Siang itu, Hana dan Yumi menghabiskan waktu di kamar untuk berdandan. Mereka berdua begitu sibuk mendandani satu sama lain. Hana membantu Yumi untuk memakai make up. Sedangkan Yumi membantu Hana memilih pakaian. Sedangkan Haru dan Zeno sudah menunggu di ruang tamu.
“Mereka kok lama sekali sih? Kita sudah menunggu mereka hampir setengah jam loh. Apa aku hampiri saja ya mereka?” tanya Haru dengan gelisah. Zeno mencegahnya beranjak dari duduknya.
“Sabar dong, Ru. Sebentar lagi mereka pasti akan segera turun. Lagipula kita harus membahas hal ini juga. Kenapa kamu menangkapku untuk ikut jalan-jalan bersama dengan kalian? Jalan-jalan bertiga kan juga seru.”
“Jadi kamu keberatan, Zen?”
“Eh ya nggak juga sih. Tetapi pasti aku bakalan canggung berjalan bersama kalian,” kata Zeno dengan mata mengarah ke arah lain.
Haru tertawa mendengar perkataan sobatnya itu.
“Maksudmu bakalan canggung sama Yumi kan? Tenang ajah! Ternyata dia tidak sependiam itu kok!”
“Tapi kata kamu kemarin .... ”
Haru merangkul Zeno yang tampak ragu untuk ikut bersamanya.
“Anggap saja Haru yang penakut kemarin tidak muncul di hadapanmu. Mungkin kemarin aku terlalu berpikir berlebihan. Hahaha .... ” kata Haru dengan tawa canggung. Zeno menyipitkan matanya dan melihat kecurigaan pada raut wajah Haru yang tampak seperti menyembunyikan sesuatu. Lalu dia menyadari 'sesuatu' itu.
“Aaa ... Kamu cuma ingin berduaan dengan Hana kan? Karena kalau kalian bertiga, kamu akan jadi .... ”
Haru langsung membungkam mulut Zeno setelah mendengar suara langkah turun dari lantai atas. Mereka berdua melihat Hana dan Yumi turun tangga. Kedua gadis itu menggerai rambutnya dan mengenakan bandana klasik dipadu dengan inner dress dan sweater di bagian luarnya.
Mode keduanya sama, namun dengan warna berbeda. Hana mengenakan inner dress hitam dan sweater berwarna biru muda. Bandana nya pun berwarna sama dengan sweaternya. Hana juga mengenakan sling bag berwarna hitam.
Sedangkan Yumi juga mengenakan inner dress hitam dan sweater berwarna coklat. Bandananya juga berwarna coklat. Sling bag yang dikenakannya juga berwarna sama.
“Oh, kalian sudah turun. Lama sekali sih. Kita nunggu sampai karatan nih,” keluh Haru. Hana tertawa mendengar keluhannya. Sementara Yumi melihat ke arah Zeno agak lama. “Zen, kita berangkat sekarang?”
Haru menyenggol lengan Zeno yang sedari tadi tidak menjawab.
“Oh ... Ehh, ya! Kamu ... kelihatan modis sekali, Han,” ucap Zeno kemudian. Hana tertawa kecil mendengarnya.
“Aku jadi teringat saat kita pergi ke toko buku. Kamu kan juga bilang begitu. Hanya saja saat itu kamu tidak mengenakan kacamata.”
“Eh, iya. Sekarang aku pakai kacamata ya.” Obrolan keduanya membuat wajah Haru merengut seketika. Hana menjadi agak salah tingkah ketika menyadari raut wajah Haru yang berubah.
“Eeeng ... Yu ... Yumi-chan juga sekarang tidak memakai kacamata. Dia pakai lensa berwarna coklat,” Hana langsung menggandeng lengan Yumi. Zeno melihat ke arah Yumi sambil tersenyum.
“Iya. Hari ini Yumi terlihat berbeda.”
Yumi tidak menjawab. Kedua matanya membelalak dan tubuhnya diam mematung.
“Hee ... Yumiyumichanchan. Kenapa kamu? Mendadak jadi batu. Biasanya kan kamu bilang bakaa... Bakaaa .... ” kata Haru jahil. Yumi beralih melihat Haru dengan sebal. Hana dan Zeno tertawa melihat ekspresi Yumi. “Iih ... Takuuuttt.”
“Sudah dong, kak. Kenapa kak Haru menggoda Yumi terus sih.”
“Hana-chan, kita pergi kemana?” tanya Yumi.
“Kita akan pergi ke mal Gretos. Gresik town square.”
***
Sore itu Nobuko sedang bermain bersama anak ketiganya, Runa. Ia duduk di atas karpet dan membantu menopang Runa yang sudah bisa duduk sendiri.
“Wah, anak mama pintar sekali. Coba bilang sekali lagi ya ... Ma-ma. Ma-ma ... Mama,” pintanya. Runa mengikuti ekspresi harap-harap cemas dari wajah Nobuko.
“Ma ... Ma .... ” jawab Runa kemudian. Ia pun ikut bertepuk tangan sambil tertawa renyah.
“Duh, pinternya anak siapa sih? Anak siapa sih?” tanya Nobuko sambil mengangkat dan mencium pipi Runa dengan gemas. Tawa Runa semakin keras. Tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pagar dari depan rumahnya.
“Assalamualaikum. Bu Nobuko,” terdengar suara dari luar rumah. Nobuko mengenali suara bu Hermawan. Ia segera bangkit dan bergegas keluar rumah sambil menggendong anaknya.
“Waalaikumsalam. Oh, bu Mita. Silakan masuk, bu. Pagarnya tidak dikunci.”
Bu Hermawan mendorong pagar geser tersebut.
“Itu.. Tadi saya sedang menyapu daun-daun yang ada di pinggir jalan. Biasa ... Daun-daun dari pohon itu banyak yang gugur. Jadi saya masih belum selesai membersihkan daun-daunnya.”
“Maaf ya bu Mita, saya masih belum bisa membantu. Saat ini Adiguna masih belum pulang dan anak-anak sedang pergi. Jadi tidak ada yang menjaga Runa.”
“Nggak apa-apa, bu Nobuko. Nanti sekalian saja bagian depan rumahmu aku bersihkan juga.”
“Terima kasih, bu. Saya jadi tidak enak.”
“Halah, tetangga sendiri kok. Lagipula kita kan sudah seperti kakak-adik. Oh ya, saya sampai lupa. Tadi ada seorang bapak sedang mencari pak Adiguna. Jadi aku menunjukkan rumah ini. Eh, tapi dia hanya berdiri saja di dekat rumahku sambil melihat ke arah sini. Tuh, orangnya. Mencurigakan.”
Nobuko melongok ke arah yang dimaksud oleh bu Hermawan. Ia terkejut seketika saat melihat pria yang mengenakan jas dan kemeja bermotif kotak-kotak, namun tampak lusuh.
“Dia....” belum menyelesaikan kalimatnya, pria itu mulai berjalan ke arahnya. Nobuko memeluk kuat tubuh Runa, seakan-akan menahan rasa sakit hati yang mendalam.
“Pak, bapak Adiguna sedang tidak ada di rumah. Hanya ada istrinya. Mungkin ada yang ingin bapak sampaikan kepada bu Nobuko? Nanti bu Nobuko akan menyampaikan pesan bapak kepada pak Adiguna,” ucap bu Hermawan agak blak-blakan.
Dia memahami bahwa di rumah hanya ada Nobuko dan anaknya. Jadi tidak mungkin jika Nobuko mengundang orang asing itu masuk ke dalam rumahnya. Bu Hermawan melihat Nobuko yang mulai tampak tegang.
“Ba ... Pa .... ” celoteh Runa saat kepalanya menengok ke arah pria itu. Nobuko menggelengkan kepalanya.
“Dia bukan papa, sayang,” ucapnya. Lalu ia menyerahkan Runa kepada bu Hermawan. “Bu, saya boleh minta tolong jaga Runa sebentar di rumah saya?”
“Kamu tidak apa-apa, bu? Wajahmu mendadak pucat begitu. Apa.. Kamu mengenal bapak ini?”
Nobuko menganggukkan kepalanya.
“Nanti akan aku ceritakan. Masuklah dulu.”
“Kalau nanti ada apa-apa , kamu teriak saja ya. Aku akan segera keluar menolongmu,” bisik bu Hermawan sebelum memasuki rumah Adiguna.
Sepeninggal bu Hermawan, keduanya saling menatap satu sama lain. Dari tatapan itu, Nobuko melihat satu hal yang berbeda dari pria itu. Matanya tidak tampak layu seperti dulu. Tidak tercium aroma alkohol juga darinya. Dari tatapannya seolah-olah mengatakan berapa berat beban bersalah yang dipikulnya.
“Nobuko say ... Maksud saya bu Nobuko. Saya mohon maaf karena datang tanpa diundang.” Nobuko melipat kedua tangannya di dada. Lantas ia memalingkan muka berharap ia tidak merasa iba dengan penampilan sosok seseorang yang pernah dicintainya itu. “Bagaimana kabarmu dan Hana? Apa bayi tadi itu ... Anakmu?”
Nobuko menatapnya kembali dengan mata nyalang.
“Kamu jauh-jauh kesini dan hanya ingin berbasa-basi? Maaf, saya tidak pernah menginginkan anda datang lagi di hidup saya dan Hana. Jadi silakan pergi kalau tidak ada lagi yang perlu dikatakan.”
Nobuko segera menarik pintu pagar gesernya. Pria yang bernama Bima itu mencoba menahan pagar tersebut dengan tangannya. Namun tanpa sengaja tangannya menyentuh tangan Nobuko. Wanita itu segera melepaskan diri dan mengibaskan tangannya seolah-olah tangannya baru saja kena sesuatu yang menjijikkan.
“Kurang ajar!” dia langsung menampar pipi pria itu. Matanya tampak berapi-api. “Jangan pernah kamu menyentuhku seujung jari pun. Saya sudah bersuami. Suamiku tidak akan membiarkan lelaki sepertimu menyentuh atau bahkan menyiksaku lagi!”
“Bisakah kita berbicara secara baik-baik? Sebentar saja. Sa.. Saya janji tidak akan menyentuh atau melakukan hal yang buruk padamu.”