Luka Tanpa Asa

Aijin Isbatikah
Chapter #7

7 | Kasar

Seperti biasa, malam itu mama, aku, dan papa sedang makan bersama di meja makan. Sedangkan kak Haru menenggelamkan diri di dalam kamarnya. Ia tidak pernah makan bersama kami. Aku menjadi tergelitik untuk bertanya kepada papa tentang bagaimana kak Haru yang dulu. Setelah menelan makanan terakhir, ku beranikan diri untuk menatap papa.

“Pa, saya boleh bertanya?” tanyaku hati-hati. Papa tersenyum padaku dan menatapku dengan penuh perhatian.

“Ya. Tanya apa, sayang?” bingo! Rupanya papa sedang dalam suasana hati yang bagus. Semoga papa tidak marah jika aku bertanya tentang kak Haru. Mataku melirik ke arah mama sebentar. Rupanya beliau juga sedang memperhatikanku.

“Kak Haru memang dulunya pendiam seperti ini ya, pa?” pertanyaanku membuatnya terbatuk-batuk saat beliau sedang meminum air putih. Papa terbatuk-batuk sebentar, lalu menatapku lagi. Kini dengan tatapan datar.

“Yap, seperti itulah kakakmu,” ucap beliau singkat. Sepertinya papa kurang suka jika aku membahas kak Haru. Rasanya seolah-olah seperti ada jurang pemisah di antara hubungan mereka. Aku harus berusaha lebih keras lagi untuk bertanya lebih lanjut. Ayo Hana!

“Tapi apa yang saya dengar dari teman-teman katanya kak Haru itu dulunya begitu ramah, bergaul dengan siapapun, bahkan ikut ngeband juga loh, pa! Saya semakin kagum deh dengan kak Haru!” seruku dengan menunjukkan wajah bangga. Papa baru saja akan menyendok makanan untuk suapan terakhirnya. Namun ia menghentikan aktivitasnya ketika mendengarku berbicara lagi. Ia menatapku tanpa berkata apa-apa.

“Loh, ternyata Haru anggota band juga seperti kamu, Han? Wah, anak-anak mama hebat di bidang seni ya. Hmm.. ya kan, pa?” mama ikut berbicara. Hal itu membuat papa berdeham setelah sebelumnya terbatuk-batuk lagi. Mama menuangkan air putih di gelasnya lagi. Setelah beliau meminumnya, ia melihat ke arahku lagi.

“Itu Haru yang dulu, nak. Sekarang dia Haru yang berbeda. Bukan lagi siswa teladan. Hanya suka cari masalah bersama dengan teman-teman berandalnya itu. Entahlah.. apa dia tahu kalau yang sudah dia lakukan selama ini hanya merugikan dirinya sendiri.”

Aku melihat kekecewaan di mata papa. Beliau langsung menunduk agar aku tidak begitu menyadari kesedihannya. Rupanya selama ini papa juga mengkhawatirkan keadaan kak Haru yang semakin jauh darinya. Tentu saja penyebab dari ini semua adalah kehadiranku dan mama. Tetapi aku juga tidak bisa menyalahkan keputusan mama yang telah memberikanku seseorang yang baik dan penyayang seperi papa.

“Pa,” panggilku. Papa kembali melihatku. “Saya tahu bahwa sebenarnya di hati yang terdalam, kak Haru sayang papa. Sayang teman-temannya. Sayang dengan dirinya sendiri. Saya tidak tahu kapan kak Haru akan kembali seperti kak Haru yang dikenal oleh semua orang. Tetapi yang pasti, kak Haru akan kembali kepada kita semua, pa. Saya janji akan selalu berada di dekatnya dan memastikan bahwa kak Haru baik-baik saja.”

“Hana,” papa bangkit dari duduknya dan menghambur ke arahku. Beliau memelukku dengan erat. Ku rasakan sesengguk dari isak tangisnya. “Terima kasih. Papa sangat berterima kasih padamu karena kamu tidak menyerah begitu saja padanya. Haru dan papa begitu beruntung memilikimu sebagai bagian dari keluarga kami, nak. Terima kasih.”

Aku tidak dapat berkata-kata. Namun air mataku mulai mengalir dalam sekejap. Kesedihan yang dirasakan papa tersampaikan jelas padaku. Ku tepuk-tepuk punggung papa perlahan. Berusaha menenangkannya. Aku juga melihat mama yang sudah berdiri di samping papa sembari mengusap air mata yang mengalir di pipinya.

***

Hari itu hari minggu. Aku melihat jelas di kalendar yang terpampang di atas meja belajar. Ku balik beberapa lembar dari kalender itu. Terdapat salah satu tanggal yang sebelumnya sudah ku lingkari dengan spidol merah. Aku pun tersenyum melihat kalender tersebut. ‘Sebentar lagi! Aku harus memberikan kado apa ya?’ pikirku sembari terus tersenyum. Terdengar suara seseorang sedang menaiki tangga. Dengan segera ku buka pintu kamar.

Lihat selengkapnya