Luka Tanpa Asa 2

Aijin Isbatikah
Chapter #19

19| Kekacauan

Pada jam istirahat, aku langsung pergi keluar kelas tanpa menoleh sedikitpun. Padahal sebenarnya aku mendengar Kusniyah berteriak memanggilku. Tetapi aku mengabaikannya. Saat ini aku hanya ingin sendirian di pojok lapangan basket. Tanpa siapapun.

Kugoreskan pensil melalui buku gambar yang sebelumnya sudah kubawa. Lebih baik aku mengalihkan pikiran dengan menggambar lapangan bola basket yang saat ini sedang sepi. Paling tidak, aku bisa kabur dengan masalah yang menimpaku tadi pagi.

Namun setelah beberapa goresan, diriku tak kuasa menahan diri. Sekelebat bayangan kejadian tadi pagi membuatku tanpa sengaja mematahkan ujung pensil yang sedari tadi kutekan dengan kuat. Dengan rasa frustasi, kubanting buku gambar ke bawah dan kulempar pensil hingga menggelinding menjauh.

“Sial! Nggak bawa rautan lagi!” keluhku sambil mengacak-acak rambutku hingga berantakan. Ku tutup wajah dengan kedua tangan, berharap wajah bodoh ‘orang itu' bisa lenyap begitu saja. Entah kenapa diriku seakan diselimuti oleh rasa bersalah.

“Jadi begini ya kalau Hana lagi marah?” aku mengenali suara orang dihadapanku. Ku buka telapak tanganku dan menengadah. Zeno. Dia selalu menemukanku disini.

Cowok itu memberikan buku gambar dan pensil yang kulempar tadi. Kuterima dengan perasaan sedikit malu.

“Maaf kamu harus melihatku yang seperti ini,” ucapku dengan wajah menunduk. Zeno meletakkan buku gambar dan pensil di sebelah kiriku. Kukira dia akan pergi, tetapi cowok itu memilih duduk di sebelah kananku.

“Kamu nggak perlu minta maaf. Bukankah manusia juga seharusnya punya rasa marah di dalam dirinya? Jadi kamu nggak perlu menahan diri.”

Zeno selalu seperti itu. Setiap aku sedih dan ingin waktu untuk sendiri, dia selalu menemukanku disini. Tapi hari ini, aku ingin mendorong jauh semua orang yang ada didekatku.

“Pergilah, Zen.”

“Apa, han?” tanyanya tidak mengerti. Aku menoleh ke arahnya dengan alis menukik ke bawah.

“Pergi. Tinggalkan aku. Saat ini aku hanya ingin sendiri.”

Matanya terbelalak tidak percaya.

“Kamu kesal padaku?” tanyanya lagi. Aku tidak lagi menjawab. Kupalingkan wajah dan kembali menundukkan kepala. Kukira dia bakal pergi. Tetapi ternyata Zeno tidak bergerak sedikitpun dari duduknya. “Oke. Aku tidak akan bertanya apapun. Biarkan aku duduk disini. Anggap saja aku batu atau hantu. Anggap aku nggak ada disini.”

“Terserah,” kataku kemudian. Kami berdua hanya duduk di kursi yang sama. Tanpa berbicara lagi. Beberapa siswa lalu-lalang. Namun kami tetap tidak bergeming. Tidak terganggu dengan kehadiran siapapun. Hanya duduk. Tanpa bersuara.

Tanpa terasa bel masuk berbunyi. Aku memutuskan untuk berdiri duluan dan mengambil peralatan menggambarku. Saat hendak beranjak pergi, Zeno memanggil namaku. Aku menoleh tanpa memandangnya sedikitpun.

“Aku tidak tahu apa yang membuatmu marah, tetapi aku harap ketenangan tadi bisa sedikit meredakan kemarahanmu.”

Lagi-lagi ... Orang terdekatku memaklumi keadaanku. Padahal aku yang memiliki masalah dan aku yang merasa marah. Kenapa Zeno yang harus merasakan amarah dariku? Ini nggak adil untuknya. Aku berbalik dan melihat ke arahnya.

“Maaf kalau tadi aku marah kepadamu. Nggak seharusnya aku begitu. Tapi aku sama sekali nggak merasa kesal padamu. Aku hanya .... ” ingin sekali aku mengatakan apa yang sedang aku rasakan sekarang. Tetapi jika itu terjadi, aku tidak dapat membendung air mataku. Untuk kesekian kalinya, aku nggak ingin membuat orang-orang di sekitarmu merasa khawatir. Akhirnya aku hanya mengatakan, “Terima kasih, Zen. Aku kembali ke kelas dulu ya.”

Zeno mengangguk dan melambaikan tangannya perlahan. Aku segera berhari-hari kecil dan menahan air mata yang hampir tumpah. Aku tahu bahwa aku selalu menahan dan menekan semua emosiku. Bahkan psikiater pernah mengatakan bahwa semua itu bisa memicu munculnya mati rasa secara fisik yang aku alami sebelumnya. Tapi kalau aku tidak menahannya, entah sudah berapa banyak orang-orang yang akan tersakiti karenaku.

“Hana, kamu darimana saja?” tanya Kusniyah saat aku duduk kembali di kursi. Sebenarnya aku tidak ingin kembali di kelas, tetapi tidak mungkin aku terus berada di luar kelas dan meninggalkan mata pelajaran. “Sedari tadi Haru mencarimu kemana-mana. Setelah dia kembali ke kelas, kulihat wajahnya merah sekali seperti menahan amarah.”

Aku pun mengernyitkan kening. “Kak Haru ... marah?” dengan segera, aku menoleh ke belakang. Kulihat kak Haru yang sedang tidur di atas meja. Wajahnya tertutup dengan lengan tangannya. Aku berbalik ke arah Kusniyah lagi. “Nggak mungkin dia lagi marah. Lihat saja. Tidurnya saja sepulas itu.”

“Kamu yakin kalau dia sedang tidur?” tanya Kusniyah. Kuamati kak Haru lagi. Dia seperti sedang tidur. Tetapi entah kenapa aku meragukan hal itu. Baru saja aku berdiri hendak menghampirinya, tetapi ku urungkan saat ada guru memasuki ruangan kelas.

Aku menoleh ke belakang. Kak Haru sudah bangun. Mata kami berpapasan. Mata elangnya menatapku berbeda. Tidak seperti kak Haru yang menatapku lembut seperti biasanya. Dia seperti sedang .... marah? Tetapi apa yang sudah membuatnya marah?

Saat guru memulai pelajaran, aku kembali berbalik dan memperhatikan beliau yang sedang menerangkan pelajaran. Sepanjang pelajaran perasaanku menjadi tidak tenang. Aku tahu ada yang salah dengan kak Haru. Tapi aku tidak tahu apa alasannya.

***

Sepanjang perjalanan pulang, Haru dan Hana hanya diam membisu. Tidak satupun diantara mereka yang memulai pembicaraan. Sesampainya memasuki halaman rumah, Hana masuk ke dalam rumah duluan. Hari melepas helm dan menatap kepergian Hana dengan wajah sendu.

“Heh, ngapain bengong? Tiati ntar kesambet loh.”

Haru menoleh ke arah sumber suara. Rupanya Zuna mengamati mereka sedari tadi dari balik tembok. Setelah Hana masuk ke dalam rumah, barulah ia muncul di balik pembatas dinding rumah mereka.

“Zuna, aku kira siapa,” ujar Haru. Cowok itu turun dari sepeda motornya.

“Mau ngobrol bentar?” tanya Zuna. Haru berpikir sebentar. Lantas ia menganggukkan kepala dan berjalan keluar rumah. Rupanya Zuna sudah membukakan pintu pagar untuknya. Haru berjalan menghampiri Zuna yang sedang duduk di kursi depan halaman rumah sambil meminum jus melon dengan santainya.

Haru langsung duduk di kursi sebelah Zuna. Gadis itu menawarinya cemilan kuping gajah. Haru mengambil beberapa cemilan itu dalam genggamannya.

“Loh, kamu nggak puasa?” pertanyaan Zuna langsung menyadarkannya. Haru meletakkan kembali cemilan itu ke dalam toples. Zuna tertawa ngakak.

“Kamu sendiri ya nggak puasa?” tanya Haru balik.

Lihat selengkapnya