Kurasakan tatapan heran dari Reta, Kusniyah dan Zuna. Mereka melihat jaket berjenis duffle coat yang ku kenakan. Entah kenapa hal ini menarik perhatian mereka. Sebenarnya aku hanya mengenakan jaket untuk menutupi luka ku. Aku berharap mereka tidak menemukan goresan luka ku. Aku tidak ingin membuat mereka khawatir.
“Hana, kamu nggak kepanasan?” tanya Reta. Sementara Kusniyah dan Zuna sudah tertawa terbahak-bahak. “Itu kan jaket untuk musim dingin.”
Tubuh Reta bergetar. Ia juga tidak mampu menahan tawanya. Aku hanya tertawa kaku sembari mematut diri. Apa aku terlihat seaneh itu di mata mereka? Sebenarnya aku punya sweater tipis tetapi ternyata masih berada di jemuran baju.
“Sweaterku masih basah. Jadi aku pakai yang ini.”
“Hmm.. pasti mau gaya-gayaan seperti Reta kan?” tebak Zuna. Aku melihat Reta sedang memamerkan blazer rajut berwarna cokelat yang dikenakannya. Memang aku sudah memperhatikannya mengenakan blazer itu dari hari pertama dimana kita bertemu.
“I.. iya! Saya ingin tampil gaya! Ehh.. ano.. keren?!” kilahku sembari ikut mencoba memamerkan jaketku dengan bergaya seperti Reta. Mereka bertiga tertawa semakin keras. Aku pun hanya terkekeh. Giliran aku yang heran. Apa ada yang lucu dariku?
“Kamu itu kok lucu banget sih, Hana! Iih, bikin gemas!” Khusniyah mencubit kedua pipiku. Aku mengaduh kesakitan. “Eh, maaf. Sakit ya , Han?” ku gelengkan kepalaku sembari tertawa kecil. Kami berempat tertawa bersama.
Aku tidak pernah merasa sedekat ini dengan teman-temanku sebelumnya. Namun kedekatanku dengan mereka mengingatkanku dengan seorang teman yang kutinggalkan disana. Mengingatnya membuatku ingin segera menghubunginya. Setelah kaki ku menapak di Indonesia, aku belum sama sekali menghubunginya melalui email. Bagaimana aku bisa melupakannya begitu saja? Hana, kamu tidak boleh seperti ini! Merasakan kebahagiaan dari teman-teman barumu dan melupakan teman lamamu. Aku harus menghubunginya sekarang juga!
Aku segera duduk di bangku dan mengetik kata-kata bertuliskan, ‘Hai, Yumi! Bagaimana kabarmu sekarang? Maaf ya saya baru menghubungimu sekarang. Aku baik-baik saja disini.’ SEND!
“Wah, kamu mengetik apa sih? Aku tidak bisa membaca tulisannya. Hurufnya Jepang banget!” perkataan Zuna membuatku terkekeh. Rasanya aku begitu beruntung bisa mengenal Zuna. Dia lah yang mengenalkanku dengan Reta dan Khusniyah. Berkat Zuna, aku bisa dengan mudah berkenalan dengan teman-teman disini. Karenanya, aku bisa memiliki sahabat. Zuna benar-benar gadis yang baik.
“Aku baru saja mengirim email pada temanku di Jepang.”
“Eh, beneran?! Namanya siapa?”
“Aku biasanya memanggilnya Yumi-chan. Dia..,” belum selesai menjelaskan, aku segera beranjak dan berlari kecil menghampiri kak Haru yang baru saja datang. “Kak Haru! Kak, tahu nggak kalau saya memakai jaket agar terlihat keren seperti kakak!” aku berusaha mengajaknya berbicara lagi. Aku masih belum menyerah. Ini belum batasku. Aku pasti bisa melunakkan hati kak Haru. “Warna jaket kita sama, kak!”
Kak Haru tetap acuh padaku. Dia terus berjalan menuju bangkunya. Aku mencoba terus berbicara padanya sambil mengikutinya dari belakang. Bel masuk pun berbunyi. Aku segera kembali duduk di bangku. Reta dan Khusniyah juga sudah duduk di bangku depan. Tapi mereka membalikkan tubuh mereka dan melihatku dengan wajah cemberut.
“Kalian kenapa?” tanyaku agak bingung. Mereka menatap satu sama lain. lalu melihat ke arahku lagi.
“Hana, aku tahu kalau Haru itu kakakmu. Tapi..,”
“Hiissh, lama amat!” potong Reta. Aku masih bingung dengan apa yang ingin mereka katakan. Reta mengetuk meja ku beberapa kali. “Hana, kami itu kasihan sama kamu yang setiap hari mengekor pada Haru. Apalagi kakakmu itu tidak pernah sekalipun mengobrol secara baik-baik denganmu.”