Luka Tanpa Asa 2

Aijin Isbatikah
Chapter #14

14| Kebencian Yumi

Usai bersenang-senang di mal, Yumi ikut serta berbuka bersama dengan kami. Di dalam mobil, Yumi mengatakan bahwa ia ingin mencoba nasi krawu. Aku pun teringat kembali bahwa aku pernah bercerita tentang nasi krawu padanya. Rupanya Yumi masih mengingat makanan apa saja yang pernah aku makan disini.

“Oke. Kita sudah sampai. Disini adalah tempat makan nasi krawu paling maknyus yang pernah aku makan,” ucap kak Haru setelah memarkir mobilnya di depan rumah makan nasi krawu.

“Papa selalu membawa kami sekeluarga makan nasi krawu disini,” tambahku. Yumi manggut-manggut saja.

Di dalam ruangan terdapat meja dan kursi panjang. Aku dan Yumi duduk berhadapan dengan kak Haru dan Zeno. Setelah makanan dan minuman datang, Yumi menunggu kami berdoa. Lalu kami pun mulai makan bersama.

“Umm ... Oishii ....” ucap Yumi dalam suapan pertamanya. “Sangat enak.”

Kami bertiga tersenyum melihat Yumi yang tampak menikmati hidangannya. Aku pun merasa lega jika makanan tersebut cocok di lidahnya.

“Pelan-pelan saja makannya, sayang,” kataku sambil meletakkan beberapa helai rambut Yumi yang menutupi sebagian wajahnya di belakang telinga.

“Ternyata sayangnya Hana bukan hanya Haru toh,” goda Zeno. Matanya mengerling ke arah kak Haru yang tampak mulai cemberut. Aku hanya menanggapinya dengan tawa kecil. “By the way, apa Yumi chan punya nama marga? Setahu aku, seharusnya aku memanggil nama margamu, bukan? Apa tidak apa-apa kalau aku memanggilmu dengan nama depan?”

“Uun. Tidak apa-apa. Lagipula saya juga akan menyesuaikan diri dengan nama panggilan seperti Hana disini.”

Zeno tampak terkejut.

“Hana, kamu juga punya nama marga? Kok kamu nggak pernah cerita? Seingatku dulu kamu tidak menyebutkan nama margamu saat memperkenalkan diri di depan kelas deh.”

Aku pun berpikir sesaat.

“Yaa ... Entah kenapa aku merasa kalau nama lengkapku terlalu panjang. Jadi kata mama aku bisa memperkenalkan diri dengan menghilangkan nama margaku. Dengan begitu teman-teman juga tidak akan kesulitan mengingat namaku.

“Tapi di raport tetap ada nama marganya kan?”

“Pasti.”

Setelah menyesap teh hangat, kak Haru ikut bertanya, “Memangnya nama margamu apa, Han?”

“Miyazaki.”

“Miyazaki Hana Asuka? Berarti ada tiga suku kata dong?” tanya kak Haru lagi.

“Iya, kak. Biasanya nama orang asing yang bukan lokal sudah biasa memiliki nama lebih dari dua kata. Kakak lupa ya kalau aku mix-blood?”

“Oh,” kak Haru hanya menjawab singkat saja. Selebihnya ia terlihat merasa tidak nyaman. Mungkin ia merasa tidak enak karena aku hampir saja mengungkit nama ‘orang itu'.

“Eh ya, Han. Kamu kan berdarah campuran Jepang-Indonesia ya?!” seru Zeno. Haru menyenggol bahunya dengan cepat dan memberi isyarat untuk diam. Aku pun tertawa melihat reaksi keduanya.

“Tidak apa-apa kok kalau kita membahas ‘orang itu'. Aku rasa dengan menyebut namanya tidak akan berpengaruh besar lagi padaku.”

Yumi memegang tanganku di atas meja. Aku menanggapinya dengan senyum. Perhatian kecil dari Yumi membuatku menjadi lebih nyaman.

“Kalau ... Yumi-chan. Margamu apa?” tanya Haru kemudian. Saat ditanya, raut wajah Yumi terlihat agak canggung.

Eto ... Kurosawa. Kurosawa Yumi.”

“Yumi Kurosawa ya ... Hmm ... Nama yang bagus,” puji Zeno. Yumi menggelengkan kepalanya.

“Menurut saya tidak bagus. Arti namaku rawa hitam, gelap dan menyeramkan,” ucapnya lagi.

Kak Haru langsung berseru, “Oow, pantas! Aku selalu merasakan aura hitam darimu!”

“Kak Haru! Itu tidak sopan!” balasku. Kak Haru langsung menutup mulutnya Kulihat Yumi yang tidak menanggapi perkataan kak Haru. Padahal biasanya dia selalu menanggapi perkataan kak Haru. Aku bisa melihat wajahnya tertunduk sedih.

“Tetapi .... ” Zeno mulai berbicara. “Bagaimanapun juga, nama kamu kan berasal dari orang tuamu. Pasti mereka juga merasa senang ketika kamu hadir ke dalam hidup mereka. Yumi chan juga harus ingat, di setiap nama dari orang tuamu terselip doa untuk anaknya. Aku yakin kalau hitam tidak selalu buruk. Buktinya, ada beberapa orang yang berkulit dan memiliki rambut gelap, tetapi mereka tetap menjalani hidup dengan bahagia. Jadi seburuk apapun nama yang Yumi miliki, kamu juga pantas bahagia.”

Tak lama kemudian senyuman mengembang dari bibir Yumi. Dia pun berkata, “Arigatou, Zeno-kun.”

Zeno ikut tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Kenapa aku merasa seperti ada yang berbeda dengan reaksi Yumi. Entah kenapa dia bersikap berbeda ketika berbicara dengan Zeno. Wajahnya tampak lembut dan malu-malu. Sedangkan jika berbicara dengan kak Haru, ia berbicara santai seperti saat ia berbicara denganku. Apa jangan-jangan..

“Benar itu, Yumichanchan. Warna hitam juga nggak selalu buruk kok. Buktinya, Hana lebih memilih mengecat rambutnya dengan warna hitam. Karena ia juga merasa kalau warna hitam lebih cocok di rambutnya. Iya kan, Hana?” kata kak Haru tiba-tiba. Ingin rasanya aku menjambak rambutnya. Terkadang kak Haru memang suka random dan blak-blakan. Rasanya bikin kesal bukan main.

Bakaa .... ” kataku dan Yumi secara bersamaan. Lalu kami berdua saling melihat karena kaget bisa mengucapkan hal yang sama kepada kak Haru. Kami pun tertawa bersama. Kak Haru melihat kami dengan wajah cengok. Zeno juga ikut tertawa bersama kami.

Aku pun teringat sesuatu.

“Oh ya, Zen. Aku lupa untuk memberitahumu. Selagi Yumi-chan disini, apakah boleh kalau dia belajar bahasa Indonesia denganmu?”

“Oh yeah. Kami sudah membicarakan hal itu sebelumnya. Aku akan mengajarinya berbicara bahasa Indonesia. Sedangkan Yumi juga akan mengajariku berbicara bahasa Jepang.”

“Hee.. Hontoni? Wah, akhirnya kamu mendapat guru bahasa Indonesia kedua, Yumi-chan!” seruku dengan mata berbinar-binar. Yumi tersenyum sembari menganggukkan kepalanya.

“Eh, Zen. Tapi kamu jangan mengajarinya kata-kata yang nggak-nggak seperti ajaran Hana ya.. Seperti bodoh lah. Apa lah,” dumel kak Haru.

“Idih, kak Haru. Jangan salah sangka. Aku selalu mengajarinya bahasa yang baik dan benar yaa ....”

“Oh ya, satu lagi! Yumichanchan juga harus diajari bahasa yang sopan dan nggak asal nyablak.”

“Iih, kak Haru tuh yang selalu asal kalau ngomong,” sahutku lagi. Kak Haru hendak berbicara lagi.

“Pacar Hana berisik juga ya,” celoteh Yumi sambil mengorek telinga kanannya.

“Hei.. Hei.. Aku tahu kamu ngomong apa ya .... ” tunjuk kak Haru. Yumi tidak terlalu menggubrisnya. Ia berlagak cuek sembari meminum es teh miliknya. Aku dan Zeno sampai heran melihat pertengkaran kecil diantara keduanya.

***

“Apa? Jadi ... Salah satu alasan kamu bercerai dan langsung menikah dengan pak Adiguna adalah untuk menghindari mantan suami anda?” ulang bu Hermawan. Pada akhirnya Nobuko menceritakan kisah hidupnya kepada bu Hermawan. Ia pikir sudah saatnya bu Hermawan tahu dan bisa mengerti situasi sulit yang dimilikinya.

“Tidak hanya untuk menghindari Bima. Aku melakukan semua ini hanya untuk memberikan kehidupan yang baru bagi Hana. Begitu pula dengan Adiguna. Dia juga ingin memberikan hidup yang bahagia untuk Haru. Tetapi setelah berjalannya waktu, kami menyadari bahwa kami bisa saling mencintai dan membutuhkan satu sama lain.”

Bu Hermawan agak sedikit terkejut mendengarnya. Ia tidak menyangka bahwa selama ini hidup Nobuko dan Hana mengalami sepak terjang yang begitu berat. Bu Hermawan merasa jika ia berada di posisi Nobuko, ia pasti tidak tahu bagaimana cara untuk melanjutkan hidup.

“Orang yang bernama Bima itu ... Hah, benar-benar memalukan! Aku tahu kalau pekerjaan itu mata pencaharian yang utama. Tetapi perusahaan yang bangkrut hanyalah materi semata. Menurutku yang lebih penting adalah keluarga. Dengan mereka yang berada di sisi kita, mungkin hidup yang dijalani juga tidak akan terlalu berat. Huh, sebagai sesama orang Indonesia, aku menjadi sangat malu!” ujar bu Hermawan setengah emosi.

“Sebenarnya bukan masalah dia orang Indonesia atau bukan. Sekalipun Bima berasal dari negara yang lain pun, dia juga akan tetap kehilangan keluarganya jika wataknya selalu seperti itu. Saya sudah memberikannya kesempatan berkali-kali untuk berubah. Tetapi seiring waktu dia berubah menjadi seorang Bima yang tidak lagi saya kenal. Makanya saya tidak percaya jika dia bisa berubah menjadi lebih baik.”

Bu Hermawan menghibur Nobuko dengan mengusap-usap bahunya.

“Saya berharap dia tidak berulah dengan berada di sekitar Hana. Anakku sudah cukup bahagia tanpanya. Kehadirannya akan menjadi malapetaka bagi Hana.”

“Nobuko, tenang saja! Kalau sampai dia kesini lagi, aku akan usir dia dengan sapu lidi!”

Nobuko hanya tertawa kecil mendengar kelakar bu Hermawan.

Lihat selengkapnya