
Teman-teman sekelas juga sudah bubar dan tidak memperhatikanku lagi. Suasananya sudah kembali normal. Tidak kasak-kusuk seperti sebelumnya.
Aku pun duduk kembali di kursi dan menelungkupkan tubuhku di atas meja. Diriku pun juga merasa tidak terima kalau Yumi, orang yang sangat penting bagiku, mendapatkan persepsi buruk dari kak Haru.
“Kenapa kak Haru berbicara tentang Yumi seperti itu? Seharusnya tadi aku tidak marah kepadanya. Tetapi entah kenapa terkadang aku begitu sulit mengendalikan emosiku. Sudah dua hari ini mereka sama sekali belum mengobrol. Mungkin nanti aku bisa membantu mereka mengobrol bersama.”
***
Nobuko sedang memasak di dapur. Sementara Yumi menjaga Runa sambil menonton TV. Selesai memasak, ia melihat jam dinding yang menunjukkan waktu pukul empat sore. Nobuko segera melepaskan celemeknya dan mencuci tangannya. Setelah itu, ia membawakan sepiring buah melon yang berbentuk kotak-kotak kecil. Diberikannya sepiring buah melon itu pada Yumi.
“Arigatou gozaimasu, obasan,” Nobuko tersenyum melihat Yumi yang tampak antusias menonton tv sambil tertawa sesekali. Yumi juga menggerakkan kakinya memantul ke atas-ke bawah sambil memangku Runa yang juga ikut menonton bersamanya. Saat Yumi tertawa, Runa mendongak sebentar melihatnya lalu ikut tertawa bersamanya.
“Obasan tidak makan juga?”
“Tidak. Hari ini sampai satu bulan ke depan, kami sekeluarga menjalani bulan puasa. Jadi kami menahan untuk tidak makan dan minum dari sebelum matahari terbit hingga matahari terbenam.”
“Setelah matahari terbenam kalian boleh makan?” tanya Yumi sambil mengambil tusukan melon pertama. Terlihat Runa tampak menggapai-gapai seakan ingin memakannya juga. “Runa-chan, no.. no.. melon ya..,”
Yumi menganggukkan kepala sembari tersenyum.
“Yumi punya adik?”
“Tidak. Saya anak satu-satunya.”
“Owh, kamu anak tunggal. Tetapi tante kagum loh melihat kamu sangat pandai menjaga Runa.”
“Eeng.. Eto.. Bagaimana dengan Hana-chan? Apakah dia juga menjaga Runa dengan baik?”
Nobuko agak sedikit tertegun mendengar pertanyaan itu.
“Maaf, obasan. Sebenarnya Hana juga banyak bercerita kepada saya tentang apapun yang dialaminya disini. Jadi saya sedikit tahu apa yang terjadi.”
Nobuko kembali tersenyum kecil.
“Saya tidak menyangka kalau bahasa Indonesia kamu sangat fasih. Padahal dulu Hana saja baru datang kesini masih terbata-bata. Untung saja ada Zeno yang mengajarinya bahasa Indonesia.”
“Saya merasa kagum juga dengan Hana. Hana membantu saya bagaimana cara bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa Indonesia. Saya sangat senang karena akhirnya saya bisa berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia bersama dengan anda dan Hana disini.”