Entah kenapa aku memutuskan untuk memberikan kesempatan kepada ‘orang itu' untuk berbicara denganku. Kini kami berdua duduk di taman sekolah. Kak Haru lah yang memilih taman yang dianggapnya sebagai tempat teraman bagi kami, para siswa. Aku berbalik dan melihat kak Haru yang duduk agak jauh dariku. Dia mengibas-ngibaskan tangannya seraya menunjuk dirinya yang seolah-olah mengatakan, ‘Sudahlah. Teruskan saja, Hana. Tenang saja. Aku ada disini kok.’
Aku pun kembali duduk tegak dan menarik nafas panjang. Rasanya tidak sanggup jika aku menengok ke arah pria tua disampingku ini. Aku pun menggeser dudukku agar lebih jauh dan berjarak darinya.
Dengan ujung mataku, aku bisa melihat bahwa sedari tadi ‘orang itu' terus saja melihatku dengan wajah harunya. “Katakan apa yang perlu dikatakan. Setelah itu janji nggak akan bertemu denganku dan mamaku lagi,” kataku memulai pembicaraan.
“Bolehkah ayah bercerita sebentar saja?” pertanyaannya membuatku muak. Sejak kapan dia harus meminta ijin dariku untuk melakukan atau mengatakan sesuatu?!!
“Terserah. Waktuku juga nggak banyak. Jadi persingkat saja intinya apa,” sahutku seraya melipat kedua tangan di dada.
Menurutku ‘orang itu' sama sekali tidak berubah. Dia selalu suka bercerita banyak hal. Dulu waktu kecil, aku juga mengagumi segala hal yang ia ceritakan padaku. Tetapi mungkin aku sudah terlalu muak dan tidak ingin mendengarkannya lagi. Terutama suaranya yang enggan kudengar lagi.
‘Orang itu' mulai bercerita, “Semenjak kamu dan mama kamu pergi meninggalkanku, hidup ayah menjadi terlunta-lunta. Ayah kehilangan rumah dan menjadi tunawisma di jalanan.”
Aku mengingat betul jika sebelum kami pergi, mama meletakkan sebuah amplop berisi sejumlah uang di atas meja. Mama mengatakan bahwa beliau tidak tega meninggalkan ‘orang itu' tanpa uang. Mama masih memikirkan bagaimana hidup ‘orang itu' berjalan kedepannya setelah perceraian terjadi. Paling tidak, mama berharap ‘orang itu' bisa mulai berubah menjadi lebih baik setelah kami berpisah dengannya.
“Anda sudah menggunakan semua uang mama saya untuk minum-minum lagi kan?” tebakku seketika. Aku menengok sesaat. Melihat mulutnya yang terkatup rapat, membuatku semakin yakin bahwa tebakanku benar adanya.
“Maaf, Hana. Saya mengira waktu itu kalian hanya bercanda denganku. Meninggalkan sejumlah uang dengan surat yang mengatakan bahwa kalian benar-benar ingin meninggalkanku. Jadi saya tidak menyentuh uang itu sama sekali. Namun kalian tidak kunjung pulang. Saat menerima surat perceraian, mulai membuatku hilang akal. Aku menggunakan uang mama kamu untuk berjudi. Tapi ... Tapi ... Setelah itu saya sangat menyesalinya .... ”
“Lebih parah daripada yang saya kira. Pantas saja Anda menjadi seorang tunawisma,” potongku dengan senyum mengejek. Aku mengira bahwa dia akan memukuliku lagi seperti dulu karena aku sudah menghinanya. Tetapi ‘orang itu' hanya menundukkan kepala.
“Saya menyadari kebodohan saya saat itu,” perkataannya membuatku agak sedikit terkejut kala pria tua itu mengangkat wajahnya lagi. Wajahku langsung menoleh ke arah depan dan berusaha untuk tenang. “Saya terlunta-lunta di jalanan. Hari itu musim dingin tiba. Entah darimana asalnya, saya menemukan selembar uang kertas yang terselip di tumpukan salju. Saya menemukannya begitu saja. Setelah itu, saya juga menemukan sejumlah uang logam di bawah mesin minuman. Dari sana saya benar-benar merasakan betapa berharganya uang itu. Selama ini saya sudah menyia-nyiakan uang yang selalu Nobuko berikan. Saya tidak memanfaatkan uang yang ia berikan dengan baik.”
“Baru sadar sekarang?” tanyaku dengan sinis. ‘Orang itu' hanya tertawa canggung tanpa bisa menyembunyikan rasa malunya. Bola mataku berputar dengan sikap yang angkuh.
“Akhirnya ayah masuk ke dalam minimarket dan membeli onigiri. Saat berada di dalam antrian, entah kenapa seperti banyak mata yang melihat ke arah ayah. Saya tahu saya tidak berpakaian pantas. Aroma tubuh saya juga tidak begitu wangi. Saat giliran membayar, ayah yakin jika pramuniaga minimarket itu melihat ayah dengan kesan yang buruk. Tanpa sadar ayah memarahinya. Kalau dipikir-pikir lagi seharusnya itu murni kesalahan ayah.”
Mendengar kisahnya membuatku mematung seketika. Perlakuan yang dialami oleh ‘orang itu' agak mirip dengan perlakuan teman-teman di sekolahku yang lama. Mereka menjauh, duduk yang begitu berjarak dariku, memberikan pandangan yang tidak nyaman, serta tidak segan menutup hidung. Apakah ini yang disebut sebagai ‘karma'?
“Apa yang anda tabur, itu yang anda tuai,” ucapku lirih. Aku yakin sekali bahwa ‘orang itu' mendengar perkataanku juga. Namun aku cukup takut untuk melihatnya secara langsung. Jadi mataku terus tertuju ke depan dengan harapan tetap kuat mendengarkan kisahnya sampai selesai.
Aku kira kali ini dia akan marah dan menyalak seperti anjing. Tetapi lagi-lagi dia melanjutkan kisahnya lagi, “Seorang lelaki yang kira-kira berusia sama denganku mencoba menghentikan amarahku dengan mentraktirku minum bersama dari mesin minuman kaleng. Akhirnya ayah mengikutinya. Saat kami minum bersama, ia bertanya padaku, ‘Tidakkah Anda ingin menikmati hidup yang singkat ini?’ Saya terkejut saat mendengarnya berbicara dengan bahasa Indonesia. Ternyata dia menyadari jika saya itu orang Indonesia sejak saya marah dengan pramuniaga itu. Saya marah dan mengumpat dalam bahasa Indonesia. Saat itu saya merasa sangat malu bertemu dengan sesama orang Indonesia di dalam situasi yang tidak baik.”
Kuhentak-hentakkan kaki dengan rasa gelisah campur benci menjadi satu. Lantas kuberanikan diri untuk menoleh ke arahnya dengan wajah datar, “Masih lama? Tidak perlu berputar-putar. Langsung pada intinya saja.”
“Bisakah kamu mendengarkan ayah kali ini saja, Hana? Ayah janji tidak akan lama,” pintanya. Aku pun sengaja menghela nafas didepannya seolah-olah menunjukkan bahwa aku benar-benar bosan mendengarkannya berbicara. Akhirnya dengan terpaksa aku pun mengangguk.
“Terima kasih, Hana. Jadi ... Nama pria itu adalah Loko Sutedjo. Dulu Loko itu seorang pecandu narkoba. Sudah seringkali Loko menghisap rokok ganja. Awalnya dia merasa hidupnya menjadi lebih berwarna. Setiap hari Loko merasa bahagia. Hingga pada suatu hari dia merasa mual-mual, sakit perut, matanya tampak merah, badannya mudah berkeringat disertai gemetaran tiada henti. Loko pun dipanggil di ruang HRD karena kinerjanya lebih lambat daripada biasanya dan menyebabkan pekerjaannya berantakan. Di rumah pun istrinya selalu mengancamnya untuk bercerai saat mereka berdua bertengkar. Tidak disangka istrinya pun benar-benar menceraikannya. Hak asuh anak jatuh di tangan istrinya.”
“Waw!” seruku sambil bertepuk tangan tanpa melihat wajahnya. Aku pun tersenyum mengejek lagi di depannya. Entah kenapa sepanjang obrolan ini, aku berusaha mati-matian mencari cara untuk terus mengatakan hal buruk padanya, “Anda dan tuan Loko benar-benar sesuatu ya. Kombinasi yang bagus. Sebelas-dua belas nggak ada bedanya. Sama-sama berperilaku buruk dan ditinggalkan oleh istri dan anak.”
Anehnya, ‘orang itu' malah terkekeh sembari menggelengkan kepala. Kemudian ia berkata, “Ternyata Hana sudah dewasa ya? Bahkan bahasa Indonesia sudah sangat lancar. Bahasa sarkasme-nya juga semakin baik.” Diriku merasa terpojok dengan kata-katanya. Aku hanya mengerucutkan bibir dengan ketus seraya melipat tangan di depan dada kembali.
“Lanjutkan saja ceritanya. Tidak perlu menilaiku.”
“Loko juga harus direhabilitasi setelah istrinya mengakui di pengadilan bahwa mantan suaminya seringkali mengonsumsi narkoba. Loko bercerita bahwa tujuannya mengonsumsi narkoba hanyalah untuk lari dari kenyataan yang terjadi di dalam hidupnya. Di dalam imajinasinya kala berbaur dengan ganja, ia melihat dengan jelas bahwa Loko hidup bahagia bersama dengan istri dan anaknya. Namun pada kenyataannya, istrinya selalu bertengkar dengan anaknya. Kali terakhir, Loko melihat pertengkaran antara anak dan istrinya yang berkaitan dengan nilai sekolah anaknya yang kian menurun. Istrinya memarahi anaknya dan memintanya untuk belajar lebih rajin dan menambah waktu les privat untuknya agar nilai sekolahnya semakin naik. Keduanya saling bersinggungan saat istrinya menyuruh anaknya memilih universitas yang bergengsi disana dan berbanding terbalik dengan pilihan anaknya yang menginginkan universitas yang tidak begitu populer. Dalam kondisi mengonsumsi narkoba, Loko melihat istri dan anaknya sedang berbincang sambil tertawa. Menurut kesaksian istrinya saat itu, Loko sependapat dengan anaknya sambil terus saja tertawa. Istrinya semakin marah dan pertengkaran beralih dengan suaminya. Begitulah akhirnya istrinya benar-benar memutuskan untuk bercerai.”
Kehadiran kak Haru cukup mengagetkanku, “Hana, kalian masih belum selesai mengobrol?”
“Apa yang perlu dibicarakan? Sedari tadi dia juga yang berbicara berputar-putar. Sedari dulu memang begitu. Berbicara tidak ada isinya,” kataku langsung berdiri. Bersiap untuk pergi. Kak Haru menahanku untuk pergi.
“Tunggu. Kalian bisa terus mengobrol sampai selesai kok. Hana, coba dengarkan dulu apa yang ingin bapak ini sampaikan. Paling tidak, dengarkan saja ceritanya kali ini saja. Bukankah setelah ini kalian tidak akan bertemu lagi?” ucapan kak Haru membuatku agak sedikit kesal. Kenapa kak Haru seperti lebih membela ‘orang itu' daripada aku?
Aku pun duduk di kursi kembali. Kali ini kak Haru juga menemaniku duduk. Jadilah aku sedikit bergeser dan duduk di antara mereka berdua. Kak Haru mempersilakan ‘orang itu' untuk melanjutkan ceritanya.
“Sepanjang di tempat rehabilitasi, Loko belajar untuk menerima kenyataan hidup. Dia mulai memahami betapa berartinya anak dan istrinya saat berada disisinya. Seandainya saja waktu dapat diputar kembali, dia tidak ingin menjadi orang yang sabar, tetapi orang yang langsung bertindak tegas kepada istri dan anaknya. Loko ingin jauh lebih sabar dan menjadi orang yang bisa diandalkan, bukannya malah ikut bertengkar dan melarikan diri dari kenyataan dengan memakai narkoba. Keluarga adalah segalanya. Keluarga merupakan tempat dimana kita berbagi kebahagiaan, tempat saling mendukung, dan saling melengkapi satu sama lain.”
“Tolong agak sadar sedikit. Bukankah filosofi anda tentang keluarga itu sedikit berbeda dengan apa yang anda katakan tadi ya? Keluarga itu hanyalah alat yang bisa dimanfaatkan sebagai penopang hidup. Keluarga hanyalah boneka hidup yang bisa disiksa sampai mati,” ungkapku dengan mata membelalak. Kak Haru menarik lenganku dan memintaku untuk kembali tenang. Namun aku masih terus melotot ke arah ‘orang itu' dengan mata nanar. “Benar kan?!” bentakku lagi.
Pria itu menganggukkan kepala dengan begitu pasrah. Aku kembali melihat ke depan dengan senyum kemenangan. Kemudian tidak disangka, pria itu berbicara lagi, “Ayah menyadari bahwa saat kita bertiga berada di dalam satu rumah. Di tengah musim salju menerpa, ayah tidak pernah merasa kedinginan. Namun kini saat musim semi berlalu pun, ayah merasakan kedinginan dan kehampaan. Ayah tahu penyesalan datang terlambat. tetapi ayah ingin menebus kesalahan ini dengan membangun hubungan baik dengan kamu dan mama, nak.”
Aku tidak sanggup lagi mendengar permintaan maafnya yang terus saja terngiang di telingaku. Bahkan saat ini dia ingin menebus kesalahan atas apa yang sudah dilakukannya selama bertahun-tahun. Memangnya apa yang bisa dia perbaiki sekarang? Hanya dirinyalah yang rusak. Sedangkan aku dan mama sudah memiliki kebahagiaan sendiri. Kehadirannya lagi hanyalah menjadi pengganggu di kehidupan kami sekarang.
Aku pun berdiri dan menatap matanya yang sembab untuk terakhir kalinya, “Tebus kesalahan itu dengan tidak lagi mendekatiku dan mama. Pergi sejauh mungkin dari hidup kami.”
Setelah itu aku pun pergi sambil terus tertawa pahit. Aku bisa mendengar suara kak Haru yang terus saja memanggilku untuk kembali. Tetapi aku terus berjalan tanpa menoleh ke belakang lagi.
***
Sore itu Yumi sedang belajar bersama dengan Zeno di ruang tamu. Terlihat Zuna yang berpura-pura memainkan ponselnya sembari duduk santai di atas sofa. Diam-diam matanya terus saja memperhatikan gerak-gerik Yumi dan kakaknya. Setelah mengajari Yumi beberapa kata tentang peribahasa, kini giliran Zeno yang belajar membaca catatan yang sudah disiapkan oleh Yumi sebelumnya.
“Choto ki iiitemmo i desuuu ka?” Zeno mulai bertanya kepada gadis yang duduk di sebelahnya. Yumi tersenyum tipis saat mendengar cara bertanya Zeno yang menurutnya agak kacau.
“Maksudmu chotto kiitemo ii desu ka? (Boleh tanya sedikit?)” tanyanya mengulang ucapan dari Zeno. Cowok itu garuk-garuk kepala sembari tertawa malu. “Sekarang ikuti gerakan mulut saya untuk mengeja kalimat ini bersama. Cho ... tto .... ”
Keduanya saling berhadapan dan mengeja kalimat tanya itu tiap kata per kata. Setelah dirasa sudah paham, Yumi mengulang kalimat tanya sebelumnya, “Chotto kiitemo ii desu ka?”
“Chotto kiitemo ii desu ka?” salin Zeno secara perlahan. Keduanya sangat senang karena Zeno berhasil mengucapkan kalimat tersebut. Walaupun masih harus dibantu dengan mengeja. Zuna memicingkan matanya ketika melihat keduanya saling tos sambil tertawa lebar. 'Sudah lama aku tidak melihat tawa lebar dari kak Zeno. Dia jarang sekali tertawa sih,’ kata Zuna dalam hati.
Yumi yang menyadari lirikan matanya langsung membuat Zuna sedikit terkejut. Gadis berambut kriwil itu berpura-pura mengetik layar ponselnya. Yumi kembali fokus pada pelajaran yang ia ajarkan kepada Zeno. Dia menutup buku catatan dan menulis sesuatu di lembar yang kosong. Zeno penasaran dan mendekatkan kepalanya hingga terbentur dengan kepala Yumi.
“Aduh!”
“Ittai!”
Keduanya saling menoleh dan beradu pandang. Mereka pun menertawakan kejadian itu hingga tanpa sadar ada seseorang yang ikut tersenyum jahil melihat adegan keduanya.
‘CEKRIK!’ suara jepretan kamera dari arah ponsel Zuna membuat keduanya terkejut.
Zuna pun juga ikut kaget mendengar suara jepretan foto tersebut, “Waduh, kukira sudah mode silence loh!” katanya sembari tertawa iseng. Gadis itu melihat empat mata yang tidak mengenakkan diantara dua orang didepannya.
“Zuna, hapus nggak tuh foto?!” seru Zeno gemas. Adik perempuannya menggelengkan kepalanya. Giliran Yumi yang berjalan mendekati Zuna dan tangannya menengadah ke arahnya. Akhirnya Zuna memberikan ponselnya pada Yumi.
“Hapus, hapuslah! Padahal momen tadi bagus banget buat diabadikan tahu,” dumelnya kesal. Lama Yumi tak bersuara. Zeno penasaran dan ikut melihat ponsel tersebut.
“Gyaaa ... !!!!” belum sempat melihat, Zeno terkejut dengan suara teriakan Yumi. Zuna pun menutup kedua telinganya. Lagi-lagi Zuna terkejut saat Yumi duduk berdempetan dengannya dan menunjukkan foto dari layar ponsel tersebut. Yumi berkata dengan girang, “Fotonya bagus sekali! Sudut gambar yang diambil juga fantastik! Saya dan Zeno terlihat fotogenik. Seakan-akan kami benar-benar sedang tertawa sungguhan.”