Hana benar-benar gigih dalam mendekati kakak tirinya. Setiap pagi, ia mengetuk pintu Haru untuk mengantarkan sarapan pagi. Setelah kedatangan Nobuko dan Hana di rumah ini, tidak sekalipun Haru makan di meja makan bersama dengan mereka. Haru lebih memilih mengambil sisa hidangan makanan di dapur dan membawanya ke dalam kamar. Maka dari itu, Hana memergunakan kesempatan itu untuk selangkah lebih dekat dengannya. Setiap pagi ke sekolah, Haru dan Hana tidak berangkat bersama. Haru mengendarai sepeda motornya sendiri. Sementara Hana naik angkutan umum bersama dengan Zeno dan Zuna.
Awalnya papa meminta Haru untuk berangkat bersama dengan Hana. Akan tetapi hal itu malah menimbulkan keributan antara ayah dan anak. Tanpa sengaja Zeno dan Zuna hendak berangkat ke sekolah. Lantas Zeno menawarkan Hana untuk berangkat bersamanya. Jadilah kini Hana terbiasa berangkat bersama dengan saudara kembar tersebut. Namun hal itu tetap tidak membuat Hana patah semangat untuk terus mendekati Haru. Sebelum jam belajar dimulai, Hana bercerita ngalor-ngidul pada Haru yang menelungkupkan tubuhnya di atas meja. Saat jam istirahat tiba, Hana meletakkan roti rasa melon di atas meja Haru. Kalau Haru terbangun dari duduknya, Hana mempergunakan kesempatan itu untuk mengekor di belakang Haru. Yap! Dimanapun! Saat Haru membaca buku di perpustakaan, jam olah raga di lapangan, bahkan ke toilet.
“JANGAN MENGIKUTI AKU LAGI!” bentak Haru di depan pintu toilet.
“Kenapa, kak?” tanya Hana dengan wajah polosnya.
“INI KAN TOILET COWOK! NGAPAIN KAMU IKUT MASUK, HEH?!!” mendengar hal itu malah membuat Hana terkekeh. Haru tidak habis mengerti. Padahal ia tidak mempedulikan Hana sama sekali. Ia tidak ingin berbicara dengannya sedikitpun. Tetapi keadaan selalu memaksanya untuk semakin ingin membencinya. Satu hal yang tidak diketahui Haru, kenapa selama ini Hana selalu tersenyum setiap Haru memaki dan menyakitinya? Seakan-akan Hana tidak pernah merasakan rasa sakit seperti dirinya.
Haru mengingat kali pertama ia bertemu dengan Hana. Seorang gadis berambut panjang dan lurus seukuran pinggang dan mengenakan bandana di atas kepalanya sedang berdiri bersama dengan seorang wanita paruh baya. Kala itu mereka sedang berbicara dengan papanya di bandara juanda. Saat papa menunjuk ke arah dimana ia berada, Haru berpura-pura tidak melihatnya. Tanpa disangka gadis itu berlari menghampirinya. Haru hampir saja tertawa saat melihat Hana yang kebingungan berbicara bahasa Indonesia sembari membuka-buka kamusnya. Sebenarnya dari lubuk hatinya yang terdalam, ia tergelitik untuk mengenal Hana. Akan tetapi ia tahu siapa wanita paruh baya itu dan siapa Hana.
Haru mengira bahwa ibu Hana yang telah menggoda papanya untuk dinikahinya. Hal itu membuat Haru semakin membenci papanya. Ia merasa bahwa makam ibunya belum mengering, tetapi papanya malah memasukkan wanita lain beserta anaknya ke dalam rumahnya. Yang tidak Haru mengerti, kenapa papa tega melakukan hal itu padanya dan juga ibunya?
Setelah dari toilet, Haru menengok kanan-kiri sebelum keluar dari ruangan tersebut. Ia tidak melihat Hana di sekitar sama sekali. ‘Hah, syukurlah,’ pikirnya lega. Ia keluar dari toilet dan berjalan dengan santainya. Hari ini tidak ada guru di kelasnya. Mereka harus belajar mandiri di kelas. Seperti biasa, wakil kelas, Kusniyah, menulis catatan dari guru di papan tulis untuk disalin kembali oleh teman-temannya.
“Kak Haru!” tiba-tiba saja terdengar suara yang tidak asing di belakang Haru. Ia pun berbalik dan melihat Hana sedang membawa dua buku di tangannya. Hana melambaikan tangan ke arahnya. Haru segera berlari untuk menghindari Hana. Gadis itu terkejut dan ikut-ikutan berlari mengejarnya. Saat ada belokan pertigaan, Haru segera bersembunyi di belokan sebelah kiri. Ia bersembunyi tepat di bawah tangga. Sayup-sayup ia masih mendengar suara Hana. “Kak Haru! Kak Haru!”
“Berisik! Kak Haru, kak Haru! Aku bukan kakakmu, bego!” keluh Haru dengan nada berbisik. Hana sudah berada di pertigaan. Haru mencoba bersembunyi lebih dalam sembari mengintip Hana yang kebingungan mencarinya. Lalu ia memutuskan untuk belok ke arah sebelah kanan. Belum sampai berlari lagi, kakinya tersandung dengan sebelah kakinya sendiri. Hana pun terjatuh. Kedua bukunya terlepas dari tangannya. Ia jatuh tertelungkup.
“ADUH!” serunya sembari kesakitan. Haru merutuki kebodohan Hana. Lantas ia hendak menolong Hana yang masih tertelungkup. Namun ia mendengar seseorang sedang menuruni tangga dan memanggil nama adik tirinya itu. Ia pun bersembunyi kembali.
“Hana! Kamu tidak apa-apa? Ayo aku bantu,” Haru mengintip lagi. Rupanya Zeno datang di waktu yang tepat. Ia segera membantu Hana berdiri. Ia juga mengusap-usap rok Hana yang agak berdebu. “Ada yang sakit?” tanyanya dengan penuh kekhawatiran. Hana malah tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Kemudian Hana mengingat kedua bukunya yang terjatuh di lantai. Hana membersihkan debu dari buku-buku itu dan memeluknya erat. “Tadi kamu dari perpustakaan?”
“Iya. Tadi saya pinjam untuk kak Haru,” ucapan Hana membuat Haru penasaran buku apa yang sedang dibawa olehnya. Ia mencoba mengintip lagi.