Sore ini aku akan pergi ke rumah Zeno untuk belajar bersama dengannya. Ku siapkan beberapa buku yang diperlukan dan ku masukkan ke dalam tas. Aku tidak sabar untuk belajar dengan Zeno. Aku merasa sepanjang aku diajari bahasa Indonesia olehnya, aku bisa dengan mudah bergaul dengan teman-temanku. Dia juga tidak terlalu melatihku dengan bahasa yang terlalu baku. Dia sering juga memarahiku karena selalu menggunakan kata ‘saya’ padanya. Karena katanya itu terlalu baku. Aku kira mimpinya menjadi seorang guru akan berhasil kelak. Sekarang aku akan mengerjakan pe-er dengannya. Kukira nanti akan ada Zuna juga. Aku menjadi semakin bersemangat belajar.
Aih, seandainya saja kak Haru juga mau ikut kami belajar bersama. Aku pernah mengajaknya, tetapi dia hanya membatu dan menatapku tajam. Sepertinya itu artinya sebuah penolakan. Sudah cukup lama aku tinggal disini. Hampir setahun. Aku sudah semakin terbiasa dimarahi olehnya. Aku pun semakin menyadari bahwa sebenarnya kak Haru tidaklah sejahat seperti apa yang orang lain pikirkan.
“Okeh! Sudah siap, Hana? Berangkat!” seruku bersemangat. Sesaat sebelum membuka pintu kamar, aku mendengar suara orang tengah berbincang-bincang. Karena penasaran, ku buka setengah pintu kamar dan mengintipnya.
“Ah, kalah lagi kan! Kamu sih!” kedua mataku terbelalak lebar. Apa aku tidak salah melihat? Pintu kamar kak Haru terbuka dan aku melihat Zuna tengah bermain game konsol dengan kak Haru.
“Kamu ajah yang bego!” celetuk kak Haru. Ia mengambil keripik dan mengunyahnya sambil nyerocos, “Eh, bentar! Bentar! ASEEMMM!!!!”
“Hahahaa.. sudah ku bilang kan! Aku akan menyalipmu.”
Baru kali ini aku melihat kak Haru dan Zuna sedang bersama-sama. Biasanya kak Haru tidak ingin berbincang dengan siapapun, terutama menerima orang lain di kamarnya. Papa ajah nggak boleh masuk. Lha ini, mereka ngobrol dengan santainya. Apa kak Haru sudah kembali seperti dulu lagi? Kak Haru sudah bisa berbaur dengan orang di sekitarnya?
Aku merasa senang jika keajaiban itu terjadi. Dengan segera aku membuka pintu lebar-lebar dan menghampirinya. Namun ternyata mereka tidak menyadari kehadiranku. Ku ketuk pintu kamar dengan canggung. Hanya Zuna saja yang menoleh.
“Eh, Han! Halo! Kamu mau kemana bawa tas segala?” tanyanya. Mataku masih terpaku pada kak Haru yang masih bermain game konsol. Dia tidak mempedulikan kehadiranku sama sekali. Rupanya dia masih belum berubah.
“Saya.. eeng.. ano, aku.. akan mengerjakan pe-er dengan Zeno.”
“Owh, okey, hati-hati!” seru Zuna sambil melambaikan tangannya. Ia menunjukkan senyum lebarnya. Aku merasa ada yang aneh. Kenapa kak Haru memperlakukan kami dengan berbeda? Kenapa dia hanya diam saja saat tahu aku ada disini?
“Eeng, aku boleh ikut main, kak?” tanyaku. Aku memang sudah kehilangan akal! Apa yang baru saja aku katakan?!!
Zuna melirik ke arah kak Haru yang masih memainkan konsolnya dengan teriakan menggebu-gebu seakan-akan tidak mendengarku yang berbicara dengannya. Hik, kenapa aku malah membatu disini coba?!!
“Udahlah, Han. Kamu kan sudah ada janji dengan kak Zuno. Lebih baik kamu kesana ajah ya. Dadah!” Zuna melambaikan tangannya lagi sambil menyunggingkan senyum. Tapi kali ini aku tidak suka melihat caranya tersenyum. Seperti sesuatu dalam arti meremehkan seseorang. Apa itu hanya perasaanku saja?
Aku pun pergi dengan wajah tertunduk. Sesampainya di rumah Zeno, aku menyalami bibi Her. Rupanya Zeno sudah menungguku di ruang tamu. Dia ikut menyambutku dengan senang. Aku mengikutinya berjalan ke ruang tamu dan duduk bersilah di depan meja.
“Han, kenapa muka kamu kayak sedih gitu?” aku agak terkejut saat Zeno menyadari kegalauanku. Apa ekspresi wajahku dengan mudah terbaca olehnya?
“Umm.. sepertinya kita mengerjakan pe-er matematika dulu deh. Menurutku agak sulit,” aku berusaha mencairkan suasana dengan mengalihkan topik pembicaraan. Zeno mengendikkan kedua pundaknya sembari berkata pelan, “Okay.”
Aku memang berdalih mengatakan bahwa pe-er matematika itu sulit. Tetapi pada kenyataannya benar-benar sulit. Untung saja Zeno memberitahuku rumus cepat. Ia mengatakan bahwa rumus yang diajarkannya bernama ‘Rumus Jembatan Keledai’. Aku pun hampir tertawa mengingat nama itu. Selain mengerjakan pe-er bersama, kami juga memakan cemilan yang sebelumnya sudah disediakan oleh bibi Her. Cemilannya enak sekali. Namanya juga unik-unik. Ada tai kucing, putri salju, kue nastar, kue kastengel, dan kue semprit.
“Ini namanya rengginang,” Zeno menunjukkan salah satu cemilan yang ada di tangannya. Aku memperhatikan kue itu dengan seksama. Bentuknya bundar dan seperti sekumpulan nasi. Tapi rasanya gurih sekali. “Rengginang itu sejenis kerupuk tebal yang terbuat dari beras ketan yang dibentuk bulat dan dijemur di bawah panas sianr matahari. Lalu digoreng deh.”
“Mmmm.. enak,” kataku sambil mengunyah rengginang yang ada di tanganku.
“Bisa juga terbuat dari nasi loh. Tapi tidak segurih itu,” tante Her menambahkan. Tiba-tiba saja beliau ikut hadir di tengah obrolan kami. Aku baru tahu kalau bahan dasar rengginang ini begitu sederhana. “Oh ya, tadi tante belikan nasi krawu. Hana belum pernah coba kan?” aku pun menganggukkan kepala.
“Wah, pas banget! Nasi krawu ini khas makanan Gresik loh!” seru Zeno.
“Ayo, kalian berdua makan dulu,” aku segera menutup buku dan menyimpannya ke dalam tas. Ku buka makanan yang disebut nasi krawu itu. Hmm.. ternyata ada nasi dengan dibubuhi daging. Rasanya juga enak. Bikin candu. Aku makan dengan lahap. Lagi dan lagi. Aku tidak sengaja melihat bibi Her melihatku sembari tersenyum. Aku tersipu malu dilihatnya. “Eh, Zuna dimana ya? Bunda telepon dari tadi nggak diangkat.”
Aku segera teringat Zuna yang sedang bersama dengan kak Haru. Saat aku hendak mengatakannya, Zeno pun berkata, “Tadi katanya main ke rumahnya Reta.”
“Kok nggak ijin bunda?”